Silent Struggle di Kantor, Kenapa Banyak Karyawan Diam-Diam Burnout?

Ilustrasi bekerja di kantor
Sumber :
  • Freepik

LifestyleDi balik rutinitas kantor yang terlihat normal, banyak karyawan sebenarnya sedang berjuang menghadapi tekanan mental yang berat. Mereka tetap datang tepat waktu, menyelesaikan tugas, bahkan tersenyum saat rapat.

Apa Itu Lazy Girl Job? Jenis Pekerjaan Baru yang Jadi Idaman Gen Z

Namun di dalam hati, ada kelelahan yang sulit dijelaskan. Fenomena ini dikenal sebagai silent struggle, pergulatan batin yang tidak terlihat dari luar, namun diam-diam menggerogoti kesehatan mental. Kenapa banyak pekerja memilih diam meski sedang kesulitan? Jawabannya kompleks budaya kerja yang keras, stigma meminta bantuan, hingga rasa takut dianggap lemah.

Apa Itu Burnout dan Silent Struggle?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mengklasifikasikan burnout sebagai masalah serius. Menurut WHO, burnout didefinisikan dalam ICD-11 sebagai sindrom yang muncul akibat stres kerja kronis yang tidak berhasil dikelola. Tiga ciri utamanya adalah perasaan kelelahan atau kehilangan energi,  sikap sinis atau menjauh dari pekerjaan dan penurunan efektivitas profesional.

Kenapa Kita Bisa Tiba-Tiba Muak dengan Kerjaan?

Burnout inilah yang sering menjadi inti dari silent struggle di kantor. Banyak karyawan yang mengalami gejala-gejala ini, tetapi tidak menunjukkannya. Mereka memilih diam, berusaha bertahan, dan berharap situasi akan membaik.

Penyebab Silent Struggle di Tempat Kerja

Silent struggle tidak muncul begitu saja. Ada beberapa faktor pemicu yang umum terjadi di dunia kerja:

  • Beban kerja berlebihan. Deadline ketat, target tinggi, dan jam kerja panjang membuat tubuh dan pikiran cepat terkuras.
  • Kurangnya kontrol atas pekerjaan. Karyawan merasa tidak punya kuasa mengambil keputusan atau mengatur ritme kerja sendiri.
  • Dukungan minim dari atasan dan rekan kerja. Tidak ada ruang untuk curhat atau berbagi tekanan membuat beban terasa semakin berat.
  • Budaya “tahan saja.” Di banyak perusahaan, mengeluh sering dianggap lemah. Akibatnya, banyak karyawan memilih diam.
  • Perubahan organisasi dan komunikasi buruk. Restrukturisasi, pemotongan biaya, atau aturan baru yang tidak jelas memperparah stres.

Meskipun tidak selalu terlihat jelas, ada tanda-tanda yang bisa dikenali:

  • Selalu merasa lelah meski tidur cukup.
  • Mulai sinis atau kehilangan semangat terhadap pekerjaan.
  • Produktivitas menurun, sulit fokus, atau sering menunda pekerjaan.
  • Sakit kepala, gangguan tidur, atau mudah tersinggung.
  • Merasa tidak dihargai, cemas, atau putus asa.
Mengenal Office Frogging, Tren Baru Karier Gen Z yang Mengubah Dunia Kerja

Sayangnya, tanda-tanda ini sering diabaikan baik oleh karyawan itu sendiri maupun oleh lingkungan kerjanya.

Dampak Silent Struggle: Bukan Hanya ke Individu

Silent struggle bukan sekadar urusan pribadi. Dampaknya bisa meluas:

  • Bagi individu: risiko depresi, kecemasan, gangguan tidur, bahkan masalah kesehatan fisik seperti tekanan darah tinggi.
  • Bagi organisasi: absensi meningkat, performa menurun, turnover tinggi, dan biaya perusahaan membengkak untuk rekrutmen baru.

Sebuah laporan dari Inggris menunjukkan, sekitar 85% pekerja pernah mengalami gejala burnout atau kelelahan akibat stres kerja. Ini menunjukkan masalah ini bukan kasus individual, melainkan fenomena global.

WHO menekankan bahwa burnout terjadi ketika stres kerja kronis tidak berhasil dikelola. Masalahnya, banyak karyawan enggan mengakui kesulitan yang mereka alami. Dalam sebuah survei di Inggris, 1 dari 3 pria melaporkan tidak ada dukungan kesehatan mental di tempat kerja mereka.

Artinya, silent struggle terus berlanjut karena dua hal: kurangnya dukungan dari organisasi, dan budaya kerja yang masih menstigma kesehatan mental.

Cara Mengatasi Silent Struggle

Bagi Individu

  • Kenali tanda-tandanya. Jangan menunggu sampai stres berubah jadi sakit.
  • Cari dukungan. Bicarakan dengan teman, keluarga, atau tenaga profesional.
  • Jaga keseimbangan. Atur jam kerja, berikan ruang untuk istirahat dan hobi.
  • Kelola stres. Lakukan olahraga, meditasi, atau aktivitas relaksasi.

Bagi Organisasi

  • Bangun budaya yang mendukung. Normalisasi pembicaraan tentang kesehatan mental.
  • Latih manajer. Agar peka terhadap tanda-tanda burnout di timnya.
  • Kebijakan kerja fleksibel. Jam kerja yang manusiawi bisa mencegah kelelahan.
  • Sediakan layanan konseling. Akses mudah ke psikolog atau konselor kerja sangat membantu.