Jadi Tulang Punggung Keluarga, Tapi Pekerjaan Bikin Burnout? Ini Saran Psikolog
- Pixaby
Lifestyle –Ada masa ketika pekerjaanmu bukan lagi soal karier atau prestasi. Setiap pagi bukan tentang semangat menaklukkan tantangan, tapi lebih kepada bertahan agar dapur tetap ‘ngebul’, tagihan tetap terbayar, dan orang-orang di rumah bisa tidur tenang. Bukan karena kamu benci pekerjaanmu, tapi karena kamu terlalu lama mengabaikan diri sendiri.
Rasa lelah itu bukan hanya soal tubuh. Kadang kamu merasa kosong, sulit bahagia bahkan setelah menyelesaikan tugas-tugas penting. Di antara rapat, tenggat waktu, dan tekanan finansial, kamu tahu ada yang pelan-pelan aus dalam dirimu. Tapi kamu terus melangkah karena merasa tak punya pilihan karena kamu tulang punggung keluarga.
Jika kamu membaca ini sambil menahan napas, kamu tidak sendirian. Artikel ini akan mengajakmu mengenali kelelahan yang sering diabaikan—burnout—dan menunjukkan bagaimana kamu bisa mulai menyembuhkan diri, dengan panduan dari psikolog dan pakar ternama dunia.
Apa Itu Burnout? Bukan Sekadar Lelah, Tapi Luka yang Tak Terlihat
Burnout bukan hanya kelelahan biasa yang bisa disembuhkan dengan tidur semalaman. World Health Organization (WHO) menyebut burnout sebagai sindrom akibat stres kerja kronis yang tidak berhasil ditangani. Ia bukan penyakit mental, tapi bila diabaikan terlalu lama, dapat berdampak langsung pada kesehatan mental dan fisik.
Menurut profesor psikologi dari University of California, Dr. Christina Maslach ada tiga dimensi utama burnout:
- Emotional exhaustion – kelelahan emosional yang membuatmu merasa “habis”.
- Depersonalization – munculnya rasa sinis dan kehilangan empati terhadap pekerjaan dan orang lain.
- Reduced personal accomplishment – merasa tidak produktif atau tidak berarti, bahkan saat telah menyelesaikan banyak hal.
“Burnout bukan kelemahan pribadi. Ini adalah respons manusia terhadap sistem yang terlalu menuntut,” tegas Dr. Maslach.
Dalam praktiknya, burnout bisa datang tanpa disadari. Banyak orang baru menyadari mereka mengalaminya saat tubuh mulai menyerah—gangguan tidur, sakit kepala terus-menerus, cepat marah, atau hilangnya motivasi.
Jadi Tulang Punggung Keluarga = Lebih Rentan Burnout?
Ya, dan itu bukan asumsi. Penelitian menunjukkan bahwa beban psikologis menjadi pencari nafkah utama berkaitan erat dengan burnout. American Psychological Association (APA) mencatat bahwa individu yang merasa bertanggung jawab penuh atas keuangan keluarga lebih rentan terhadap stres kronis, terutama jika:
- Tidak mendapat dukungan emosional.
- Tidak bisa membagi perasaan karena takut dianggap lemah.
- Tidak punya waktu atau ruang untuk merawat diri sendiri.
Tulang punggung keluarga seringkali hidup dengan narasi 'aku harus kuat untuk semua orang'. Sayangnya, ini justru menekan emosi yang seharusnya diproses. Psikolog Harvard dan penulis buku Emotional Agility, Dr. Susan David menjelaskan bahwa menolak mengakui emosi sulit justru memperburuk kesehatan mental.
“Semakin kamu menolak emosi itu, semakin besar kuasa mereka atasmu. Kerentanan bukan kelemahan, tapi jalan menuju ketahanan," kata dia.
