Kisah Van Steyn Penemu Kadal Purba Komodo 1910
- Jo Kenaru/ NTT
Lifestyle – Dunia ilmu pengetahuan, khususnya zoologi, berutang budi besar pada J.K.H. Van Steyn. Kiprah pria asal Belanda, negeri kincir angin ini, menghadirkan penemuan spektakuler yaitu kadal raksasa Komodo (Varanus komodoensis) pada tahun 1910.
Penemuan Van Steyn di Pulau Komodo, sebuah pulau kecil di gugusan Sunda Kecil (yang mencakup Bali, NTB, dan NTT), terjadi secara tak terduga. Saat itu, tahun 1910, kapalnya terdampar di pulau yang kini menjadi bagian dari Desa Komodo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sanalah ia pertama kali menjumpai makhluk menakjubkan yang oleh warga lokal disebut "Ora".
Temuan fenomenal Van Steyn kemudian mendapatkan penguatan ilmiah pada tahun 1912 oleh P.A. Ouwens, kurator Museum Zoologi Bogor. Ouwens-lah yang secara resmi memberi nama ilmiah Varanus komodoensis, merujuk pada lokasi penemuannya di Pulau Komodo.
Reptil raksasa ini segera mencuri perhatian dunia karena dianggap sebagai "kembaran" Dinosaurus, hewan purba yang telah lama punah.
Jalan Panjang Konservasi
Pengelolaan Taman Nasional Komodo telah dimulai jauh sejak abad ke-19 saat kawasan ini masuk ke dalam wilayah Kesultanan Bima dan berada dalam pengendalian Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Reo, Flores.
Penemuan Komodo oleh Van Steyn bukan hanya menambah khazanah ilmu pengetahuan, tetapi menjadi langkah pertama bagi upaya konservasi kelas dunia.
Kadal raksasa di Pulau Komodo perlahan mendapat tekanan eksploitasi untuk kepentingan penelitian dan kebun binatang di luar negeri. Berbagai upaya pengiriman biawak komodo ke Amerika Serikat dan Eropa diupayakan oleh Pemerintah Hinda Belanda untuk memenuhi kebutuhan tersebut, hingga pada akhirnya Pemerintah Hindia Belanda sendiri mulai khawatir akan kelestarian populasi biawak komodo di Pulau Komodo sehingga menekan Sultan Bima dan berbagai penguasa daerah saat itu untuk mengeluarkan keputusan perlindungan bagi biawak komodo di Pulau Komodo.
Pembentukan Taman Nasional
Perjalanan panjang menuju terbentuknya Taman Nasional Komodo (TNK), yang kini dikelola oleh Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), dimulai tak lama setelah temuan itu. Jejak sejarahnya dimulai dengan Surat Keputusan Perlindungan Komodo dari Sultan Bima (1912), diikuti SK Pemerintah Daerah Manggarai (1926).
Perlindungan terus berkembang berupa status Suaka Margasatwa untuk Pulau Komodo (SK Menteri Kehutanan RI, 1965), pembentukan Kantor Seksi Perlindungan dan Pelestarian Alam di Labuan Bajo (1970), pengakuan sebagai Komodo Biosphere Reserve (1977), dan puncaknya adalah penetapan Taman Nasional Komodo pada tahun 1980.
Pengakuan internasional pun menyusul. Komodo ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO (1991) dan penobatan sebagai Satwa Nasional Indonesia oleh Presiden RI (1992). Mahkota prestisius terbaru datang pada 2013, saat TNK dinobatkan sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Alam Dunia oleh New7Wonders Foundation.
Nusa mini bernama pulau Komodo dulunya adalah bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Manggarai, yang kemudian dimekarkan mejadi Daerah Otonomi Baru (DOB) Manggarai Barat tahun 2003.
Naga Purba yang Terus Terjaga
Varanus Komodo, sang kadal terbesar di dunia, memang memesona. Jantan dapat mencapai panjang 3 meter dengan berat 100 kg, sementara betina sekitar 2,4 meter dan 40 kg. Ukuran ini bervariasi tergantung ketersediaan mangsa di pulau tempat mereka tinggal, dengan pulau besar cenderung memiliki individu yang lebih besar.
Secara alami, populasi Komodo mengalami fluktuasi sesuai ketersediaan mangsa. Namun, data terkini dari BTNK, menunjukkan tren positif dalam enam tahun terakhir (2018-2024).
Populasi di kawasan TNK tercatat meningkat dari 2.897 ekor pada 2018, menjadi 3.022 (2019), 3.163 (2020), dan mencapai puncak 3.303 ekor pada 2021. Meskipun terjadi penurunan sekitar 100 ekor menjadi 3.156 ekor pada 2022 akibat penurunan populasi mangsa terkait tingginya populasi tahun sebelumnya, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan tahun 2018 dan menunjukkan ketahanan populasi.
Memang terjadi sedikit penurunan dalam jumlah individu dari tahun 2023 ke 2024. Berdasarkan laporan dari Balai TNK, jumlah populasi Komodo tahun 2023 sebanyak 3.396 ekor, dan tahun 2024 sebanyak 3.270 ekor.
Stabilitas populasi Komodo di Taman Nasional Komodo tetap menjadi perhatian utama bagi para konservasionis dan pemerintah.
J.K.H. Van Steyn mungkin hanya seorang yang terdampar, tetapi ketidaksengajaannya itu telah menghadirkan harta karun evolusi bagi dunia. Melalui penemuannya, ia tidak hanya memperkaya sains, tetapi juga memicu perjalanan panjang konservasi yang melahirkan Taman Nasional Komodo, warisan alam Indonesia yang diakui dan dikagumi secara global. Dunia patut berterima kasih pada sang penemu dari Belanda ini.
Laporan Jo Kenaru/ NTT