Beda dengan Kanker, Ini Hal yang Harus Diwaspadai tentang Pembesaran Prostat

Ilustrasi penyakit prostat
Sumber :
  • Freepik

LifestyleKesehatan pria lanjut usia sering kali dihadapkan pada kekhawatiran seputar penyakit prostat. Salah satu kondisi yang paling umum dan sering disalahartikan sebagai kanker adalah Pembesaran Prostat Jinak atau Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). 

5 Kebiasaan di Rumah yang Mengundang Tikus, Begini Tips Membasminya

Penting untuk membedakan kedua kondisi ini agar penanganan dan kewaspadaan yang diambil tepat sasaran. BPH bukanlah keganasan, melainkan kondisi di mana terjadi penjumlahan sel di prostat yang menyebabkan organ tersebut membesar.

"Beda dengan kanker prostat, pembesaran prostat BPH ini sifatnya jinak tidak ada keganasan," jelas Prof. dr. Chaidir Arif Mochtar, Sp.U(K), Ph.D., seorang pakar di bidang urologi, dalam acara Launching Rezume Water Vapor Therapy Training Center di RSCM Jakarta, Selasa 30 September 2025.

Banyak Pasien Kanker Berobat ke Luar Negeri Balik Lagi ke Indonesia, Ahli Ungkap Alasannya

Meskipun jinak, dampaknya terhadap kualitas hidup tidak bisa diabaikan. Gejala yang ditimbulkan seperti sering buang air kecil, pancaran urine melemah, serta perasaan tidak tuntas setelah berkemih dapat sangat mengganggu aktivitas sehari-hari.

Beban BPH di Kalangan Pria Lanjut Usia

Data global menunjukkan bahwa BPH merupakan salah satu penyakit urologi yang paling sering dijumpai pada pria. Prof. Chaidir menyebutkan bahwa studi global menunjukkan lebih dari 50% pria usia di atas 60 tahun mengalami gejala BPH, dan prevalensinya dapat mencapai 80% pada usia di atas 80 tahun.

5 Kebiasaan Kecil yang Bisa Menurunkan Risiko Kanker Payudara

Di Indonesia, dengan populasi pria usia lanjut yang terus meningkat, beban BPH terhadap kualitas hidup dan layanan kesehatan juga semakin besar. Pembesaran organ prostat terjadi karena jumlah selnya banyak, sehingga ukurannya menjadi lebih besar. Ini berbeda dengan kanker, yang merupakan pertumbuhan sel abnormal yang bersifat ganas.

Batasan Terapi Konvensional dan Pentingnya Inovasi

Selama ini, penatalaksanaan BPH umumnya mengandalkan terapi obat-obatan jangka panjang atau tindakan operasi besar seperti Transurethral Resection of the Prostat (TURP). Meskipun kedua pilihan ini terbukti efektif, keduanya memiliki keterbatasan dan risiko efek samping yang patut diwaspadai, termasuk potensi gangguan fungsi seksual atau komplikasi pascaoperasi.

Tantangan inilah yang mendorong dunia medis mencari alternatif terapi yang lebih aman dan minim invasif. 

"Dengan hadirnya inovasi baru seperti Rezum, kita memiliki alternatif terapi yang lebih aman, efektif, dan minim invasif untuk pasien BPH," terang Prof. Chaidir.

Rezum Water Vapor Therapy: Solusi Minimal Invasif Terkini

Rezume Water Vapor Therapy

Photo :
  • VIVA/Rizkya Fajarani Bahar

Inovasi yang dimaksud adalah Rezum Water Vapor Therapy, sebuah teknologi yang menjadi tonggak baru dalam penatalaksanaan BPH. Sebagai komitmen dalam menghadirkan akses terapi canggih, RSCM mencatat sejarah baru dengan meluncurkan Rezum Water Vapor Therapy Training Center pertama di Indonesia. Fasilitas pelatihan ini tidak hanya memberikan akses terapi BPH berbasis teknologi minimal invasif bagi pasien tetapi juga menjadi pusat pelatihan terstandarisasi bagi dokter urologi di seluruh Indonesia.

Rezum Water Vapor Therapy memiliki sejumlah keunggulan dibanding terapi BPH konvensional. Metode ini menggunakan uap air bersuhu tinggi untuk mengecilkan kelenjar prostat. Prosedur dilakukan secara minimal invasif melalui sistoskopi tanpa insisi. Gejala pasien dilaporkan mulai membaik dalam tiga minggu dan mencapai hasil optimal pada tiga bulan.

Keunggulan lain yang signifikan adalah efek samping minimal terhadap fungsi seksual, termasuk ejakulasi, sehingga kualitas hidup pasien tetap terjaga. Teknologi ini juga telah disetujui US FDA hingga volume prostat 150 mL.

Kewaspadaan Ganda: BPH dan Skrining Kanker Prostat

Meskipun BPH sifatnya jinak, hal ini tidak berarti pria dapat mengabaikan risiko kanker prostat. Justru, kewaspadaan harus ditingkatkan.

"Tetapi biasanya begitu ada orang dengan masalah pembesaran prostat jinak tetap akan dilakukan skrining kanker," kata Prof. Chaidir. 

Hal ini penting karena kanker tidak bergantung pada besar kecilnya prostat. Seseorang dengan BPH tetap memiliki potensi untuk mengidap kanker secara bersamaan atau di kemudian hari.

Faktor risiko utama yang harus diwaspadai adalah riwayat keluarga. 

"Yang kita ketahui, kalau orang tua pasien seperti bapak atau paman yang berhubungan langsung itu ada kanker prostat maka si pasien ini akan punya kesempatan mengalami kanker berkali lipat dibanding yang nggak punya keturunan," tegasnya. 

Oleh karena itu, bagi pria dengan riwayat keluarga kanker prostat, skrining rutin menjadi langkah protektif yang sangat krusial, terlepas dari keberadaan BPH.

Pria yang mulai menunjukkan gejala gangguan berkemih, terutama pada usia di atas 50 tahun, sangat dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter urologi untuk mendapatkan diagnosis yang akurat dan menentukan penatalaksanaan yang paling sesuai, baik itu untuk BPH maupun skrining potensi keganasan.