Bosan dengan Rutinitas yang Itu-Itu Saja? Apa yang Sebenarnya Terjadi? Ini Penjelasan Psikologisnya
Rabu, 30 Juli 2025 - 15:02 WIB
Sumber :
- iStock
Profesor psikologi dari University of Waterloo, James Danckert, dalam wawancaranya dengan KCRW Life Examined, Danckert mengatakan bahwa kebosanan adalah tanda bahwa kita menginginkan sesuatu yang lebih.
Ia menyebut fenomena ini sebagai desire for desires, atau keinginan untuk memiliki keinginan. Ketika hidup terlalu monoton atau terasa tanpa makna, otak mengirim sinyal kebosanan agar kita mencari tujuan baru.
“Orang sering mengira bosan itu sama dengan malas duduk di sofa. Padahal, saat bosan, kita sebenarnya cukup termotivasi dan ingin melakukan sesuatu, kita hanya tidak tahu apa yang harus dilakukan,”kata dia.
Mengapa Kita Bisa Bosan dengan Rutinitas?
- Adaptasi neurologis
Otak kita cenderung terbiasa terhadap hal yang sama (habituation). Aktivitas yang awalnya menyenangkan bisa terasa hambar jika diulang terus-menerus. - Kurangnya tantangan
Ketika tugas terlalu mudah dan tidak lagi menantang, otak tidak merasa terstimulasi. Rasa puas pun hilang. - Minim makna
Aktivitas yang dilakukan sekadar untuk formalitas atau kewajiban, tanpa koneksi emosional atau tujuan yang jelas, akan terasa kosong. - Kurang kebaruan (novelty)
Hidup yang terlalu terprediksi membuat kita kehilangan rasa ingin tahu. Padahal, kebaruan bisa memicu hormon dopamin yang membuat kita bersemangat. - Tidak punya kendali (low autonomy)
Jika kita merasa tidak bisa memilih apa yang kita lakukan atau bagaimana cara melakukannya, kebosanan akan lebih mudah muncul.
Dampak Kebosanan Rutinitas
Kebosanan yang dibiarkan bisa berdampak negatif, baik pada individu maupun kehidupan secara umum.
Halaman Selanjutnya
Pada individu: menurunkan kreativitas, memicu prokrastinasi, membuat suasana hati murung, bahkan bisa memicu stres dan depresi ringan. Waktu terasa berjalan lambat, energi menurun, dan kita cenderung mencari pelarian yang tidak selalu sehat.Dalam jangka panjang: kebosanan bisa menimbulkan ketidakpuasan eksistensial. Kita mulai mempertanyakan makna hidup, merasa stagnan, atau terjebak dalam hidup yang “begitu-begitu saja”.