Anak Korea Terjebak Ekspektasi? Inilah Dampak Budaya Kompetisi pada Hubungan Orang Tua dan Anak
- Freepik
Lifestyle –Korea Selatan dikenal dengan budaya kompetisinya yang ketat, terutama dalam dunia pendidikan, di mana keberhasilan akademik sering dianggap sebagai kunci menuju kesuksesan hidup. Namun, di balik prestasi gemilang, budaya ini kerap menjebak anak-anak dalam tekanan ekspektasi yang tinggi, baik dari orang tua maupun masyarakat.
Dalam konteks parenting, tantangan ini memengaruhi hubungan emosional antara orang tua dan anak, menciptakan dinamika yang kompleks. Pola asuh yang tidak seimbang dapat memicu ketegangan, sementara pendekatan yang bijak mampu memperkuat ikatan keluarga. Artikel ini mengulas dampak budaya kompetisi di Korea Selatan terhadap hubungan orang tua dan anak, tantangan dalam parenting, serta strategi untuk menciptakan hubungan yang harmonis di tengah tekanan sosial.
Budaya Kompetisi di Korea Selatan
Sistem pendidikan Korea Selatan merupakan salah satu yang paling kompetitif di dunia, dengan ujian masuk universitas (Suneung) menjadi penentu utama masa depan siswa. Menurut data OECD, siswa Korea Selatan menghabiskan rata-rata 2.900 jam per tahun untuk belajar, termasuk di hagwon (bimbingan belajar) setelah jam sekolah.
Budaya Konfusianisme, yang menekankan pentingnya pendidikan, hormat kepada orang tua, dan keberhasilan keluarga, memperkuat tekanan ini. Banyak keluarga menginvestasikan hingga 20% pendapatan mereka untuk pendidikan tambahan, mencerminkan besarnya ekspektasi terhadap anak. Budaya ini menciptakan lingkungan di mana prestasi akademik menjadi ukuran utama kesuksesan, sering kali mengorbankan kesejahteraan emosional anak.
Ekspektasi Tinggi terhadap Anak
Ekspektasi terhadap anak di Korea Selatan sering kali berpusat pada pencapaian nilai akademik sempurna, masuk universitas ternama seperti Seoul National University, dan meraih karier bergengsi. Ekspektasi ini tidak hanya berasal dari orang tua, yang melihat keberhasilan anak sebagai cerminan status sosial keluarga, tetapi juga dari masyarakat yang membandingkan prestasi anak-anak secara terbuka. Sebuah studi kasus dari Seoul menunjukkan seorang siswa SMA yang menghadiri hagwon hingga tengah malam untuk memenuhi harapan orang tuanya masuk fakultas kedokteran, meskipun ia lebih tertarik pada seni. Tekanan ini sering kali membuat anak merasa terjebak, dengan sedikit ruang untuk mengeksplorasi minat pribadi atau menerima kegagalan sebagai bagian dari pembelajaran.