Anak SD Suka K-pop, Orang Tua Harus Dukung atau Khawatir?
- Pledis Entertainment
Lifestyle –Fenomena K-pop telah melanda dunia, termasuk Indonesia, dan tidak hanya memikat remaja atau dewasa muda, tetapi juga anak-anak usia sekolah dasar (SD).
Musik yang enerjik, koreografi yang memukau, dan visual yang menarik dari grup-grup seperti SEVENTEEN, BLACKPINK, atau NCT membuat anak-anak terpikat.
Namun, ketika anak SD mulai menunjukkan antusiasme berlebih terhadap K-pop, banyak orang tua bertanya-tanya: apakah ini hanya sekadar hobi yang sehat, atau ada potensi dampak negatif yang perlu diwaspadai?
Artikel ini akan membahas manfaat dan tantangan dari ketertarikan anak SD terhadap K-pop, serta memberikan panduan bagi orang tua untuk mendampingi anak dengan bijak.
Dampak Positif K-pop pada Anak SD
K-pop tidak hanya sekadar hiburan; genre ini juga memiliki potensi untuk memberikan dampak positif bagi anak-anak. Pertama, K-pop dapat menjadi media belajar yang menyenangkan.
Banyak lagu K-pop yang menggunakan lirik dalam bahasa Inggris atau Korea, sehingga anak-anak secara tidak langsung terpapar pada kosa kata baru.
Studi dari Universitas Korea (2020) menunjukkan bahwa penggemar K-pop di kalangan anak-anak cenderung memiliki motivasi lebih tinggi untuk mempelajari bahasa asing, terutama bahasa Korea, yang dapat meningkatkan keterampilan linguistik mereka.
Selain itu, K-pop juga mengajarkan nilai-nilai positif seperti kerja keras, disiplin, dan kerja tim. Para idola K-pop dikenal menjalani pelatihan ketat selama bertahun-tahun sebelum debut, yang dapat menjadi inspirasi bagi anak-anak untuk menghargai proses dan ketekunan.
Video musik dan penampilan panggung yang penuh warna juga dapat memicu kreativitas anak, baik dalam seni tari, musik, maupun desain visual. Bagi anak-anak yang aktif menari atau menyanyi mengikuti idola mereka, ini juga menjadi cara yang menyenangkan untuk tetap aktif secara fisik.
Potensi Dampak Negatif yang Perlu Diwaspadai
Meskipun memiliki manfaat, ketertarikan anak SD terhadap K-pop juga dapat menimbulkan kekhawatiran jika tidak dikelola dengan baik. Salah satu isu utama adalah risiko kecanduan konten digital.
Menurut penelitian dari Journal of Child Psychology (2021), anak-anak yang menghabiskan waktu berlebihan untuk menonton video K-pop atau mengikuti aktivitas fandom di media sosial cenderung mengalami penurunan konsentrasi dalam belajar. Hal ini diperparah dengan algoritma media sosial yang dirancang untuk membuat pengguna terus terpaku pada layar.
Selain itu, budaya fandom K-pop sering kali melibatkan pengeluaran finansial yang tidak sedikit, seperti membeli album, merchandise, atau tiket konser. Bagi anak SD yang belum memiliki pemahaman finansial yang matang, ini dapat memicu kebiasaan konsumtif. Tidak jarang pula anak-anak terpapar pada standar kecantikan yang tidak realistis melalui penampilan idola K-pop, yang mungkin memengaruhi persepsi mereka terhadap citra tubuh.
Psikolog anak, Dr. Ani Wijaya, mengatakan bahwa anak-anak usia SD masih dalam tahap pembentukan identitas diri, sehingga paparan berlebihan terhadap idola dapat memengaruhi kepercayaan diri mereka jika tidak diimbangi dengan bimbingan orang tua.
Peran Orang Tua dalam Mendampingi Minat Anak
Orang tua memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa ketertarikan anak terhadap K-pop tetap sehat dan seimbang. Pertama, penting untuk membuka komunikasi yang terbuka dengan anak. Tanyakan alasan mereka menyukai K-pop, apakah karena musiknya, tariannya, atau cerita di balik idola favorit mereka.
Dengan memahami minat anak, orang tua dapat mengarahkan antusiasme tersebut ke arah yang positif, seperti mendorong mereka untuk mengikuti kelas tari atau belajar bahasa Korea secara formal.
Kedua, atur batasan waktu layar. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan anak usia 5-11 tahun tidak menghabiskan lebih dari dua jam per hari untuk aktivitas layar rekreasi. Orang tua dapat menggunakan aplikasi pengatur waktu atau fitur parental control untuk memantau penggunaan media sosial dan platform streaming.
Selain itu, libatkan anak dalam aktivitas offline, seperti olahraga atau kegiatan keluarga, untuk menjaga keseimbangan antara dunia digital dan nyata.
Ketiga, edukasi anak tentang literasi finansial dan media. Jelaskan bahwa tidak semua merchandise atau konten berbayar perlu dibeli untuk menikmati K-pop. Ajak anak untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta diskusikan dampak iklan atau promosi yang mereka lihat di media sosial. Dengan pendekatan ini, anak dapat belajar membuat keputusan yang bijak sejak dini.
Mengarahkan Minat ke Aktivitas Produktif
Orang tua juga dapat mengarahkan minat anak ke aktivitas yang lebih produktif. Misalnya, jika anak menyukai koreografi K-pop, pertimbangkan untuk mendaftarkan mereka ke kelas tari atau komunitas seni lokal.
Banyak sekolah tari di Indonesia kini menawarkan kelas K-pop dance yang dapat menjadi wadah bagi anak untuk menyalurkan energi kreatif mereka. Selain itu, jika anak tertarik pada produksi musik atau video, orang tua dapat memperkenalkan aplikasi sederhana seperti GarageBand atau Canva untuk mengasah keterampilan mereka.