Mengenal Hurry Sickness, Intai Kesehatan Fisik dan Mental Ibu dan Pekerja
- Freepik
Lifestyle –Apakah kamu selalu terburu-buru dari satu tempat atau tugas ke yang lain, padahal tidak ada yang benar-benar mengejarmu selain standar yang kamu tetapkan sendiri? Kalau iya, mungkin kamu mengalami hurry sickness, istilah yang menggambarkan seseorang yang selalu sibuk bergerak, bahkan sampai mengorbankan kesehatannya.
“Ini membuat pikiran dan tubuh kita terus berada dalam mode overdrive. Secara fisiologis dampaknya bisa sangat besar,” jelas dokter kegawatdaruratan sekaligus salah satu pendiri dan CEO Orli Health, Dr. Mark Cox dikutip dari laman The Sun, Senin 29 September 2025.
Kamu mungkin bahkan tidak sadar sudah terpengaruh, atau malah merasa senang karena selalu sibuk.Tapi coba tanyakan ini pada diri sendiri kapan terakhir kali aku benar-benar diam dan tenang?
“Ketika kita selalu terburu-buru, kita terus-menerus memicu sistem respons stres tubuh. Dalam jangka panjang, ini membuat kadar kortisol (hormon stres utama tubuh) tetap tinggi,” kata dia lebih lanjut.
Kortisol tinggi berkaitan dengan penyakit jantung, peningkatan risiko infeksi, masalah kulit, kenaikan berat badan, dan gangguan tidur. Bahkan kata dia usus pun ikut terdampak.
“Stres dikenal sebagai pemicu masalah pencernaan seperti irritable bowel syndrome (IBS), dan bisa merusak cara tubuh kita memproses serta menyerap nutrisi,” ujar Cox
Hurry sickness sering dikaitkan dengan kepribadian Tipe-A, orang yang cenderung kompetitif, berorientasi pada tujuan, terorganisir, serta selalu merasa tertekan oleh urgensi. Pada tahun 1970-an, ahli jantung Ray H. Rosenman dan Meyer Friedman melaporkan bahwa orang dengan kepribadian Tipe-A lebih rentan mengalami penyakit jantung. Perempuan (terutama para ibu), yang cenderung ingin menyenangkan orang lain dan sulit berkata ’tidak’, bisa lebih berisiko.
”Hal ini terjadi karena peran ganda ibu dan pekerja yang sering saling bertentangan.Di tempat kerja, mereka berusaha membuktikan diri, apalagi di lingkungan yang didominasi laki-laki. Di rumah, mereka mengambil tanggung jawab besar, tapi sering merasa kurang mendapat dukungan dari pasangan,” kata, psikoterapis yang fokus pada adiksi, pengasuhan, dan relasi, Mandy Saligari.
Di sisi lain, konselor CBT dan Psikoterapis, Lorraine Collins menambahkan bahwa multitasking yang sering dikaitkan dengan perempuan juga memperburuk masalah.
“Masyarakat kerap menekan perempuan untuk selalu sibuk. Kesibukan bisa jadi strategi untuk menghindari perasaan cemas atau khawatir yang lebih dalam. Pada intinya, hurry sickness seringkali soal penghindaran, cara untuk menjauh dari hal-hal yang sebenarnya membutuhkan perhatian dan kepedulian kita,” kata Lorraine.
Melambat Bukan Berarti Berhenti
“Ketika kita keluar dari lingkaran kesibukan tanpa henti, manfaatnya terasa hampir di seluruh sistem tubuh,” kata Dr. Cox.
Mengatasi hurry sickness bukan hanya membantu mencegah penyakit fisik dan memperbaiki tidur, tapi juga menurunkan risiko masalah mental seperti kecemasan, depresi, dan burnout.
“Meluangkan ruang untuk melambat bisa mengembalikan keseimbangan emosional, mempertajam fokus, memperbaiki ingatan, dan membuat hidup terasa lebih menyenangkan,” ujarnya.
Berhenti dari mode buru-buru juga bisa membantu kita pulih dari emosi negatif dan lebih mudah beradaptasi dengan tantangan hidup.
