Sourdough vs Roti Biasa, Mana Lebih Sehat? Ini Jawabannya
- Martha Stewart
Lifestyle – Sourdough kembali mencuri perhatian. Dari dapur rumah hingga restoran ternama, roti bertekstur renyah di luar dan lembut di dalam ini jadi primadona baru yang bukan hanya soal rasa, tapi juga manfaat kesehatan.
Popularitas jenis roti tersebut semakin melejit ketika banyak orang mulai peduli pada makanan fermentasi yang dipercaya baik untuk pencernaan. Pertanyaannya, benarkah sourdough lebih sehat dibanding roti lain, atau hanya sekadar hype yang dibalut aroma nostalgia pandemi?
Sourdough memang berbeda karena proses fermentasi panjang dengan bantuan ragi dan bakteri asam laktat. Sehingga memberi karakter unik, rasa asam yang khas, tekstur kenyal, serta daya tahan lebih lama tanpa bahan pengawet.
Lebih dari itu, metode fermentasi inilah yang membuat sourdough sering disebut lebih ramah bagi pencernaan. Namun, apakah klaim ini sejalan dengan fakta gizi? Mengutip dari Martha Stewart, inilah penjelasan kandungan gizi, manfaat hingga tips memilih sourdough yang baik.
Apa Itu Sourdough?
Sourdough sejatinya hanya dibuat dari tiga bahan sederhana, yaitu tepung, air, dan garam. Bedanya terletak pada proses pengembangannya yamg mengandalkan starter alami yang membutuhkan waktu 12 hingga 24 jam untuk difermentasi. Inilah yang membuat adonan lebih kompleks, menghasilkan cita rasa khas sekaligus struktur roti yang berbeda dari roti biasa.
Perbandingan Kandungan Nutrisi
Secara kalori, sourdough ternyata lebih tinggi dibanding roti putih, gandum utuh, maupun multigrain. Dalam 100 gram, sourdough mengandung sekitar 319 kalori, sedangkan roti putih hanya 238 kalori.
Dari sisi protein, sourdough justru unggul dengan 13 gram. Ini lebih tinggi dibanding roti putih sebanyak 10,7 gram maupun roti gandum sebanyak 12,4 gram.
Namun, sourdough kalah di kandungan serat. Roti putih masih lebih tinggi (9,2 gram), begitu juga roti gandum utuh dan multigrain yang rata-rata di atas 6 gram.
Kelebihan dan Kekurangan Sourdough
Kekuatan utama sourdough terletak pada proses fermentasinya. Menurut ahli gizi, fermentasi menghasilkan bakteri baik atau probiotik, serta prebiotik yang membantu mikroba sehat di usus berkembang.
Selain itu, indeks glikemiknya lebih rendah sehingga tidak memicu lonjakan gula darah setinggi roti biasa. Inilah alasan mengapa sourdough sering disebut lebih bersahabat untuk metabolisme tubuh.
Fermentasi panjang dalam sourdough juga sebagian memecah gluten dan pati, sehingga lebih mudah dicerna. Beberapa orang dengan sensitivitas ringan pada gluten melaporkan lebih nyaman mengonsumsi sourdough dibanding roti biasa.
Meski begitu, penting dicatat bahwa sourdough tetap mengandung gluten. Bagi penderita penyakit celiac, konsumsi sourdough tetap berisiko memicu reaksi autoimun dan tidak dianjurkan.
Tips Memilih Sourdough
Tidak semua roti berlabel “sourdough” benar-benar melalui fermentasi alami. Banyak produk komersial di supermarket menggunakan kombinasi starter dan ragi instan agar produksi lebih cepat.
Hasilnya, manfaat kesehatan yang diklaim bisa jadi tidak sepenuhnya hadir. Untuk itu, Anda perlu teliti membaca label. Roti sourdough asli hanya berisi tepung, air, garam, dan starter alami. Jika ada tambahan ragi komersial, kemungkinan besar itu bukan sourdough murni.
Jika tujuan Anda adalah kesehatan sekaligus rasa, pilihlah sourdough yang dibuat dengan fermentasi panjang sekitar 12–24 jam serta menggunakan tepung gandum utuh. Proses ini memberi hasil terbaik dari segi tekstur, rasa, sekaligus manfaat nutrisi. Membeli dari artisan bakery yang memang mengedepankan metode tradisional bisa menjadi pilihan lebih aman dibanding membeli roti massal di rak supermarket.
Sourdough bukan makanan ajaib, namun cara pembuatannya memberi nilai tambah yang tidak ditemukan pada roti biasa. Kandungan probiotik, indeks glikemik yang lebih rendah, serta kemudahan dicerna membuatnya menjadi alternatif menarik bagi Anda yang ingin menikmati roti lebih sehat.