Kenapa Rasa Ingin Resign Sering Muncul di Jumat Sore?

Ilustrasi resign kerja
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Hari Jumat sore. Deadline sudah lewat, otak rasanya penuh, dan tubuh serasa habis diperas. Saat itu juga, kamu berkata dalam hati “Udah deh, gue resign aja minggu depan.”

Ingin Selalu Unggul? Hati-Hati Jadi Korban Budaya Hustle yang Toksik

 

Kalau kamu pernah merasa seperti itu kamu tidak sendiri. Rasa ingin resign seringkali muncul bukan karena kita sudah benar-benar siap, tapi karena kelelahan emosional dan mental yang menumpuk sepanjang minggu.

Parenting Toksik dalam Balutan Agama, Waspadai Kesalahan Pola Asuh yang Mengklaim Islami

 

Menurut psikolog klinis dan pakar pengambilan keputusan profesional asal Amerika Serikat, Dr. Jennifer Guttman, emosi kita di akhir pekan biasanya bukan sinyal mutlak, tapi reaksi tubuh terhadap kelelahan dan tekanan bertubi-tubi.

Gen Z Sering Alami Burnout? Ini 7 Cara Aman Bertahan di Tempat Kerja yang Toksik

 

Jadi, kalau keinginan resign tiba-tiba datang di Jumat sore, jangan langsung ambil keputusan. Ada beberapa langkah penting yang bisa kamu lakukan lebih dulu agar tetap bijak dalam mengambil jalan hidup.

 

Pernah dengar istilah “Friday burnout”? Itu nyata. Banyak pekerja merasa puncak kejenuhan dan stres justru datang saat jam kerja hampir habis di hari Jumat. Ini karena akumulasi tekanan kerja dari Senin sampai Kamis. Selain itu, kelelahan fisik dan emosional yang sudah mencapai batas serta harapan akhir pekan sebagai escape dari beban kerja. Saat itulah keinginan resign muncul.

"Jangan biarkan keputusan besar lahir dari kelelahan sesaat. Keinginan kabur adalah sinyal, bukan jawaban," kata Dr. Guttman.

 

Jangan Ambil Keputusan Saat Emosi Tinggi

 

Resign bukan sekadar berhenti kerja. Itu keputusan besar yang bisa memengaruhi finansial, mental, dan arah hidupmu ke depan. Saat sedang emosi tinggi entah karena atasan menyebalkan, kerjaan menumpuk, atau suasana kantor yang bikin stres atau logika kita biasanya tidak bekerja optimal.

"Penting untuk mengenali perasaan ingin kabur, tapi beri ruang bagi logika untuk bicara. Jangan menukar ketenangan jangka panjang demi kelegaan sesaat," Dr. Guttman menjelaskan.

 

Ambil waktu. Diam sebentar. Jangan buat keputusan besar dalam kondisi kepala panas.

 

Sebelum kamu buru-buru membuka laptop untuk menulis surat pengunduran diri, penting banget untuk berhenti sejenak dan bertanya Sebenarnya apa sih yang bikin aku pengen resign?

 

Keinginan resign itu bisa muncul dari berbagai hal tapi tidak semuanya butuh solusi yang sama. Ada yang hanya merasa lelah biasa, ada juga yang sudah masuk tahap burnout, atau bahkan bekerja di lingkungan yang toksik. Memahami akar masalah ini sangat penting agar kamu nggak salah ambil keputusan.

 

Kalau kamu hanya lelah biasa, mungkin istirahat di akhir pekan atau cuti sehari bisa mengembalikan energi. Tapi kalau kamu merasa kosong, sulit bangun pagi karena kehilangan semangat, atau bahkan mulai merasa muak dengan hal-hal yang dulu kamu sukai di pekerjaanmu, itu bisa jadi tanda kamu sedang mengalami burnout.

 

Berbeda lagi jika kamu berada di tempat kerja yang toksik di mana kamu sering dipermalukan, pendapatmu diabaikan, atau ada pola kerja yang tidak sehat secara emosional. Dalam kasus seperti ini, masalahnya bukan cuma kelelahan, tapi sudah menyangkut kesehatan mental jangka panjang.

 

Menurut Guttman, cara terbaik untuk mengenali akar masalah adalah dengan membuat jurnal harian singkat. Catat kapan kamu merasa paling stres, apa pemicunya, dan berapa intensitasnya dari skala 1–10. Setelah satu minggu, kamu akan mulai melihat pola apakah kelelahanmu berasal dari beban kerja yang wajar, atau sudah menjadi tekanan emosional yang dalam.

"Burnout sering kali disalahartikan sebagai ‘waktunya resign’. Padahal yang dibutuhkan kadang hanya pemulihan," jelas Guttman.

 

Dengan memahami akar masalahnya, kamu bisa lebih bijak menentukan: apakah kamu hanya perlu jeda, perlu perubahan, atau memang perlu benar-benar pergi.

 

Sebelum benar-benar menyusun pengunduran diri, tanyakan pada diri sendiri:

 

  • Apakah ini hanya kelelahan sementara?

  • Apa yang akan saya lakukan setelah resign?

  • Apakah masalah ini akan tetap ada meski saya pindah kerja?

  • Apakah saya punya bekal (finansial & mental) untuk fase transisi?

 

Tuliskan jawaban kamu. Ini bisa membantu membedakan keputusan yang didorong oleh logika, bukan emosi.

"Kita sering salah mengira bahwa meninggalkan sesuatu artinya menyelesaikan masalah. Padahal, kadang kita cuma butuh ruang berpikir," kata Guttman.

 

Kalau kamu ingin resign sekarang juga, coba uji dulu keinginan itu dengan simulasi:

 

  • Ambil cuti sehari atau dua hari (jika memungkinkan).

  • Gunakan waktu itu untuk menjauh dari rutinitas kerja.

  • Bayangkan hari pertama kamu setelah resign. Apa yang kamu rasakan?

 

Jika setelah istirahat kamu masih tetap ingin pergi, itu bisa jadi tanda serius. Tapi jika keinginan itu memudar setelah sempat detox, maka mungkin kamu hanya perlu istirahat.

"Simulasi ini bisa memberi perspektif tanpa harus kehilangan jaring pengaman finansial," tambah Guttman.

Jika setelah refleksi kamu tetap yakin ingin resign, lakukan dengan perencanaan matang. Jangan resign mendadak tanpa:

 

  • Dana darurat (minimal 3 bulan pengeluaran pribadi)
  • CV dan portofolio yang diperbarui
  • Jaringan profesional yang aktif
  • Rencana aktivitas pasca-resign (kerja baru, studi, usaha, dsb)

 

Jika lingkunganmu toksik, pastikan kamu punya dukungan psikologis agar tidak membawa trauma itu ke tempat kerja berikutnya.