Kenapa Makanan Tidak Sehat dan 'Jorok' Justru Lebih Menggoda? Ini Jawaban Ahli

Ilustrasi seblak ceker
Sumber :
  • Shopee

LifestylePernah nggak sih, kamu ngerasa baru aja pulang kerja atau kuliah, badan capek, dan tanpa pikir panjang langsung pesan ayam goreng, bubble tea, atau mie instan favoritmu? Padahal, kamu tahu betul makanan itu tergolong tidak sehat tinggi kalori, garam, dan gula. Tapi tetap saja terasa lebih memuaskan dibanding semangkuk salad atau buah-buahan segar.

Jangan Dibentak! Begini Cara Bikin Anak Patuh Tanpa Trauma

Kenapa sih kita seringkali lebih tertarik pada makanan yang tidak sehat? Apakah ini semata-mata soal rasa? Atau ada faktor lain yang membuat tubuh dan pikiran kita seolah-olah “bergantung” pada junk food? Yuk, simak penjelasan lengkap dari para ahli psikologi dan nutrisi berikut ini.

Secara biologis, tubuh manusia memang dirancang untuk menyukai rasa manis, gurih (umami), dan berlemak. Ketika kita makan makanan seperti cokelat, keripik, keju, atau fast food, otak kita meresponsnya dengan melepaskan dopamin, hormon yang menciptakan rasa senang atau kepuasan.

Dulu Bilang Nggak Mau, Sekarang Minta? Kenapa Kita Sering Menjilat Ludah Sendiri

Menurut psikolog klinis dari Cleveland Clinic yang spesialis dalam mindful eating, Dr. Susan Albers, PsyD, mengungkap makanan tinggi gula, garam, dan lemak mengaktifkan pusat kesenangan di otak, serupa dengan efek yang diberikan oleh zat adiktif. Artinya, craving terhadap makanan tidak sehat bukan sekadar soal ‘selera’, tapi memang ada mekanisme kimiawi yang terjadi di otak kita. 

Penelitian dari Harvard Health Publishing tahun 2021 juga menunjukkan bahwa makanan tinggi kalori dan olahan merangsang area otak yang berkaitan dengan kecanduan, mirip dengan efek nikotin atau alkohol. Tak heran jika kita lebih tertarik pada donat ketimbang buah apel.

Kenapa Dicium di Kening Bikin Perempuan Merasa Nyaman? Ini Jawaban Psikologisnya

Selain faktor biologis, aspek emosional juga berperan besar. Pernah merasa ingin makan es krim atau keripik padahal tidak lapar? Bisa jadi kamu sedang mengalami emotional eating, yaitu makan sebagai respons terhadap emosi seperti stres, cemas, kesepian, atau bosan.

Stres meningkatkan kadar hormon kortisol, yang pada gilirannya mendorong kita mencari makanan tinggi gula dan lemak sebagai bentuk kenyamanan. Dr. Albers menyatakan, emotional eating adalah strategi koping instan yang umum, karena mudah dan cepat memberi rasa nyaman.

Contohnya, saat kamu sedang dikejar deadline atau habis bertengkar dengan seseorang, pilihan kamu mungkin bukan salad, tapi camilan tinggi kalori seperti brownies atau bubble tea. Ini bukan karena kamu lemah, tapi karena tubuh dan pikiranmu mencari solusi instan untuk menenangkan diri.

Kebiasaan Sejak Kecil: Pola Asuh yang Tak Sadar Menguatkan Selera ‘Junk Food’

Coba ingat kembali masa kecilmu. Mungkin kamu pernah diberi permen sebagai hadiah jika bersikap baik, atau diajak makan ayam goreng saat ulang tahun. Hal-hal seperti ini secara tidak sadar membentuk asosiasi bahwa makanan tidak sehat sebagai hadiah atau kesenangan.

Asosiasi ini terbawa hingga dewasa. Ketika kita merasa butuh “reward” setelah hari yang panjang, kita secara refleks mencari makanan yang memberi rasa nyaman karena berkaitan dengan memori masa kecil.

Fakta psikologis menunjukkan bahwa nostalgia makanan memainkan peran besar dalam pilihan kita. Makanan yang pernah dikaitkan dengan kebahagiaan atau kenyamanan emosional akan lebih sering dicari saat kita berada dalam kondisi emosional tertentu.

Industri Makanan yang Cerdas Membuat Kita Ketagihan

Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan diri sendiri atas kebiasaan makan tidak sehat. Industri makanan telah menghabiskan puluhan tahun menyempurnakan produk agar menjadi hyper-palatable, yaitu terlalu lezat untuk ditolak.

Dengan kombinasi yang tepat antara gula, garam, dan lemak ditambah bahan aditif seperti MSG dan pemanis buatan produk-produk ini dirancang untuk membuat kita ingin terus makan. Bahkan, menurut studi di jurnal Cell Metabolism (2019), makanan ultra-proses bisa mengacaukan sinyal kenyang dalam tubuh sehingga kita terus merasa lapar.

Tidak hanya itu, iklan makanan cepat saji juga sangat manipulatif. Visual yang menggoda, slogan emosional, hingga musik catchy semuanya dirancang untuk menanamkan impresi bahwa makanan tersebut membawa kebahagiaan dan solusi cepat dari rasa lelah atau stres.

"Kita sebenarnya bukan kurang disiplin. Produk makanan saat ini memang sengaja didesain untuk membuat kita tergoda dan ketagihan," Dr. Albers menekankan. 

Kenapa Makanan Sehat Jarang Terlihat Menggoda?

Meskipun makanan sehat lebih baik untuk tubuh, sering kali persepsi kita terhadapnya kurang menggoda. Sayuran dianggap hambar, oatmeal dianggap membosankan, dan makanan berserat dianggap tidak mengenyangkan. Padahal, masalah utamanya bukan pada makanannya, tapi pada cara penyajiannya dan pengalaman emosional yang menyertainya.

Makanan sehat juga jarang mendapat promosi yang menarik seperti makanan cepat saji. Tidak banyak iklan yang membuat kita “ngiler” melihat semangkuk sayur rebus, bukan?

Namun, menurut Albers, ada cara untuk mengubah ini.

"Dengan mindful eating, kita bisa mulai menghargai rasa dan tekstur makanan sehat secara perlahan. Ini tentang menciptakan pengalaman baru yang positif dengan makanan bergizi," kata dia.

Apa yang Bisa Kita Lakukan? (Solusi Ringan tapi Realistis)

Berikut beberapa langkah sederhana untuk mulai mengelola kecenderungan memilih makanan tidak sehat: 

  1. Sadari pemicunya – Apakah kamu makan karena lapar atau karena bosan? Tuliskan emosi yang kamu rasakan sebelum mengemil.

  2. Latih mindful eating – Fokus pada rasa, tekstur, dan aroma makanan. Hindari makan sambil nonton atau bekerja.

  3. Temukan alternatif sehat – Ganti keripik dengan popcorn tanpa mentega, atau es krim dengan smoothie buah.

  4. Buat perubahan kecil – Jangan langsung berhenti total dari junk food. Kurangi frekuensinya dulu, misalnya dari setiap hari menjadi dua kali seminggu.

  5. Reward diri dengan cara lain – Alihkan kebiasaan ‘makan sebagai hiburan’ menjadi aktivitas lain seperti jalan-jalan, mandi hangat, atau menonton film.


"Makan sehat bukan soal pantangan total, tapi soal pengelolaan. Kenali kebutuhan emosimu sebelum memilih makanan," Dr. Albers menegaskan.