Pertengkaran Kakak-Adik Tak Ada Habisnya? Ini Trik Orang Tua Biar Anak Mau Kompromi

Ilustrasi berantem sama saudara
Sumber :
  • Freepik

LifestylePertengkaran antar saudara adalah hal yang hampir pasti terjadi dalam sebuah keluarga. Apalagi jika perbedaan usia cukup jauh, misalnya kakak sudah remaja sementara adiknya masih balita. Konflik sering timbul karena kebutuhan, cara berpikir, dan tingkat emosi mereka berbeda.

Kenapa Anak Sering Berantem dengan Saudaranya?

Namun, pertengkaran ini tidak selalu buruk jika diarahkan dengan tepat, justru bisa menjadi sarana anak belajar kompromi, empati, dan kerja sama. Menurut Dr. Laura Markham, psikolog anak dan pendiri Aha! Parenting, konflik antar saudara adalah laboratorium kehidupan.

”Di sinilah anak-anak belajar keterampilan sosial penting seperti berbagi, bernegosiasi, dan mengendalikan emosi,” kata dia.

Mengapa Perbedaan Usia Memicu Konflik?

1. Perbedaan kebutuhan perkembangan

  • Anak balita cenderung egosentris, ingin mainannya sendiri, dan belum paham berbagi.
  • Remaja sudah mulai mengutamakan privasi dan otonomi, sehingga mudah terganggu jika adik terlalu menempel.

2. Bahasa emosi yang berbeda

  • Balita lebih banyak mengekspresikan diri lewat tangisan atau teriakan.
  • Remaja cenderung lebih verbal, tetapi juga bisa mudah tersulut karena merasa tidak dihargai.

3. Perhatian orang tua

  • Kadang, balita mendapat perhatian lebih karena masih kecil. Remaja bisa merasa diabaikan, lalu muncul rasa iri.
5 Cara Efektif Menegur Anak Tanpa Harus Berteriak atau Membentak

Dr. Markham menegaskan, tidak ada anak yang benar-benar merasa mendapatkan bagian perhatian yang sama. Maka dari itu, kata dia orang tua perlu peka agar perbedaan usia tidak berubah jadi jurang konflik.

Pertengkaran antar saudara sendiri harus diredakan sebab jika tidak, anak bisa membawa rasa iri dan cemburu hingga dewasa. Selain itu, hubungan kakak-adik menjadi renggang serta anak tidak belajar keterampilan sosial penting seperti kompromi dan empati. Oleh karena itu, konflik harus dikelola, bukan dihindari.

Strategi Mengatasi Pertengkaran Berdasarkan Usia

1. Untuk Adik Balita

  • Ajari berbagi secara bertahap: jangan langsung paksa anak membagi mainannya, tapi latih dengan sistem bergantian.
  • Gunakan bahasa sederhana untuk menjelaskan perasaan, misalnya “Kakak butuh waktu sendiri.”
  • Alihkan energi: jika adik ingin perhatian, orang tua bisa memberi kegiatan lain yang sesuai usianya.

2. Untuk Kakak Remaja

  • Berikan ruang privasi: sediakan waktu khusus tanpa gangguan adik.
  • Libatkan dalam peran positif: minta bantuan kakak menjaga atau mengajarkan hal sederhana, tapi jangan paksa.
  • Validasi emosinya: akui bahwa wajar merasa kesal jika adik terlalu rewel.

3. Untuk Orang Tua

  • Jangan pilih kasih: hindari komentar seperti “Kamu kan lebih besar, harus ngalah.” Itu bisa menimbulkan rasa tidak adil.
  • Jadi penengah, bukan hakim: bukan soal siapa yang benar atau salah, tapi bagaimana mencari solusi bersama.
  • Gunakan “family meeting”: buat pertemuan keluarga singkat untuk membicarakan masalah yang sering muncul.
Kenapa Orang Pendiam Bisa Meledak Lebih Dahsyat Saat Marah?

Menurut Dr. Markham, orang tua sebaiknya tidak terlalu cepat masuk sebagai wasit.

”Biarkan anak mencoba menyelesaikan konflik mereka sendiri, dengan arahan seperlunya,” kata dia.

Ajarkan Anak Belajar Kompromi

Kompromi adalah keterampilan yang butuh dilatih. Beberapa cara praktis:

  • Buat aturan sederhana: misalnya waktu main bergantian 15 menit.
  • Ajari anak mengungkapkan perasaan tanpa teriak, misalnya dengan kalimat: “Aku merasa…”
  • Berikan contoh nyata: orang tua juga bisa memperlihatkan kompromi dalam kehidupan sehari-hari.

Dr. Markham menambahkan, anak-anak belajar paling baik lewat contoh. Jika mereka melihat orang tuanya saling menghargai dan mencari jalan tengah, mereka akan meniru pola itu.

Kapan Pertengkaran Perlu Diwaspadai?

Pertengkaran wajar, tapi ada tanda bahaya:

  • Salah satu anak selalu menjadi korban (misalnya selalu menyerah atau dikucilkan).
  • Pertengkaran melibatkan kekerasan fisik berulang.
  • Anak mulai menunjukkan gejala stres, seperti sulit tidur atau enggan bermain di rumah.

Dalam kasus ini, orang tua perlu intervensi lebih serius, bahkan bisa berkonsultasi dengan psikolog anak.