Kerja Seperlunya Tapi Nggak Resign? Apa Itu Quiet Quitting, Fenomena yang Lagi Marak di Asia?
- iStock
Fenomena ini memang pertama kali mencuat di Amerika Serikat, namun perlahan mulai terasa di Asia. Bukan hanya Jepang, negara-negara seperti Korea Selatan, Singapura, hingga Indonesia juga mulai melihat gejala yang sama.
-
Korea Selatan mulai melihat gerakan “no overtime” di kalangan pekerja muda.
Singapura mencatat tren “silent disengagement” di kalangan fresh graduate yang kecewa dengan realita dunia kerja.
-
Indonesia? Generasi Z makin vokal soal pentingnya work-life balance, menolak budaya “kerja keras dulu baru bahagia”.
Di berbagai forum diskusi online, banyak pekerja Indonesia mengaku tidak lagi tertarik bekerja melebihi apa yang dibayar. Sebagian bahkan secara terbuka menyatakan bahwa kerja 'biasa saja' sudah cukup, karena mereka tak lagi percaya pada iming-iming promosi atau loyalitas dibalas kebaikan perusahaan.
Kalau banyak karyawan memilih quiet quitting, apa yang akan terjadi? Dampak negatifnya bisa terasa dalam jangka panjang, seperti:
Produktivitas menurun karena minimnya inisiatif
Lingkungan kerja jadi datar dan kurang semangat
Inovasi mandek karena semua orang hanya bekerja sesuai minimum
Namun, ini bukan alasan untuk menyalahkan karyawan. Justru, fenomena ini adalah alarm bagi manajemen untuk melihat ulang apakah sistem kerja selama ini masih relevan dan manusiawi. Quiet quitting seharusnya mendorong perusahaan untuk:
Meningkatkan komunikasi dan transparansi
Memberikan penghargaan yang layak
Menciptakan jalur karier yang jelas
Membangun budaya kerja yang sehat dan suportif