Mengapa Orang Jahat dan Sombong Akhirnya Menuai Akibatnya? Benarkah Karma Nyata?
- Pixaby
Lifestyle –Di dunia kerja, kehidupan sosial, bahkan dalam lingkup keluarga, kita sering menjumpai orang yang bersikap sombong, egois, atau bahkan merugikan orang lain dengan sadar. Uniknya, tak jarang kita melihat mereka akhirnya mendapat 'balasan' secara tiba-tiba seperti kehilangan pekerjaan, dijauhi teman, mengalami stres berat, atau kehilangan reputasi. Sebagian orang menyebut insiden ini sebagai karma.
Tapi apakah benar ini karma seperti yang diajarkan dalam ajaran spiritual? Ataukah fenomena ini dapat dijelaskan secara psikologis? Artikel ini akan menjelaskan konsep karma dari dua sudut pandang besar agama dan psikologi, serta mengapa orang jahat dan sombong pada akhirnya sering mengalami hal negatif dalam hidupnya.
Pertama mari bahas karma dari pandangan berbagai agama. Karma bukanlah konsep tunggal yang hanya dimiliki satu agama. Sebaliknya, berbagai keyakinan memiliki versi atau prinsip serupa.
Hindu dan Buddha
Dalam kepercayaan Hindu dan Buddha, karma adalah hukum universal sebab-akibat. Setiap tindakan, ucapan, dan bahkan pikiran menciptakan energi yang akan kembali kepada pelakunya, entah dalam waktu dekat atau di kehidupan berikutnya.
Dalam Bhagavad Gita, teks suci Hindu, dijelaskan:
“Apa yang kamu lakukan hari ini akan menentukan nasibmu di masa depan”.
Konsep ini memberi keyakinan bahwa keadilan akan datang pada waktunya, bahkan jika tidak secara langsung.
Islam
Dalam Islam, konsep balasan atas amal baik dan buruk tercermin jelas dalam Al-Qur’an surat Al Zalzalah.
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS Az-Zalzalah: 7-8)
Islam menekankan bahwa Allah Maha Adil dan setiap perbuatan manusia, meskipun kecil, akan mendapat balasan yang setimpal di dunia maupun akhirat.
Kristen
Meskipun tidak memakai istilah "karma", prinsip ini hidup dalam ajaran Yesus:
“Apa yang kamu tabur, itu juga yang akan kamu tuai.” (Galatia 6:7)
Prinsip ini menekankan bahwa tindakan jahat atau sombong akan kembali kepada pelakunya, baik melalui reaksi sosial atau campur tangan ilahi.
Karma dari Kacamata Psikologi: Hukum Balasan dalam Dunia Nyata
Di luar kerangka spiritual, psikologi sosial dan klinis juga melihat bagaimana tindakan negatif sering membawa konsekuensi psikologis dan sosial bagi pelakunya.
Psikologi Sosial: Kehilangan Dukungan Sosial
Profesor di Stanford University dan penulis The No Asshole Rule, Dr. Robert Sutton mengungkap bahwa perilaku jahat dan sombong seperti meremehkan orang lain, menyabotase rekan kerja, atau memanipulasi situasi akan merusak reputasi sosial pelaku itu sendiri.
“Orang-orang seperti ini biasanya menang di awal. Tapi dalam jangka panjang, mereka kehilangan kepercayaan, kolaborator, dan akhirnya dikucilkan dari jaringan sosial mereka,” tulis Sutton.
Manusia adalah makhluk sosial. Ketika seseorang terus menyakiti atau merugikan orang lain, respons alami orang di sekitarnya adalah menjaga jarak. Perlahan, pelaku akan kehilangan relasi yang berarti, termasuk peluang kerja dan dukungan emosional.
Psikologi Klinis: Efek Kejiwaan dari Perilaku Negatif
Psikolog klinis Dr. Guy Winch menjelaskan dalam bukunya Emotional First Aid, bahwa orang yang sering berbuat jahat atau bersikap sombong, tanpa disadari, membawa beban psikologis yang berat. Mereka mungkin terlihat percaya diri atau kuat di luar, namun dalam banyak kasus:
Merasa gelisah karena takut “terbongkar”.