Lima Kebiasaan yang Harus Dihentikan
1. Terlalu Banyak Ambil Tanggung Jawab
Orang dengan hurry sickness biasanya mengambil lebih banyak tugas daripada yang bisa mereka tangani.
“Hurry sickness berarti punya lebih banyak hal untuk dikerjakan daripada waktu yang tersedia,” jelas Mandy.
Kalau kamu tipe yang ingin “melakukan semuanya”, coba tanyakan apa yang mendorong keputusan itu.
“Misalnya, kalau ibumu dulu mencontohkan perilaku ‘Superwoman’, kemungkinan besar kamu menaruh tekanan yang sama pada dirimu,” tambahnya.
Di tempat kerja, perempuan rata-rata melakukan 60% lebih banyak pekerjaan tak berbayar dibanding laki-laki. Menurut Lorraine, ini sering menyembunyikan kenyataan bahwa kita sebenarnya sudah kewalahan. Mandy menyarankan untuk memastikan pilihanmu benar-benar milikmu, didorong oleh tujuan pribadimu.
2. Tidak Membuat Prioritas
Mengubah gaya hidup, mendelegasikan tugas, berbagi tanggung jawab, dan melepaskan perfeksionisme demi pendekatan “cukup baik” bisa membantu mencegah hurry sickness. Mandy menyarankan menuliskan jadwal harian, lalu meninjau mana yang kamu nikmati, mana yang penting, dan mana yang bisa dikurangi.
“Perhatikan apa yang bermanfaat dan apa yang justru membuatmu merasa membuang waktu. Kemudian delegasikan atau hilangkan hal itu” katanya.
Kalau biasanya punya daftar to-do tak berujung, cobalah bikin daftar not-to-do. Lorraine menekankan ini membantu memangkas hal-hal yang kurang penting, sehingga kamu bisa fokus pada yang benar-benar butuh perhatian.
3. Selalu Mengatakan “Ya”
Saat memutuskan apakah harus menerima suatu tanggung jawab, tanyakan pada dirimu: Apakah ini akan menambah beban tak perlu, atau justru memungkinkan dan bermanfaat? Menurut Lorraine, mengatakan “tidak” dengan tegas namun sopan itu penting.
“Itu memberi tahu orang lain bahwa kapasitasmu sudah penuh, sekaligus membantu membagi tanggung jawab lebih adil,”katanya.
Belajarlah berhenti takut pada penilaian orang lain atau merasa bersalah atas batasan yang kamu buat. Tidak bisa menyediakan kue untuk acara sekolah anakmu? Biar saja!
4. Multitasking
Multitasking memang memberi kesan menguasai beban kerja, tapi sebenarnya bisa memperkuat rasa kekurangan waktu.
“Single-tasking, fokus menyelesaikan satu hal dalam satu waktu, membantu menciptakan ruang mental dan mencegah burnout,” kata Lorraine.
5. Tidak Meluangkan Waktu Santai
Punya sore yang tenang? Nikmati. Jangan malah mencari pekerjaan tambahan untuk mengisi waktu.
Tampak produktif, tapi harganya adalah waktu istirahatmu.
“Memutus siklus hurry sickness bukan berarti menyerah pada ambisi atau kesuksesan, melainkan belajar mengatur tempo agar urgensi tidak diam-diam menjadi pola hidup. Yang terpenting, beri dirimu izin untuk melambat tanpa merasa bersalah. Istirahat bukan kemewahan, melainkan kebutuhan biologis,” jelas Dr. Cox.
Latihan Napas: Breathe It Out
Kalau kamu merasa terburu-buru, terdorong adrenalin, dan melompat dari satu tugas ke tugas lain, coba hentikan sejenak dengan latihan pernapasan. Dr. Cox menyarankan metode Box Breathing, yang juga dipraktikkan pasukan elit US Navy SEALs.
“Teknik ini menggeser kita dari mode fight or flight ke keadaan lebih tenang dan terkendali, ideal untuk menghentikan siklus terburu-buru dan kecemasan,” katanya.
Caranya:
- Tarik napas pelan lewat hidung selama hitungan empat.
- Tahan napas selama hitungan empat.
- Hembuskan perlahan lewat mulut selama hitungan empat.
- Tahan lagi selama empat hitungan, lalu ulangi.