Benarkah Makan Mi Instan dan Telur Bisa Sebabkan Kemiskinan?
- Freepik
Mi instan dan telur kerap dianggap sebagai makanan "darurat" bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Data Susenas 2024 menunjukkan bahwa makanan olahan seperti mi instan menyumbang hingga 25% dari pengeluaran makanan rumah tangga termiskin.
Harganya yang ekonomis—dengan mi instan rata-rata Rp3.000 per bungkus dan telur sekitar Rp2.500 per butir—menjadikannya pilihan praktis. Namun, anggapan bahwa konsumsi keduanya menyebabkan kemiskinan adalah keliru.
Sebaliknya, pilihan ini mencerminkan strategi bertahan hidup di tengah keterbatasan ekonomi. Ketimpangan pendapatan dan tingginya angka pengangguran, terutama di sektor informal, lebih berperan dalam mempertahankan kondisi kemiskinan.
Tantangan Gizi dari Mi Instan dan Telur
Dari sisi gizi, mi instan dan telur memiliki kelebihan dan kekurangan. Telur kaya protein dan nutrisi esensial, menjadikannya sumber gizi yang terjangkau. Namun, mi instan sering kali tinggi sodium dan rendah serat, vitamin, serta mineral penting.
Ahli gizi seperti Kristi Mahrt dari International Food Policy Research Institute menyarankan pola makan yang memenuhi kebutuhan gizi seimbang, termasuk sayur dan buah, untuk mencegah stunting dan masalah kesehatan jangka panjang.
Garis kemiskinan berbasis gizi membutuhkan pengeluaran Rp30.000–32.000 per hari, lebih tinggi dari standar BPS saat ini. Konsumsi mi instan berlebihan tanpa variasi makanan lain dapat memengaruhi kesehatan, tetapi bukan pemicu kemiskinan.