Bukan Manja, Tapi Butuh Dihargai: Pentingnya Validasi Emosi untuk Ibu Rumah Tangga

Ilustrasi Emosi Ibu Rumah Tangga
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Setiap pagi, sebelum matahari terbit, banyak ibu rumah tangga di seluruh dunia—termasuk di Indonesia—sudah bangun untuk menyiapkan segalanya. Mereka memastikan sarapan siap, anak-anak rapi untuk sekolah, rumah bersih, dan semua anggota keluarga bisa menjalani hari dengan lancar. Tapi, siapa yang bertanya apakah mereka baik-baik saja?

Kalau Kantor Bikin Cemas dan Susah Tidur, Ini Tandanya Harus Waspada

Saat seorang ibu rumah tangga mengeluh lelah atau merasa kewalahan, sering kali respons yang diterima adalah, ‘Kan cuma di rumah’. Kalimat ini tak hanya menyakitkan, tapi juga meremehkan beban emosional dan fisik yang mereka tanggung. Ini bukan soal manja—ini soal validasi. Sebuah kebutuhan dasar manusia untuk merasa dimengerti dan dihargai.

Ibu Rumah Tangga: Kerja Tak Terlihat, Lelah Tak Diakui

Menurut laporan dari Pew Research Center, sekitar 28 persen perempuan di AS memilih menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Meski tidak menerima gaji, waktu kerja mereka setara dengan 98 jam per minggu. Aktivitas seperti mengurus anak, memasak, membersihkan rumah, mengatur keuangan keluarga, dan menjaga keharmonisan rumah tangga bukan hanya pekerjaan, tetapi tanggung jawab emosional yang melelahkan.

5 Profesi yang Cocok untuk Kamu yang Ingin Ganti Karier di Usia 30-an

Bagaimana dengan Indonesia? Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 49 persen perempuan usia produktif di Indonesia bekerja di sektor domestik dan tidak masuk dalam kategori angkatan kerja formal. Mayoritas dari mereka adalah ibu rumah tangga, yang kontribusinya tidak tercatat dalam Produk Domestik Bruto (PDB), padahal pekerjaan rumah tangga memiliki nilai ekonomi yang besar.

Dalam laporan UN Women Indonesia 2022, disebutkan bahwa perempuan Indonesia menghabiskan rata-rata 8,5 jam per hari untuk pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan, sementara laki-laki hanya 3,2 jam. Ini menunjukkan ketimpangan beban kerja yang cukup besar, meskipun peran ibu rumah tangga sangat penting dalam menopang kesejahteraan keluarga.

Ketika Stres Kerja Tak Lagi Biasa, Sejauh Apa Beban Mental Bisa Menjerumuskan pada Pikiran 'Nekat'?

Peneliti dari Universitas Indonesia juga mencatat bahwa ibu rumah tangga di Indonesia mengalami tekanan emosional tinggi karena kurangnya pengakuan atas peran mereka. Banyak dari mereka yang merasa terisolasi secara sosial dan tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan emosi, terutama karena budaya yang cenderung memuja peran ibu tanpa memberi dukungan nyata terhadap kesejahteraan mentalnya.

Validasi Emosi: Kebutuhan Dasar, Bukan Permintaan Berlebihan

Seorang psikolog dari University of Texas dan pakar dalam bidang self-compassion, Dr. Kristin Neff menjelaskan bahwa validasi emosi adalah proses menerima dan memahami perasaan seseorang tanpa menghakimi.

"Ketika emosi tidak divalidasi, seseorang merasa tak terlihat, tak penting, dan pada akhirnya kehilangan harga dirinya," katanya.

Dalam konteks ibu rumah tangga, ini bisa berarti merasa seperti 'robot' yang hanya menjalankan tugas tanpa ada yang menghargai atau sekadar bertanya, “Apa kamu butuh bantuan?” atau “Kamu kelihatan lelah, apa yang bisa aku lakukan?” Validasi bukan berarti menyetujui semua emosi negatif, tapi mengakui bahwa emosi itu nyata dan layak didengar.

Dampak Psikologis dari Kurangnya Validasi

Studi dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa individu yang emosinya sering diabaikan berisiko lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan, dan burnout. Ibu rumah tangga sangat rentan terhadap ini karena mereka berada dalam sistem yang sering kali memandang tugas mereka sebagai “biasa saja.”

Ketika validasi emosi tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari, ibu rumah tangga dapat mengalami dampak psikologis seperti:

  • Depresi jangka panjang, akibat akumulasi perasaan tidak dihargai.
  • Kehilangan kepercayaan diri, karena merasa kontribusinya tidak berarti.
  • Kesepian emosional, meski berada di tengah keluarga.
  • Burnout atau kelelahan emosional, yang bisa berujung pada gangguan fisik.
  • Kesulitan membangun ikatan yang sehat dengan pasangan atau anak-anak karena merasa hubungan berlangsung satu arah.

Validasi bukan sekadar perhatian sesaat—ini kebutuhan dasar yang jika diabaikan, bisa menjadi luka emosional yang dalam dan memengaruhi kesejahteraan keluarga secara keseluruhan.

Mengapa Penghargaan Emosional Itu Krusial

Psikolog klinis yang juga penulis buku Emotional First Aid, Dr. Guy Winch menyebutkan bahwa kebutuhan untuk merasa dihargai adalah fondasi dari hubungan sehat, baik dalam pernikahan maupun keluarga. Ketika ibu rumah tangga mendapatkan validasi, mereka cenderung merasa lebih terhubung secara emosional dengan pasangan dan anak-anak, serta memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi.

Validasi juga bisa menjadi bentuk dukungan tak kasatmata yang menguatkan. Kalimat sederhana seperti ‘Terima kasih sudah mengurus semua hari ini’ atau ‘Aku lihat kamu sudah kerja keras’ bisa membuat perbedaan besar.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

  1. Mulai dengan mendengarkan. Ketika ibu rumah tangga menyampaikan keluh kesah, dengarkan tanpa langsung memberi solusi atau membandingkan.
  2. Ungkapkan penghargaan secara verbal. Kata-kata memiliki kekuatan. Gunakan untuk membangun, bukan mengabaikan.
  3. Libatkan diri dalam pekerjaan rumah tangga. Pembagian tugas yang adil akan mengurangi beban emosional.
  4. Berikan ruang pribadi. Ibu rumah tangga juga manusia yang butuh waktu untuk dirinya sendiri tanpa rasa bersalah.
  5. Ajak bicara profesional. Jika terlihat tanda stres berlebihan atau depresi, jangan ragu untuk menghubungi psikolog atau konselor.

Dari Rasa Tak Terlihat Menjadi Dihargai

Ibu rumah tangga tidak meminta tepuk tangan atau medali. Mereka hanya ingin didengar, dimengerti, dan dihargai. Bukan manja, tapi memang manusiawi. Ketika emosi mereka divalidasi, bukan hanya mereka yang lebih kuat, tapi juga keluarga yang lebih sehat secara emosional.

Mulai hari ini, mari kita lihat lebih dekat, dengar lebih dalam, dan ucapkan lebih tulus. Karena sering kali, yang paling mencintai dalam diam adalah mereka yang paling kita abaikan perasaannya.