Pria Lebih Cepat Menikah Lagi Setelah Istri Meninggal? Ini Sebabnya
- Pixaby
Lifestyle –Tak jarang kita mendengar komentar tajam seperti, 'Baru saja istri meninggal, kok sudah nikah lagi?' atau 'Belum genap setahun, sudah ada pengganti'. Dalam banyak masyarakat, terutama yang menjunjung nilai tradisional, pria yang cepat menikah kembali setelah kepergian istrinya seringkali dianggap tak setia atau terlalu terburu-buru.
Namun, jika kita menengok lebih dalam, fenomena ini bukan hanya soal 'cepat move on'. Ada banyak faktor biologis, psikologis, bahkan sosiologis yang melatarbelakangi keputusan pria untuk menikah kembali dalam waktu relatif singkat. Sebaliknya, wanita yang kehilangan suami cenderung tidak atau sangat lambat untuk menikah lagi.
Apakah ini murni soal cinta? Ataukah ada hal lain yang perlu kita pahami sebelum menghakimi? Ternyata berdasarkan sejumlah studi ilmiah mengonfirmasi bahwa pria memang secara statistik lebih cepat menikah kembali setelah ditinggal wafat istrinya.
Salah satu studi besar dari National Institutes of Health (NIH) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 60 perssen pria menikah kembali dalam waktu 2 tahun setelah kematian istri, sementara hanya 20 persen wanita yang melakukan hal yang sama. Bahkan, menurut riset dari Harvard University, waktu rata-rata pria menikah lagi adalah sekitar 1,7 tahun, sedangkan wanita membutuhkan lebih dari 4 tahun, atau tidak menikah lagi sama sekali.
Fenomena ini dikenal dalam literatur akademik sebagai Widowhood Effect, yang bukan hanya berkaitan dengan peningkatan risiko kematian pasangan yang ditinggal, tetapi juga bagaimana pria cenderung mengisi kekosongan emosional dan praktis dengan pernikahan baru.
Penelitian dari University of California, Los Angeles (UCLA) juga mengungkapkan bahwa dalam banyak rumah tangga, istri memegang peranan penting dalam hal pengaturan kehidupan sehari-hari mulai dari makanan, kesehatan, hingga hubungan sosial. Ketika sosok itu hilang, pria bisa merasa 'kehilangan sistem hidupnya,' bukan hanya kehilangan pasangan.
Penjelasan Psikologis dan Emosional
Menurut psikolog dari Kinsey Institute, Dr. Justin Lehmiller, pria cenderung lebih sulit mengekspresikan dan memproses kesedihan dibanding wanita. Dalam relasi jangka panjang, pria sering menggantungkan kebutuhan emosional mereka pada pasangan. Konsep ini dikenal dengan istilah emotional outsourcing, di mana seorang pria terbiasa bergantung pada istrinya untuk dukungan emosional, perasaan aman, dan validasi diri. Ketika pasangan tersebut meninggal, pria kerap kehilangan sistem dukungan utamanya, dan tak jarang mengalami disorientasi identitas.
Selain itu, rasa kesepian yang mendalam dapat berdampak langsung pada kesehatan mental dan fisik pria. Studi dari University College London menunjukkan bahwa kesepian pada pria lanjut usia dapat meningkatkan risiko depresi, penyakit jantung, dan bahkan kematian dini.
Penjelasan ilmiah tak berhenti di ranah psikologi. Dari sisi antropologi evolusioner, pria memang cenderung terdorong untuk membentuk pasangan kembali sebagai bagian dari strategi bertahan hidup dan penerusan genetik. Meski terdengar kuno, naluri biologis ini masih berpengaruh dalam masyarakat modern. Pria juga secara historis cenderung memiliki harapan hidup yang lebih pendek dan ingin mengisi kembali sisa hidup mereka dengan pasangan yang bisa merawat dan menemani.
Di sisi lain, wanita yang kehilangan suami cenderung membangun kembali identitas sosial secara mandiri, dan tidak tergesa-gesa untuk kembali ke dalam komitmen jangka panjang. Hal ini didukung oleh struktur hormon dan perbedaan cara mengelola stres dan kehilangan antara pria dan wanita.
Tekanan Sosial dan Norma Budaya
Tak bisa dipungkiri, lingkungan sosial juga ikut mendorong pria untuk menikah lagi. Dalam budaya patriarkis, pria yang sendiri sering dianggap tidak terurus atau perlu pendamping. Terlebih bagi pria berusia lanjut, kehadiran istri sering diidentikkan dengan perawatan, bukan sekadar hubungan emosional.
Menurut sosiolog dari Penn State University, Dr. Paul Amato banyak pria merasa kehilangan makna hidup setelah pasangan meninggal. Masyarakat juga cenderung lebih toleran terhadap pria yang menikah kembali dibanding wanita.
“Lelaki yang menikah lagi sering dipandang sedang membangun kembali kehidupan. Sedangkan wanita yang menikah lagi kadang dipandang sebagai tidak setia pada kenangan,” ujar Amato.
Kenapa Wanita Lebih Jarang Menikah Lagi?
Menurut profesor sosiologi di Bowling Green State University, Dr. Susan Brown wanita cenderung membangun sistem dukungan emosional lebih luas, seperti teman, anak, hingga komunitas. Hal ini membuat mereka lebih mampu bertahan dalam status janda.
Selain itu, banyak wanita yang justru menikmati kebebasan setelah masa panjang mengurus rumah tangga. Beberapa bahkan menyatakan tidak ingin kembali ke hubungan yang mengharuskan mereka mengulang beban yang sama. Tidak sedikit juga yang merasa, kehadiran pasangan tidak lagi esensial setelah melewati fase duka, apalagi jika pernikahan sebelumnya penuh tantangan.
Menikah Lagi Setelah Berduka: Salahkah?
Pertanyaan yang sering muncul apakah menikah lagi dengan cepat setelah ditinggal istri itu tidak etis? Menurut pakar berduka dan penulis buku Finding Meaning: The Sixth Stage of Grief, Dr. David Kessler tidak ada standar baku tentang berapa lama seseorang harus berduka.
“Grief (kedukaan) bukan perlombaan, bukan juga garis lurus. Setiap orang menjalani duka dengan cara berbeda. Beberapa merasa siap menikah lagi dalam hitungan bulan, dan itu bukan berarti mereka tidak mencintai almarhum,” jelasnya.
Dari perspektif psikologis, keputusan untuk menikah lagi adalah bentuk adaptasi terhadap realitas baru, dan bisa menjadi bagian dari proses penyembuhan, bukan pelarian.
Melihat seorang pria menikah lagi tidak lama setelah istrinya wafat bisa menimbulkan berbagai asumsi. Namun, penting untuk mengingat bahwa setiap individu berduka dengan cara yang berbeda. Bagi sebagian pria, pernikahan kembali adalah bentuk bertahan hidup, bukan bentuk pengkhianatan.
Daripada terburu-buru menilai, kita bisa mulai dengan membuka ruang empati. Karena pada akhirnya, cinta yang sejati tak selalu harus diikat dalam kesendirian—kadang justru membuat seseorang berani untuk hidup kembali, dengan cara yang mungkin tak semua orang pahami.