Mengintip Perjalanan Sarirasa dari 1974, Ada Kisah Budaya di Setiap Hidangan

Jalur Pantura zaman dulu.
Sumber :
  • Instagram @sarirasa.group

Lifestyle – Sudah lebih dari lima dekade Sarirasa Group berkarya di dunia kuliner Indonesia. Berdiri sejak 1974, kelompok usaha yang menaungi brand seperti Sate Khas Senayan, TeSaTe, Gopek House, TeKoTe, hingga Sate House Senayan ini tidak hanya menyajikan makanan khas Nusantara, tapi juga menenun cerita budaya dan kepedulian lingkungan ke dalam setiap menunya.

5 Kisah Sukses UMKM Kuliner di Aceh, dari Dapur Rumahan Sampai ke Luar Negeri

Memasuki usia ke-51 tahun, Sarirasa memperkuat identitasnya sebagai pelestari budaya dan penggerak keberlanjutan. Tak hanya melalui sajian di meja makan, tapi juga lewat program-program seperti Sarirasa Origin dan Sarirasa Tanamula—dua inisiatif yang menjembatani kuliner dengan konservasi budaya dan gerakan ramah lingkungan.

Dari Dapur ke Panggung Budaya

Sejak diluncurkan tahun 2019, Sarirasa Origin menjadi napas baru dalam visi kebudayaan Sarirasa. Lewat unit ini, perusahaan mengangkat elemen tradisi ke dalam pengalaman makan. Kain tradisional, lukisan kaca, hingga wayang klasik tak sekadar menjadi dekorasi, tapi bagian dari narasi.

Donat Sering Keras dan Berminyak? Coba 7 Tips Ini agar Hasilnya Fluffy Maksimal

“Saya percaya makanan tidak pernah hadir sendirian—ia datang dengan cerita, warna, dan simbol-simbol budaya,” ujar Benny Hadisurjo, CEO Sarirasa Group sekaligus penggagas Sarirasa Origin, dalam keterangannya, dikutip Sabtu 2 Agustus 2025. 

Hingga pertengahan 2025, unit ini telah mengoleksi lebih dari 2.300 kain tradisional dari berbagai daerah, ratusan kepala wayang potehi, lukisan kaca, hingga ribuan buku budaya. Banyak di antaranya dipamerkan di gerai seperti TeSaTe atau Sate House Senayan, menghadirkan suasana makan yang bukan hanya lezat, tetapi juga reflektif.

5 Bahan Alternatif Nabati untuk Makanan yang Lebih Sehat, Cocok Buat Jualan

Sarirasa juga aktif menyelenggarakan pameran budaya, seperti “Gemah Ripah” di Senayan City, “The Fable Cloth of Bali” di Canggu, hingga kolaborasi dengan pengrajin tekstil seperti Pithecanthropus. Bahkan saat membuka cabang internasional di Belanda, Sarirasa membangun meja dari 24.000 tusuk sate daur ulang—sebuah simbol dari kuliner, keberlanjutan, dan cerita rakyat yang menyatu.

Kepedulian Lingkungan dari Dapur hingga TPA

Isu keberlanjutan juga menjadi sorotan. Melalui Sarirasa Tanamula, perusahaan mulai menjalankan praktik bisnis sirkular dan pengolahan limbah sejak 2019. Langkah ini tak main-main. Di tengah fakta bahwa hampir 50% sampah Jakarta berasal dari sisa makanan, Sarirasa berhasil mengelola 90% limbahnya secara mandiri—dari dapur hingga kemasan.

Langkah unik juga diterapkan di dapur. Sisa tusuk sate diolah ulang menjadi tatakan gelas, label meja, hingga hiasan dinding. Bahkan, sisa makanan dimanfaatkan sebagai pakan untuk budidaya maggot Black Soldier Fly (BSF) yang kemudian diolah menjadi pakan ayam beromega-3.

“Kami terus bereksperimen, mencari mitra dan inovasi untuk mengolah limbah secara bertanggung jawab. Target kami adalah mencapai zero waste dalam seluruh lini bisnis Sarirasa,” kata Charles Philliipus Siregar, Direktur Sarirasa Tanamula.

Sarirasa juga telah menerima penghargaan Green Achievement dari Greenhope pada Januari 2025 sebagai apresiasi atas konsistensinya membangun bisnis kuliner yang ramah lingkungan.

Lebih dari Sekadar Restoran

Bagi Sarirasa, restoran bukan hanya tempat makan. Di sana, pelanggan diajak menyusuri warisan budaya yang terasa, terlihat, dan bahkan bisa disentuh. Di TeKoTe, misalnya, minuman jamu tradisional disajikan di atas tatakan dari limbah sate daur ulang. Di Canggu, Bali, sate dinikmati bersama suasana ruang penuh tenun dan batik khas.

“Kami ingin restoran kami menjadi ruang di mana pelanggan bisa makan dengan nikmat, tapi juga merasa terhubung dengan cerita dan nilai yang lebih besar—terutama tentang budaya dan keberlanjutan,” ujar Benny menegaskan.

Dalam setiap hidangan yang keluar dari dapur Sarirasa, terselip benang merah perjalanan panjang budaya, inovasi, dan tanggung jawab lingkungan. Perjalanan yang dimulai dari sebuah warung sate sederhana di tahun 1974, kini tumbuh menjadi ekosistem kuliner yang berpijak pada akar tradisi namun menatap masa depan.