Ketika Stres Kerja Tak Lagi Biasa, Sejauh Apa Beban Mental Bisa Menjerumuskan pada Pikiran 'Nekat'?

Ilustrasi Stres
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Setiap hari kamu pulang kerja dengan tubuh yang masih terasa menggigil karena AC kantor, tapi sesungguhnya dada yang lebih dulu membeku—oleh tekanan, teguran kasar, atau pekerjaan yang tak ada habisnya. Di layar terlihat sibuk, tapi pikiranmu telah entah ke mana. Rasanya seperti kehilangan arah, tak ada gairah, dan pertanyaan paling menyeramkan mulai muncul diam-diam: "Apa gunanya semua ini?"

Tingkatkan Kesejahteraan Mental, 7 Tempat Wisata Ini Cocok Buat Detoks Digital

Bagi sebagian orang, stres kerja hanyalah bagian dari rutinitas. Tapi bagi sebagian lainnya, itu adalah lorong gelap yang setiap hari semakin menyempit. Tidak sedikit yang merasa dunia kerja berubah menjadi penjara tak kasat mata, penuh tuntutan dan minim apresiasi. Di titik terendah, rasa putus asa bisa berubah jadi keinginan untuk mengakhiri segalanya. Apakah ini terdengar ekstrem? Mungkin tidak, bagi mereka yang sudah terlalu lama diam dan lelah.

Stres di tempat kerja sejatinya adalah hal yang umum. Namun, saat stres berubah menjadi tekanan kronis dan berlangsung tanpa jeda, di situlah masalah serius muncul. WHO sendiri telah mengakui bahwa burnout adalah sindrom akibat stres kerja yang tak berhasil dikelola, yang ditandai dengan rasa lelah ekstrem, sinisme terhadap pekerjaan, dan penurunan performa.

10 Rekomendasi Tempat Healing di Jawa Barat, Cocok Didatangi Saat Stres Berat!

American Psychological Association (APA) mencatat bahwa lingkungan kerja berkontribusi besar pada kesehatan mental. Ketika beban kerja tidak realistis, jam kerja melewati batas wajar, dan tidak ada kontrol terhadap tugas harian, seseorang rentan terhadap depresi, kecemasan, dan bahkan pikiran untuk menyakiti diri.

WHO sendiri mencatat bahwa lebih dari 700.000 orang meninggal karena mengakhiri hidup mereka sendiri setiap tahunnya. Dari jumlah itu, banyak yang berkaitan dengan tekanan kerja. Profesi dengan tanggung jawab besar seperti tenaga kesehatan, petugas hukum, atau bahkan pekerja kantoran biasa dalam sistem korporat yang ketat, memiliki risiko lebih tinggi.

Lingkungan Toksik dan Rasa Tak Berharga

Liburan Bisa Turunkan Risiko Serangan Jantung? Ini Penjelasan Ahli Kardiologi

Di banyak tempat kerja, tekanan bukan hanya datang dari beban tugas yang menumpuk, tapi juga dari atmosfer sosial yang tidak sehat. Lingkungan kerja yang toksik ditandai dengan perilaku merendahkan, kurangnya apresiasi, budaya saling menyalahkan, kompetisi tak sehat, hingga atasan yang otoriter dan tidak suportif. Hal-hal ini perlahan-lahan bisa mengikis harga diri karyawan.

Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Journal of Occupational Health Psychology, lingkungan kerja yang penuh tekanan sosial dan psikologis dapat memicu rasa tidak berdaya, ketidakamanan, hingga perasaan tidak layak. Dr. Amy Edmondson dari Harvard Business School menjelaskan bahwa ketika orang merasa tidak aman secara psikologis, mereka cenderung menutup diri, kehilangan inisiatif, dan mengalami stres kronis.

"Ketika rasa dihargai hilang, kebutuhan dasar manusia untuk merasa berarti dan terhubung juga ikut lenyap," jelasnya.

Lebih jauh lagi, sebuah laporan dari Mental Health America menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen pekerja yang merasa tempat kerjanya toksik mengalami gejala kecemasan dan depresi. Jika dibiarkan, rasa tak berharga ini bisa berkembang menjadi pikiran-pikiran putus asa, termasuk ide untuk mengakhiri hidup. Rasa seperti tidak ada jalan keluar dan tidak ada nilai diri di mata orang lain menjadi kombinasi yang sangat berbahaya.

Dalam kasus yang ekstrem, korban lingkungan kerja toksik tidak hanya merasa kelelahan secara fisik dan mental, tetapi juga merasa bahwa mereka tidak memiliki tempat atau alasan untuk tetap bertahan. Dalam situasi ini, dukungan sosial yang minim dari rekan kerja atau keluarga dapat memperburuk kondisi.

