Pola Diet Tertentu Bisa Sebebkan Risiko Kanker Usus Besar
- Pixaby
Lifestyle –Kanker usus besar (colon cancer) merupakan penyebab kematian akibat kanker nomor dua di dunia. Berdasarkan data WHO, pada tahun 2020 tercatat 1,9 juta kasus baru kanker kolorektal, dengan lebih dari 930.000 kematian. Di Amerika Serikat saja, American Cancer Society memperkirakan kanker kolorektal akan menyebabkan sekitar 52.900 kematian pada tahun 2025, karena itu pencegahan dan diagnosis dini sangatlah penting.
Faktor gaya hidup, termasuk pola makan, berperan besar dalam meningkatkan risiko kanker usus besar. Namun, menghindari makanan ultra-proses dan daging merah saja ternyata tidak cukup untuk menurunkan risiko.
Sebuah studi terbaru dari peneliti di University of Toronto menemukan bahwa pola makan tertentu yang populer di kalangan orang yang sedang diet menurunkan berat badan justru dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal secara signifikan. Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Nature Microbiology.
Diet dan Kanker Usus Besar
Penelitian mengejutkan ini mengaitkan pola makan populer dengan meningkatnya risiko kanker usus besar. Para peneliti menemukan bahwa diet ini dapat memperburuk kerusakan DNA akibat aktivitas bakteri usus tertentu, yang pada akhirnya memicu kanker. Diet yang dimaksud adalah diet rendah karbohidrat dan rendah serat.
Dalam uji coba pada tikus, peneliti membandingkan tiga pola makan yakni pola makan normal, rendah karbohidrat, dan pola makan ala Barat (tinggi lemak serta gula), dikombinasikan dengan jenis bakteri usus tertentu yang sudah pernah dikaitkan dengan kanker usus besar.
Hasilnya, diet rendah karbohidrat dan rendah serat khususnya serat larut yang dipadukan dengan strain bakteri E. coli tertentu menyebabkan pertumbuhan polip lebih banyak di usus besar. Polip ini bisa menjadi awal terbentuknya kanker.
“Selama ini kanker kolorektal dianggap dipengaruhi banyak faktor, termasuk pola makan, mikrobioma usus, lingkungan, dan genetik. Pertanyaan kami adalah: apakah pola makan dapat memengaruhi kemampuan bakteri tertentu untuk menyebabkan kanker?” jelas penulis senior penelitian, profesor imunologi di Fakultas Kedokteran Temerty, University of Toronto, Alberto Martin seperti dikutip dari laman Times of India, Rabu 24 September 2025.
Detail Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti mengamati tikus yang diberi tiga jenis bakteri berbeda yang sudah diketahui berkaitan dengan kanker usus besar lalu diberi pola makan normal, rendah karbohidrat, atau ala Barat.
Mereka menemukan kombinasi berbahaya yakni diet rendah karbohidrat yang dipadukan dengan strain E. coli penghasil senyawa perusak DNA bernama colibactin. Kombinasi ini memicu perkembangan kanker usus besar.
Peneliti menjelaskan, kekurangan serat dalam diet dapat meningkatkan peradangan pada usus. Hal ini mengubah komposisi mikroba usus dan menciptakan lingkungan yang mendukung berkembangnya E. coli penghasil colibactin.
Martin menekankan pentingnya mengidentifikasi pasien sindrom Lynch yang memiliki bakteri penghasil colibactin ini. Menurutnya, pasien seperti ini sebaiknya menghindari diet rendah karbohidrat atau bahkan menjalani terapi antibiotik tertentu untuk menghilangkan bakteri tersebut, sehingga risikonya berkurang.
Menariknya, strain E. coli bernama Nissle yang banyak ditemukan dalam produk probiotik juga memproduksi colibactin. Penelitian masih berlanjut untuk mengetahui apakah penggunaan probiotik ini aman bagi penderita sindrom Lynch atau mereka yang menjalani diet rendah karbohidrat dalam jangka panjang.
Harapan dari Serat
Dalam tahap lanjutan penelitian, peneliti menambahkan serat larut ke dalam diet rendah karbohidrat pada tikus. Hasilnya, jumlah E. coli pemicu kanker menurun, kerusakan DNA berkurang, dan pertumbuhan tumor lebih sedikit.
“Kami menambahkan serat dan melihat efek negatif diet rendah karbohidrat bisa ditekan. Sekarang kami ingin mengetahui sumber serat mana yang lebih bermanfaat dan mana yang kurang,” jelas Martin.
Ia menegaskan, bahwa studi yang dilakukan pihaknya menyoroti potensi bahaya dari penggunaan jangka panjang diet rendah karbohidrat dan rendah serat, yang banyak dipilih untuk menurunkan berat badan.
”Masih banyak yang perlu diteliti, tapi kami berharap temuan ini bisa meningkatkan kesadaran masyarakat,” kata dia.