Mengapa Orang Baik Lebih Dulu Resign? Begini Penjelasan Ilmiah dari Ahli Organisasi
- Freepik
Lifestyle –Pernahkah Anda memperhatikan bahwa karyawan yang kompeten, loyal, dan berdedikasi sering kali justru menjadi orang pertama yang keluar dari perusahaan? Fenomena ini bukan hanya cerita kantor atau gosip di pantry ada penjelasan ilmiah di baliknya.
Dalam artikel ini, kita akan membedah mengapa orang baik dalam arti karyawan berprestasi dan berintegritas lebih cepat mengajukan surat resign. Hal ini mengacu pada riset ilmiah, salah satunya dari Dr. John Kammeyer-Mueller dari University of Minnesota, pakar perilaku organisasi yang telah meneliti dampak kepergian karyawan berprestasi tinggi terhadap tim.
Penelitian yang dilakukan oleh Sima Sajjadiani, John Kammeyer-Mueller, dan Alan Benson menemukan bahwa ketika high performer meninggalkan perusahaan secara sukarela, hal ini sering memicu gelombang resign karyawan unggul lainnya.
Dalam tiga bulan setelah kepergian mereka, terjadi peningkatan turnover sekitar 18% di antara pekerja berkinerja tinggi. Fenomena ini disebut sebagai domino effect.
Menurut Kammeyer-Mueller, ada dua mekanisme utama di baliknya:
- Perbandingan Sosial (Social Comparison)
Ketika karyawan melihat rekan berkinerja tinggi meninggalkan perusahaan, mereka mulai bertanya pada diri sendiri mungkin ada peluang yang lebih baik di luar sana untuk saya juga, jelas Kammeyer-Mueller - Sinyal Organisasi (Signaling)
Kepergian seorang high performer mengirimkan sinyal bahwa perusahaan mungkin tidak cukup menghargai talenta atau tidak menyediakan prospek masa depan yang jelas. “Sinyal ini kuat, dan memicu evaluasi ulang komitmen terhadap organisasi,” tambahnya.
Faktor Lain yang Mempercepat Keputusan Resign “Orang Baik”
Selain efek domino yang dibuktikan penelitian Kammeyer-Mueller, ada faktor-faktor lain yang sering membuat karyawan baik memilih pergi lebih dulu.
1. Beban Kerja Berlebihan dan Burnout
Karyawan berprestasi sering menjadi “tumpuan” karena manajemen percaya mereka bisa diandalkan. Akibatnya, mereka mendapatkan porsi pekerjaan lebih banyak daripada rata-rata rekan kerja. Jika ini berlangsung lama tanpa kompensasi atau dukungan yang memadai, risiko burnout meningkat. Burnout bukan hanya melemahkan motivasi, tapi juga memicu keinginan mencari lingkungan kerja yang lebih sehat.
2. Stagnasi dan Minim Tantangan
Orang baik biasanya memiliki dorongan untuk terus berkembang. Ketika pekerjaan menjadi monoton dan tidak ada proyek atau tantangan baru, mereka mulai merasa terjebak. Menurut prinsip job enrichment dalam manajemen SDM, kurangnya variasi dan peluang belajar adalah salah satu alasan utama talent terbaik pindah ke perusahaan lain.
3. Kurangnya Penghargaan dan Pengakuan
Prestasi yang tidak diakui atau diapresiasi membuat loyalitas mengikis. Penelitian Gallup menunjukkan bahwa karyawan yang mendapat pengakuan teratur 31% lebih produktif dan 12 kali lebih terlibat. Tanpa itu, bahkan karyawan paling berdedikasi pun mulai mempertimbangkan opsi lain.
4. Manajer yang Tidak Mendukung
Banyak studi menunjukkan bahwa karyawan lebih sering resign karena hubungan buruk dengan atasan langsung ketimbang masalah dengan perusahaan secara keseluruhan. Manajer yang gagal memberi arahan, dukungan, atau apresiasi berkontribusi besar terhadap turnover karyawan berkinerja tinggi.
Bagaimana Perusahaan Bisa Mencegahnya?
Fenomena ini tidak tak terelakkan. Ada langkah konkret yang bisa diambil manajemen untuk mencegah high performer meninggalkan kapal lebih dulu:
- Cegah efek domino dengan melakukan stay interview secara berkala, bukan hanya exit interview.
- Seimbangkan beban kerja melalui distribusi tugas yang adil dan rotasi pekerjaan.
- Berikan tantangan yang sesuai dengan kemampuan dan ambisi karyawan.
- Apresiasi secara konsisten, baik melalui ucapan langsung, penghargaan formal, maupun peluang pengembangan.
- Perkuat peran manajer dengan pelatihan kepemimpinan yang berfokus pada empati, komunikasi, dan coaching.