Penting untuk dipahami bahwa seseorang yang berada dalam lingkungan seperti ini butuh lebih dari sekadar cuti atau liburan. Mereka membutuhkan validasi, ruang aman untuk berbicara, dan intervensi psikologis yang tepat. Jika kamu atau orang terdekatmu berada di titik ini, berbicara dengan tenaga profesional bukanlah tanda kelemahan—itu adalah bentuk kepedulian pada diri sendiri.

Antara Stigma dan Kesepian: Silent Struggle

Meski mental health mulai ramai dibicarakan, banyak pekerja tetap memilih diam. Takut dianggap lemah, takut diberhentikan, atau lebih tragis lagi—tak tahu harus bicara ke siapa. Maka mereka menyimpan semuanya sendiri.

Fenomena ini disebut silent struggle, di mana seseorang tampak baik-baik saja di luar tapi dalamnya rapuh. Mereka datang ke kantor, menyapa dengan senyum, lalu pulang dengan beban yang lebih berat dari tas kerjanya. Tak ada ruang aman untuk bicara. Tak ada teman yang cukup dekat untuk sekadar mendengar tanpa menghakimi.

Lebih menyedihkan lagi, mereka yang diam-diam menderita sering kali justru terlihat sebagai orang yang paling kuat dari luar. Mereka tetap tersenyum, menyelesaikan pekerjaan, dan hadir di rapat, tetapi di balik itu semua mereka menanggung tekanan luar biasa. Fenomena ini disebut sebagai "high-functioning depression" dan sering kali tidak dikenali, baik oleh rekan kerja maupun atasan.

Stigma yang melekat pada isu kesehatan mental juga membuat banyak pekerja enggan mencari bantuan. Mereka khawatir akan kehilangan pekerjaan, tidak mendapat promosi, atau dianggap tidak mampu mengatasi tekanan. Akibatnya, mereka memilih diam, menyembunyikan luka, dan berharap semuanya membaik dengan sendirinya.

Padahal, diam bukanlah solusi. Membangun budaya kerja yang terbuka terhadap isu kesehatan mental dan saling peduli adalah langkah awal untuk memutus siklus kesepian ini. Perusahaan perlu menciptakan ruang aman untuk berbicara, menyediakan layanan konseling, dan melatih manajer agar bisa mengenali tanda-tanda awal stres berat pada tim mereka. Karena dalam keheningan, banyak orang sedang berjuang untuk tetap bertahan hidup.

Kapan Harus Mencari Bantuan?

Mengenali tanda-tanda gangguan mental serius adalah langkah penting. Beberapa tanda-tanda tersebut antara lain:

  • Perasaan hampa terus-menerus
  • Gangguan tidur atau makan
  • Menarik diri dari lingkungan sosial
  • Munculnya pikiran seperti “aku ingin menghilang” atau “kalau aku tidak ada, semuanya lebih baik”

Jika kamu mengalami ini, jangan menunda untuk mencari bantuan. Bicaralah dengan psikolog, konselor, atau minimal orang yang kamu percaya. Di Indonesia, layanan seperti Sejiwa (119 ext. 8) bisa menjadi langkah awal.

Menciptakan Tempat Kerja yang Peduli

Perusahaan juga memegang peran besar dalam mencegah tragedi mental. Memberi ruang untuk istirahat, menerapkan jam kerja yang manusiawi, serta menyediakan layanan konseling internal bisa membuat perbedaan besar.

Budaya empati perlu dibangun. Bukan hanya slogan di dinding kantor, tapi dalam tindakan nyata: mendengarkan, menghargai, dan memahami bahwa karyawan adalah manusia dengan kebutuhan emosional yang nyata.

Kita Tidak Sendiri

Jika kamu merasa lelah, kehilangan harapan, atau berpikir bahwa dunia akan lebih baik tanpa kamu—ketahuilah, kamu tidak sendiri. Banyak yang pernah ada di titik itu. Tapi ada jalan untuk keluar. Ada tangan yang siap menggenggam, asal kamu mau bicara. Satu langkah kecil mencari bantuan bisa jadi penyelamat nyawa.

Yntuk kita semua, mari buka mata dan hati. Mungkin teman kerja kita sedang membutuhkan lebih dari sekadar tawa basa-basi. Mungkin, satu pertanyaan sederhana, “Kamu baik-baik saja?” bisa menjadi titik balik hidup seseorang.

Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal sedang mengalami krisis, hubungi layanan kesehatan jiwa terpercaya. Kamu penting. Kamu berharga.