Kerja Seperlunya Tapi Nggak Resign? Apa Itu Quiet Quitting, Fenomena yang Lagi Marak di Asia?
- iStock
Lantas mengapa fenomena ini terjadi? Fenomena quiet quitting bukan terjadi begitu saja. Banyak faktor yang mendorong seseorang untuk tetap bertahan di pekerjaan tapi memutuskan untuk tidak lagi terlibat secara emosional atau mental. Beberapa penyebab utamanya antara lain:
-
Burnout berkepanjangan: Terlalu lama bekerja dalam tekanan tanpa pemulihan bisa membuat karyawan kelelahan secara fisik dan mental.
Kurangnya penghargaan: Banyak orang merasa kerja keras mereka tidak sebanding dengan pengakuan atau kompensasi yang diterima.
- Baca Juga :Tips Menghilangkan Bau Tak Sedap Pada Sepatu
Gaji stagnan: Tanggung jawab naik, tapi gaji tetap. Ini membuat motivasi menurun.
Minimnya komunikasi dan dukungan dari atasan: Jika tidak ada ruang untuk bicara atau menyampaikan keluhan, karyawan cenderung diam.
- Baca Juga :Cara Punya Tabungan Rp100 Juta Sebelum Usia 30 Tahun, Ini Strateginya yang Bisa Anda Coba
Tidak ada arah karier yang jelas: Saat pekerjaan terasa jalan di tempat, semangat pun ikut padam.
Quiet quitting adalah bentuk mekanisme bertahan. Daripada keluar dari pekerjaan yang dibutuhkan secara finansial, mereka memilih untuk menjalani hari demi hari secara otomatis yakni kerja, pulang, tidur, ulang lagi besok.
Sementara itu, psikolog organisasi dan mantan Chief People Officer di Limeade, Dr. Laura Hamill, mengungkap quiet quitting adalah reaksi terhadap lingkungan kerja yang tidak memenuhi kebutuhan psikologis dasar seorang manusia.
"Quiet quitting terjadi saat kebutuhan emosional dan psikologis karyawan tidak terpenuhi. Mereka tidak merasa dihargai, tidak didengar, dan tidak memiliki kontrol atas pekerjaan mereka," jelas dia.
Dr. Hamill juga menekankan bahwa ini bukan soal kemalasan, tapi lebih kehilangnya rasa kepemilikan dan keterlibatan dalam pekerjaan. Karyawan ingin dihargai bukan hanya sebagai mesin produktivitas, tapi sebagai manusia yang punya kebutuhan emosional, waktu pribadi, dan rasa ingin berkembang.