Fenomena 'Tiger Parenting' di Korea Selatan, Membentuk Anak Hebat atau Menambah Stres?

Ilustrasi anak sedang menulis
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Di tengah persaingan pendidikan yang ketat di Korea Selatan, fenomena Tiger Parenting menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Pola asuh ini, yang menekankan disiplin tinggi dan ekspektasi besar terhadap prestasi akademik anak, telah membentuk generasi siswa berprestasi, namun juga memicu debat tentang dampaknya pada kesehatan mental. 

10 Menu MPASI Praktis dan Sehat untuk Ibu Bekerja

Istilah Tiger Parenting, yang dipopulerkan oleh Amy Chua melalui buku Battle Hymn of the Tiger Mother, menggambarkan pendekatan parenting yang tegas, di mana orang tua mengontrol hampir setiap aspek kehidupan anak untuk memastikan keberhasilan akademik dan profesional. Di Korea Selatan, budaya yang menghargai pendidikan dan kerja keras memperkuat praktik ini. Artikel ini menggali esensi Tiger Parenting, konteks budayanya di Korea Selatan, serta dampak positif dan negatifnya terhadap perkembangan anak.

Apa Itu Tiger Parenting?

Tiger Parenting adalah pola asuh yang ditandai dengan ekspektasi tinggi terhadap prestasi anak, disiplin ketat, dan pengawasan intensif terhadap aktivitas mereka. Orang tua yang menerapkan pola asuh ini sering kali menetapkan standar akademik yang nyaris sempurna, mendorong anak untuk menghadiri les tambahan (hagwon), dan membatasi waktu bermain atau kegiatan non-akademik. 

Perbedaan Pola Asuh Nenek di Desa dan di Kota, Mana yang Lebih Efektif?

Pendekatan ini berakar pada keyakinan bahwa kesuksesan di masa depan bergantung pada kerja keras dan prestasi sejak dini. Dalam bukunya, Amy Chua menggambarkan bagaimana ia menerapkan aturan ketat, seperti melarang anaknya menonton televisi atau bermain video game, demi fokus pada pelajaran dan latihan musik. Di Korea Selatan, Tiger Parenting bukan sekadar gaya individu, tetapi mencerminkan norma budaya yang lebih luas.

Konteks Tiger Parenting di Korea Selatan

Korea Selatan dikenal dengan sistem pendidikannya yang sangat kompetitif, di mana ujian masuk universitas (Suneung) menjadi penentu masa depan siswa. Budaya Konfusianisme, yang menekankan pentingnya pendidikan, hormat kepada orang tua, dan kerja keras, memperkuat pola asuh ini. 

Kenapa Kanker Bisa Tiba-Tiba Muncul Padahal Gaya Hidup Sehat?

Menurut data dari Kementerian Pendidikan Korea Selatan, sekitar 70% siswa menghadiri hagwon setelah jam sekolah, dengan beberapa di antaranya belajar hingga larut malam. Rata-rata, siswa Korea Selatan menghabiskan 12-14 jam sehari untuk belajar, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara OECD lainnya. 

Orang tua sering kali menginvestasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk les privat, dengan harapan anak-anak mereka dapat masuk universitas bergengsi seperti Seoul National University. Studi kasus menunjukkan bahwa banyak keluarga menerapkan Tiger Parenting untuk memastikan anak-anak mereka unggul dalam lingkungan yang penuh tekanan ini.

Dampak Positif Tiger Parenting

Pola asuh Tiger Parenting memiliki sejumlah manfaat yang signifikan. Pertama, pendekatan ini sering kali menghasilkan prestasi akademik yang luar biasa. Banyak siswa dari keluarga dengan pola asuh ini berhasil masuk universitas ternama, yang di Korea Selatan dianggap sebagai tiket menuju karier sukses. 

Kedua, Tiger Parenting menanamkan disiplin dan etos kerja yang kuat, yang menjadi modal berharga di dunia kerja yang kompetitif. Misalnya, lulusan universitas top di Korea Selatan sering kali dipekerjakan oleh perusahaan ternama seperti Samsung atau Hyundai. 

Selain itu, pendekatan ini mempersiapkan anak untuk menghadapi tekanan tinggi, yang merupakan realitas di banyak sektor profesional. Beberapa tokoh sukses, seperti eksekutif perusahaan teknologi, mengaitkan keberhasilan mereka dengan disiplin yang ditanamkan orang tua melalui pola asuh ketat.

Dampak Negatif Tiger Parenting

Meski memiliki manfaat, Tiger Parenting juga menimbulkan dampak negatif yang serius. Tekanan konstan untuk berprestasi dapat menyebabkan stres berat dan masalah kesehatan mental pada anak. 

Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Korea Selatan memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi di kalangan remaja, dengan 1 dari 4 siswa melaporkan gejala stres berat. Pola asuh ini juga sering kali mengorbankan keseimbangan kehidupan anak, meninggalkan sedikit waktu untuk bermain, bersosialisasi, atau mengeksplorasi minat pribadi. 

Akibatnya, anak-anak mungkin merasa terisolasi atau kehilangan motivasi intrinsik untuk belajar. Selain itu, hubungan antara orang tua dan anak dapat menjadi tegang karena ekspektasi yang tidak realistis, yang kadang-kadang memicu konflik keluarga. Data dari Korea Institute for Health and Social Affairs menunjukkan bahwa 30% remaja merasa tertekan oleh ekspektasi orang tua mereka.

Perspektif Pakar dan Alternatif Pendekatan

Para psikolog anak menekankan pentingnya keseimbangan dalam parenting. Seorang psikolog anak di Seoul, menyatakan bahwa pola asuh yang terlalu fokus pada prestasi dapat menghambat perkembangan emosional dan kreativitas anak. Ia merekomendasikan pola asuh otoritatif, yang menggabungkan disiplin dengan dukungan emosional, untuk mendorong anak tanpa mengorbankan kesejahteraan mereka. Pendekatan ini memungkinkan anak untuk mengembangkan motivasi internal dan kemampuan pengambilan keputusan. Sebagai perbandingan, negara seperti Finlandia menerapkan sistem pendidikan yang lebih santai, dengan waktu belajar yang lebih pendek, namun tetap menghasilkan siswa berprestasi tinggi. 

Pendekatan alternatif ini menunjukkan bahwa keberhasilan akademik tidak selalu membutuhkan tekanan berlebihan. Di Korea Selatan, beberapa orang tua mulai mengadopsi pola asuh yang lebih fleksibel, memberikan ruang bagi anak untuk mengejar minat mereka sambil tetap menjaga standar akademik yang wajar.