Kenapa Wanita Lebih Sering Menangis? Ini Penjelasan Psikologisnya

Ilustrasi Wanita Menangis Usai Marah
Sumber :
  • Pixaby

Lifestyle –Pernahkah kamu merasa ingin menangis tanpa alasan yang jelas? Atau justru merasa lega setelah air mata tumpah? Bagi banyak wanita, menangis bukan hal yang asing. Namun, sering kali air mata dipandang sebelah mata—dianggap sebagai kelemahan, cengeng, atau kurang dewasa. Padahal, ada penjelasan ilmiah yang menjelaskan kenapa wanita memang lebih sering menangis, dan mengapa itu seharusnya tidak menjadi stigma.

Kalau Kantor Bikin Cemas dan Susah Tidur, Ini Tandanya Harus Waspada

Di tengah dunia yang terbiasa menilai ketegaran lewat ketidakterlibatan emosional, wanita justru menunjukkan kekuatan dengan cara yang berbeda: melalui empati, kepekaan, dan ekspresi yang jujur seperti menangis. Pertanyaannya: apakah wanita memang diciptakan lebih emosional? Ataukah ada kerja otak dan sistem tubuh yang menjelaskan semua ini?

Fakta Ilmiah: Wanita Memang Lebih Sering Menangis

Beberapa studi lintas negara menunjukkan konsistensi: wanita memang menangis lebih sering daripada pria. Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Ad Vingerhoets, psikolog klinis dari Tilburg University di Belanda, menemukan bahwa wanita menangis rata-rata 2 hingga 5 kali per bulan, sedangkan pria hanya sekitar 1 kali per bulan. Namun menariknya, ini bukan semata soal perbedaan budaya atau pembiasaan sosial, melainkan juga pengaruh biologis dan neurologis. Berikut adalah tiga penjelasan utama:

1. Peran Hormon

5 Profesi yang Cocok untuk Kamu yang Ingin Ganti Karier di Usia 30-an

Hormon prolaktin, yang jauh lebih tinggi kadarnya pada wanita dibanding pria (terutama setelah pubertas), sangat berperan dalam produksi air mata. Prolaktin juga berfungsi dalam sistem stres dan empati. Sementara itu, hormon testosteron pada pria memiliki efek menekan reaksi emosional dan menghambat produksi air mata. Kombinasi ini menjelaskan mengapa wanita cenderung lebih mudah menangis sebagai respons terhadap stres atau konflik emosional.

2. Struktur Otak yang Berbeda

Neuropsikiater dari University of California, San Francisco, Dr. Louann Brizendine menjelaskan bahwa wanita memiliki konektivitas lebih kuat antara sistem limbik (pengatur emosi) dan korteks prefrontal (pengatur keputusan). Artinya, wanita tidak hanya merasakan emosi lebih dalam, tapi juga memproses dan mengekspresikannya dengan cara yang lebih kompleks.

Ketika Stres Kerja Tak Lagi Biasa, Sejauh Apa Beban Mental Bisa Menjerumuskan pada Pikiran 'Nekat'?

Selain itu, otak wanita secara statistik menunjukkan lebih banyak aktivitas di area yang berhubungan dengan empati dan deteksi ekspresi wajah, sehingga mereka lebih peka terhadap emosi—baik yang dirasakan sendiri maupun oleh orang lain.

3. Pengaruh Sosial dan Pendidikan Emosi Sejak Kecil

Meski faktor biologis sangat berpengaruh, tidak bisa dipungkiri bahwa norma sosial memperkuat perbedaan ini. Sejak kecil, anak perempuan lebih sering diajak berbicara tentang perasaan, diberi izin untuk menangis, dan dianggap wajar ketika menunjukkan emosi. Sebaliknya, anak laki-laki lebih sering dibesarkan dengan kalimat ‘jangan nangis’ atau ‘cowok harus kuat’.

Kombinasi antara struktur biologis dan pendidikan sosial ini menghasilkan perbedaan nyata antara pria dan wanita dalam cara menangani dan mengekspresikan emosi.

Perbedaan Cara Menangis: Bukan Sekadar Volume, Tapi Juga Makna

Bukan hanya seberapa sering, tetapi juga mengapa wanita menangis berbeda dari pria. Sebuah studi di Journal of Research in Personality menemukan bahwa wanita cenderung menangis karena empati, frustasi, atau perasaan tertekan yang mendalam. Sementara pria lebih sering menangis karena kehilangan besar atau kemarahan ekstrem.

Dalam praktik psikoterapi, menangis menjadi indikator penting dalam pemrosesan emosi. Psikolog klinis dari UCLA, Dr. Stephen Sideroff menyebutkan bahwa kemampuan menangis secara sehat adalah bentuk keterhubungan antara tubuh dan jiwa.

Tangisan menunjukkan bahwa sistem emosional sedang mencoba mencapai keseimbangan,” ungkapnya.

Air Mata Sebagai Pelepas Tekanan Emosional

Saat menangis, tubuh tidak hanya meneteskan air mata, tetapi juga melepaskan hormon stres seperti adrenalin dan kortisol. Setelah menangis, tubuh cenderung memasuki fase relaksasi, di mana sistem saraf parasimpatis (sistem pemulihan tubuh) mulai bekerja.

Manfaat lain dari menangis meliputi:

  • Meredakan ketegangan otot
  • Mengaktifkan sistem saraf untuk relaksasi
  • Memperkuat keterhubungan interpersonal saat dilihat orang lain
  • Membantu menata ulang emosi dan perspektif

Maka tidak heran, setelah menangis, seseorang sering kali merasa lebih ringan dan mampu berpikir lebih jernih.

Sudut Pandang Baru: Tangisan Adalah Proses, Bukan Akhir

Jika sebelumnya kita menganggap tangisan sebagai tanda berakhirnya kekuatan, kini waktunya mengubah sudut pandang. Tangisan adalah bagian dari proses mental yang sedang berlangsung—penanda bahwa seseorang sedang mengurai simpul-simpul emosi yang rumit di dalam dirinya.

Tangisan bisa hadir di tengah rasa syukur, kehilangan, kebingungan, hingga kebahagiaan yang tak mampu dijelaskan. Wanita lebih sering menangis bukan karena mereka lemah, tetapi karena mereka memberi ruang lebih besar untuk mengenali dan menyambut emosinya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Brené Brown, peneliti tentang kerentanan dan keberanian dari University of Houston, “Menangis bukan kelemahan—ia adalah ekspresi dari keberanian untuk merasakan secara utuh.”

Tangisan Adalah Bukti Bahwa Kamu Hidup

Di dunia yang menuntut kekuatan dalam bentuk ketegaran dan pengendalian diri, air mata sering kali menjadi simbol yang disalahpahami. Padahal, menangis justru menunjukkan bahwa seseorang masih hidup, masih peduli, dan masih terhubung dengan sisi manusiawinya.

Bagi para wanita, jangan merasa bersalah jika air matamu tumpah. Itu bukan tanda kamu lemah, tapi tanda kamu sedang menyembuhkan. Dan bagi siapa pun yang menyaksikan, belajarlah melihat tangisan bukan sebagai kelemahan, tapi sebagai bahasa jiwa yang sedang mencari jalan pulang.