Benarkah Makan Mi Instan dan Telur Bisa Sebabkan Kemiskinan?

Ilustrasi mi dan telur
Sumber :
  • Freepik

LifestyleMi instan dan telur telah menjadi kombinasi kuliner andalan di banyak rumah tangga Indonesia. Dengan harga terjangkau, penyajian cepat, dan cita rasa yang lezat, duo ini sering jadi pilihan saat dompet menipis atau waktu terbatas. Namun, sebuah pertanyaan menarik muncul di kalangan masyarakat: benarkah kebiasaan mengonsumsi mi instan dan telur dapat menyebabkan kemiskinan

Diet dengan Telur Setiap Hari Selama Seminggu, Apa yang Terjadi pada Tubuh?

Artikel ini mengupas peran keduanya dalam budaya kuliner Indonesia, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, serta mengeksplorasi bagaimana pilihan makanan mencerminkan gaya hidup dan tantangan ekonomi.

Fakta Kemiskinan dari Lensa BPS

BPS melaporkan pada Maret 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 23,85 juta jiwa atau 8,47% dari total populasi, turun 1,37 juta orang dibandingkan Maret 2024. Garis kemiskinan ditetapkan sebesar Rp609.160 per kapita per bulan, mencakup kebutuhan makanan (2.100 kilokalori per hari) dan non-makanan seperti pendidikan dan kesehatan. 

5 Kisah Sukses UMKM Kuliner di Aceh, dari Dapur Rumahan Sampai ke Luar Negeri

Komoditas seperti beras, telur, mi instan, dan gula pasir termasuk dalam komponen makanan yang memengaruhi garis kemiskinan, baik di perkotaan maupun pedesaan. Namun, BPS tidak menyebutkan konsumsi mi instan dan telur sebagai penyebab langsung kemiskinan. 

Sebaliknya, kemiskinan dipengaruhi oleh faktor yang lebih kompleks seperti keterbatasan akses pendidikan, lapangan kerja, dan stabilitas harga pangan.

Mi Instan dan Telur dalam Pola Makan Rumah Tangga

Mengintip Perjalanan Sarirasa dari 1974, Ada Kisah Budaya di Setiap Hidangan

Mi instan dan telur kerap dianggap sebagai makanan "darurat" bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Data Susenas 2024 menunjukkan bahwa makanan olahan seperti mi instan menyumbang hingga 25% dari pengeluaran makanan rumah tangga termiskin. 

Harganya yang ekonomis—dengan mi instan rata-rata Rp3.000 per bungkus dan telur sekitar Rp2.500 per butir—menjadikannya pilihan praktis. Namun, anggapan bahwa konsumsi keduanya menyebabkan kemiskinan adalah keliru. 

Sebaliknya, pilihan ini mencerminkan strategi bertahan hidup di tengah keterbatasan ekonomi. Ketimpangan pendapatan dan tingginya angka pengangguran, terutama di sektor informal, lebih berperan dalam mempertahankan kondisi kemiskinan.

Tantangan Gizi dari Mi Instan dan Telur

Dari sisi gizi, mi instan dan telur memiliki kelebihan dan kekurangan. Telur kaya protein dan nutrisi esensial, menjadikannya sumber gizi yang terjangkau. Namun, mi instan sering kali tinggi sodium dan rendah serat, vitamin, serta mineral penting. 

Ahli gizi seperti Kristi Mahrt dari International Food Policy Research Institute menyarankan pola makan yang memenuhi kebutuhan gizi seimbang, termasuk sayur dan buah, untuk mencegah stunting dan masalah kesehatan jangka panjang. 

Garis kemiskinan berbasis gizi membutuhkan pengeluaran Rp30.000–32.000 per hari, lebih tinggi dari standar BPS saat ini. Konsumsi mi instan berlebihan tanpa variasi makanan lain dapat memengaruhi kesehatan, tetapi bukan pemicu kemiskinan.

Kreativitas Kuliner untuk Anggaran Terbatas

Meski sederhana, mi instan dan telur dapat diolah menjadi hidangan lezat dan lebih bergizi. Menambahkan sayuran seperti kolplay, sawi, atau wortel, serta rempah segar seperti daun bawang, dapat meningkatkan nilai gizi tanpa membebani anggaran. 

Misalnya, sajian mi instan dengan telur orak-arik, irisan tomat, dan bayam hanya menambah biaya sekitar Rp2.000–3.000 per porsi. Komunitas kuliner di Indonesia juga kerap membagikan resep kreatif, seperti mi instan goreng dengan campuran tahu atau tempe, untuk menjaga variasi dan gizi. Dengan perencanaan, makanan terjangkau bisa tetap sehat dan menggugah selera.

Harga Pangan dan Stabilitas Ekonomi

Stabilitas harga pangan memengaruhi pilihan kuliner rumah tangga. BPS mencatat fluktuasi harga telur, yang pernah melonjak dari Rp17.000 menjadi Rp24.000 per kilogram pada 2018, memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah. 

Kenaikan harga bahan pokok, terutama selama periode seperti Ramadan, mengurangi daya beli. Program bantuan sosial pemerintah, dengan anggaran Rp425,7 triliun pada 2022, bertujuan mengurangi beban ini, namun tantangan seperti distribusi yang tidak merata masih ada. 

Pilihan makanan seperti mi instan dan telur sering kali merupakan respons terhadap tekanan ekonomi, bukan penyebabnya.