Anak Takut ke Sekolah? Bisa Jadi Tanda School Refusal, Begini Cara Mengatasinya

Ilustrasi bangunkan anak tanpa drama
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Tidak sedikit orang tua yang merasa bingung ketika anak tiba-tiba menolak berangkat ke sekolah. Sebagian mungkin menganggap anak hanya sedang malas. Namun, penolakan sekolah yang berulang bisa jadi bukan sekadar alasan.

5 Manfaat Tak Terduga Punya Tanaman Hias di Kamar Tidur

Anak mungkin sedang mengalami school refusal, sebuah kondisi di mana anak benar-benar mengalami ketakutan atau kecemasan ekstrem saat harus ke sekolah. Kondisi ini berbeda dengan membolos (truancy) yang biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Anak dengan school refusal justru akan menunjukkan distress atau keresahan nyata, seperti menangis, tantrum, bahkan mengeluh sakit fisik setiap kali waktunya berangkat sekolah. Memahami apa itu school refusal, tanda-tanda, serta penyebabnya sangat penting agar orang tua bisa memberikan dukungan yang tepat.

Jangan Asal Ikut Tren, Ini 7 Tips Pilih Jurusan Kuliah Sesuai Minat Anak

Artikel ini akan mengulas lengkap penyebab, gejala, dan langkah yang bisa dilakukan orang tua.

Pertama mari pahami apa itu school refusal. School refusal adalah penolakan anak untuk pergi ke sekolah yang dilandasi oleh kecemasan atau rasa takut berlebihan. Kondisi ini bukan karena anak malas belajar atau ingin menghindari aturan, melainkan karena ada distress emosional yang kuat.

Nggak Melulu Gadget! 8 Ide Permainan Edukatif yang Bikin Anak Pintar dan Anti-Bosan di Rumah

Melansir laman raisingchildren.net.au, school refusal sering muncul pada usia sekolah dasar hingga awal sekolah menengah. Anak-anak ini biasanya akan memohon untuk tetap di rumah dan menunjukkan gejala fisik atau emosional yang intens.

Menurut psikiater anak dan remaja dari Top Doctors UK, Dr. Carolina Schneider, menyebut school refusal adalah kondisi psikologis kompleks di mana anak mengalami distress emosional berat untuk bersekolah, bukan karena malas.

“Biasanya muncul setelah perubahan besar, bullying, atau kecemasan sosial,” kata dia.

Pernyataan ini menekankan bahwa school refusal bukanlah bentuk pembangkangan. Orang tua harus memahami penyebab mendasarnya, bukan sekadar memaksa anak berangkat sekolah.

 

Perbedaan dengan membolos (truancy):

  • School refusal: anak ingin di rumah bersama orang tua, menunjukkan rasa takut nyata.
  • Membolos: anak sengaja tidak sekolah untuk melakukan hal lain dan cenderung menyembunyikan hal ini dari orang tua. 

Tanda-Tanda School Refusal

Beberapa tanda yang perlu diperhatikan orang tua di antaranya:

  1. Sering absen atau terlambat ke sekolah. Anak lebih sering tidak masuk, terutama setelah liburan atau akhir pekan.
  2. Mengeluh sakit fisik. Keluhan seperti sakit perut, pusing, atau mual muncul setiap kali harus berangkat sekolah, tetapi hilang ketika anak diizinkan tinggal di rumah.
  3. Reaksi emosional berlebihan. Menangis keras, tantrum, memohon kepada orang tua, atau menolak keluar dari kamar.
  4. Menghindari kontak sosial di sekolah. Anak lebih banyak menyendiri, sering datang ke ruang guru atau UKS tanpa alasan medis yang jelas.

Melansir laman Rogers Behavioral Health, tanda-tanda ini dapat muncul bertahap dan semakin intens jika tidak segera ditangani.

Penyebab School Refusal

School refusal adalah kondisi yang kompleks dengan berbagai penyebab yang saling berhubungan.

1. Separation Anxiety Disorder (SAD)

Sebagian besar kasus school refusal berkaitan dengan kecemasan berpisah (SAD). Anak merasa takut atau khawatir berlebihan saat harus berpisah dari orang tua. Studi menunjukkan sekitar 75–80% kasus school refusal terkait dengan SAD.

2. Bullying atau Konflik Sosial

Intimidasi dari teman sebaya, pengucilan, atau bullying (termasuk cyber bullying) menjadi alasan utama anak menghindari sekolah. Rasa takut ini dapat menimbulkan trauma mendalam sehingga anak menolak kembali ke sekolah.

3. Tekanan Akademik

Tuntutan nilai yang tinggi, banyaknya tugas, atau rasa takut gagal juga bisa memicu school refusal. Anak merasa sekolah sebagai tempat yang penuh tekanan.

4. Peristiwa Stres atau Transisi Besar

Pindah rumah, pindah sekolah, perceraian orang tua, atau kehilangan orang yang dicintai bisa memunculkan kecemasan besar terhadap lingkungan baru.

5. Dukungan Sekolah atau Keluarga yang Kurang

Pola asuh yang terlalu protektif, hubungan buruk dengan guru, atau sekolah yang kurang suportif dapat memperburuk kondisi ini.

Langkah yang Bisa Dilakukan Orang Tua

1. Bangun Komunikasi Empatik

Dengarkan perasaan anak tanpa menghakimi. Tanyakan dengan lembut, “Apa yang membuat kamu merasa tidak nyaman di sekolah?” Untuk anak kecil, gunakan metode visual seperti gambar atau emoji untuk mengungkapkan emosi.

2. Libatkan Sekolah

Beritahu guru atau konselor sekolah mengenai kondisi anak. Mintalah bantuan untuk menciptakan strategi reintegrasi yang bertahap, seperti mengurangi jam sekolah sementara atau mendampingi anak saat tiba di sekolah.

3. Konsultasi dengan Profesional

Jika kondisi berlanjut, segera temui psikolog anak atau psikiater. Terapi berbasis Cognitive Behavioral Therapy (CBT) terbukti efektif membantu anak mengatasi kecemasan dan membangun kembali keberanian untuk ke sekolah.

4. Ciptakan Rutinitas yang Konsisten di Rumah

Rutinitas yang jelas membuat anak merasa aman. Pastikan anak tidur cukup, sarapan, dan berangkat sekolah pada jam yang sama setiap hari. Jika anak harus tetap di rumah, hindari memberi aktivitas yang terlalu menyenangkan agar tidak menjadi ganjaran bagi absen sekolah.

5. Pemaparan Bertahap (Gradual Exposure)

Ajak anak masuk sekolah secara bertahap. Misalnya, hari pertama hanya mengikuti pelajaran favorit, kemudian secara perlahan menambah jam sekolah. Berikan pujian atau penghargaan kecil atas setiap kemajuan.

6. Dukungan Sosial

Mintalah bantuan teman dekat anak untuk menemaninya pergi ke sekolah. Hubungan yang suportif dengan teman sebaya dapat membuat anak lebih nyaman berada di lingkungan sekolah.