Diam-Diam Tersiksa, Kenapa Banyak Orang Benci Kerjaannya Tapi Tetap Bertahan?
- AP Photo
Untuk memahami kenapa orang bisa bertahan tapi tersiksa, kita bisa belajar dari Prof. Christina Maslach, psikolog dari University of California, Berkeley, yang dikenal sebagai pelopor riset burnout.
Menurut Maslach, burnout adalah respons berkepanjangan terhadap stres emosional dan interpersonal yang kronis di tempat kerja. Ia menjelaskan bahwa burnout punya tiga dimensi utama yakni kelelahan, sinisme, dan rasa tidak efektif.
“Burnout adalah respons berkepanjangan terhadap stresor emosional dan interpersonal di tempat kerja,” tulis Maslach dalam artikelnya tahun 2001 di Annual Review of Psychology.
Jika dipahami lebih sederhana saat stres kerja terus menumpuk tanpa solusi, orang mulai lelah, menjadi sinis terhadap pekerjaannya, dan merasa tidak lagi mampu. Dari sinilah lahir kondisi silent resignation.
Kenapa Tetap Bertahan Meski Tersiksa?
Kalau sudah muak, kenapa tidak pergi saja? Ternyata, ada banyak alasan mengapa orang memilih bertahan:
- Keamanan finansial
Banyak orang terjebak fenomena job lock yakni ketergantungan pada gaji atau benefit (seperti asuransi kesehatan di beberapa negara) membuat mereka sulit berpindah. - Ketidakpastian kerja
Penelitian terbaru menunjukkan jutaan pekerja terjebak dalam pekerjaan tidak aman bertahun-tahun, dengan peluang sangat kecil untuk pindah ke pekerjaan yang lebih baik. - Tekanan sosial dan budaya
Di Indonesia, bekerja sering dikaitkan dengan gengsi, tanggung jawab keluarga, hingga takut dicap “tidak bersyukur.” - Kelelahan mengambil keputusan
Ironisnya, ketika energi mental sudah habis, orang cenderung memilih bertahan karena perubahan dianggap terlalu melelahkan.