Peran sebagai tulang punggung bukan hanya soal tanggung jawab ekonomi. Ada tekanan sosial, ekspektasi moral, dan beban psikologis yang tidak kasat mata. Kombinasi ini bisa menciptakan kondisi psikologis yang mirip dengan beban ganda, atau invisible labor, yang melelahkan secara berlapis.
Tanda-Tanda Kamu Mengalami Burnout (Dan Sering Dianggap “Biasa Saja”)
Coba kenali apakah kamu mengalami beberapa hal berikut:
- Sulit merasa puas meski pekerjaan selesai.
- Merasa bersalah jika mengambil waktu istirahat.
- Hubungan pribadi mulai terganggu karena kamu cepat marah atau menarik diri.
- Performa kerja turun, tapi kamu merasa tak mampu memperbaikinya.
- Kehilangan semangat, meski dulu pekerjaan ini adalah passion-mu.
Ini bukan cuma stres biasa. Burnout bisa membuatmu merasa tidak lagi mengenali dirimu sendiri. Bahkan dalam pekerjaan yang dulu kamu cintai, kamu kini merasa mati rasa.
Bagaimana Mengatasi Burnout dengan Cara yang Sehat dan Realistis?
1. Validasi Emosi Diri—Tanpa Rasa Bersalah
Langkah pertama adalah berhenti menyangkal. Akui bahwa kamu lelah, dan kamu butuh ruang, pakar dari University of Houston yang meriset tentang kerentanan dari menyatakan:
“Kita tidak bisa memilih untuk mati rasa hanya pada emosi negatif. Saat kita menolak rasa lelah, kita juga menumpulkan rasa syukur dan kebahagiaan.”
Luangkan waktu untuk sekadar mendengarkan isi hatimu. Menuliskannya dalam jurnal bisa jadi awal yang menyembuhkan.
2. Tentukan Batasan—Kesehatan Emosional Butuh Perlindungan
Kamu berhak berkata tidak. Menolak lembur, tidak membuka email setelah jam kerja, atau menyisihkan 30 menit sehari tanpa gawai bisa jadi langkah kecil yang berdampak besar.
3. Bangun Sistem Dukungan
Burnout tidak bisa ditangani sendirian. Berbicaralah pada pasangan, teman, atau komunitas yang bisa memahami kondisi kamu. Bahkan jika tidak bisa langsung ke psikolog, berbagi dengan orang tepercaya bisa mengurangi tekanan mental.
4. Pertimbangkan Bantuan Profesional
Menurut National Alliance on Mental Illness (NAMI), terapi dapat membantu individu memahami akar burnout dan menyusun strategi pemulihan yang sesuai dengan realitas hidupnya. Kamu tak perlu menunggu “terlalu rusak” untuk mencari bantuan.
Tapi Aku Tak Bisa Berhenti—Masih Banyak yang Harus Ditanggung
Benar. Banyak dari kita tidak punya kemewahan untuk cuti panjang atau ganti pekerjaan. Tapi itu bukan alasan untuk terus mengabaikan diri sendiri.
Kamu bisa mulai dengan:
- Istirahat mikro setiap 2 jam: tutup mata 5 menit, atur napas.
- Buat ritual pulang kerja: misalnya mandi air hangat atau jalan kaki sebentar sebelum masuk rumah.
- Tanyakan ke diri sendiri: “Apa satu hal kecil hari ini yang membuatku tetap bertahan?”
Ingat, perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang dilakukan dengan konsisten dan penuh kesadaran.
Menjadi Kuat Bukan Berarti Mengorbankan Diri Sendiri
Menjadi tulang punggung keluarga adalah bentuk cinta yang luar biasa. Tapi kamu tidak harus hancur demi menopang semuanya. Kamu juga berhak untuk pulih, untuk merasa cukup, dan untuk hidup dengan lebih ringan.
Burnout bukan aib. Ia adalah sinyal dari tubuh dan jiwa bahwa kamu butuh perhatian. Dengarkan, rawat dan percayalah kamu tidak sendiri.