Sering mengalami overthinking karena merasa harus terus menjaga citra.
Lebih rentan terhadap stres dan depresi karena tidak memiliki hubungan yang tulus.
Sombong dan kejahatan bisa menjadi bentuk pertahanan diri, tapi efeknya justru menyabotase kebahagiaan pelaku dari dalam.
Ilustrasi: Ketika Karma Menyerang Balik
Bayangkan seorang manajer yang selalu merendahkan bawahannya di depan umum, mengklaim ide tim sebagai miliknya sendiri, dan sering 'menjilat' atasan demi promosi. Di awal, ia terlihat sukses. Kariernya naik. Namun setelah beberapa waktu:
Anggota tim tidak lagi bekerja dengan maksimal karena kehilangan rasa percaya.
Beberapa rekan mulai melapor ke HR karena tekanan psikologis.
Atasan pun mulai meragukan kredibilitasnya karena hasil tim menurun drastis.
Akhirnya, dia bukan hanya gagal promosi, tapi juga harus pindah divisi karena kehilangan dukungan.
Ini bukan sekadar cerita rekaan. Fenomena seperti ini terjadi di banyak tempat kerja. Karma bekerja, kadang bukan secara mistik, tapi lewat mekanisme sosial yang sangat nyata.
Balasan yang Datang dari Diri Sendiri
Psikologi modern juga menyebut konsep self-sabotage, yakni kondisi di mana seseorang secara tidak sadar menciptakan kegagalan bagi dirinya sendiri. Orang yang sombong dan jahat sering kali:
Terlalu fokus mempertahankan citra, hingga melupakan proses belajar dan perbaikan.
Mengabaikan empati, sehingga sulit mendapatkan umpan balik jujur.
Mengisolasi diri secara sosial, karena tidak lagi dipercaya atau disukai.
Secara perlahan, mereka menciptakan realita negatif yang merugikan diri sendiri. Di sinilah psikologi menyentuh konsep karma—bukan karena kekuatan luar, tapi karena perilaku negatif menciptakan reaksi yang menghancurkan secara sistematis.
Karma Positif: Mengapa Kebaikan Tak Pernah Sia-sia
Jika karma negatif begitu nyata, maka karma positif pun demikian. Penelitian dari University of California, Berkeley, menyatakan bahwa orang yang terbiasa membantu, empatik, dan rendah hati memiliki tingkat kebahagiaan, kesehatan mental, dan kesuksesan sosial yang lebih tinggi.
“Kebaikan memiliki efek ‘contagious’ atau menular. Saat seseorang melakukan kebaikan, itu menstimulasi otak untuk melepaskan dopamin, yang memberi perasaan bahagia dan membuat orang lain ingin berbuat baik juga," kata ahli psikologi sosial, Prof. Dacher Keltner.
Sikap rendah hati, kerja tim, dan empati ternyata menciptakan lingkaran energi positif yang memperkuat hubungan sosial dan meningkatkan kualitas hidup.
Apakah karma itu nyata? Jawabannya tergantung dari kacamata mana kita melihatnya. Jika dilihat dari kacamata agama, karma adalah hukum spiritual yang tak bisa dihindari. Tuhan atau alam semesta akan membalas semua perbuatan. Sementara jika dilihat dari sisi psikologi, karma adalah konsekuensi alami dari perilaku manusia yang tercermin dalam relasi sosial, kondisi psikologis, dan keputusan-keputusan yang akhirnya berbalik merugikan pelakunya.
Orang yang jahat, sombong, dan manipulatif mungkin terlihat menang dalam jangka pendek. Tapi dalam jangka panjang, mereka kerap kehilangan hal-hal terpenting dalam hidup seperti kepercayaan, cinta, dan ketenangan batin.
Sebelum tergoda untuk berlaku curang, sombong, atau menyakiti orang lain demi kepentingan pribadi, tanyakan pada diri sendiri “Apa yang aku tanam hari ini, apakah akan membawa buah manis atau pahit di masa depan?”
Karma, pada akhirnya, bukan hanya tentang orang lain. Ia adalah cermin yang akan kembali pada siapa pun yang berdiri di hadapannya.