Mengenali Tanda-Tanda Trauma pada Anak dan Cara Mendampinginya

Ilustrasi anak menangis
Sumber :
  • Freepik

LifestyleTrauma pada anak dapat terjadi akibat berbagai pengalaman, seperti kehilangan orang terkasih, kekerasan, atau perubahan besar dalam hidup, seperti perceraian atau adopsi. Dampak trauma sering kali tidak langsung terlihat, tetapi dapat memengaruhi perkembangan emosional, sosial, dan akademik anak jika tidak ditangani dengan tepat. 

Ibu Hamil Dilarang Menjahit karena Sebabkan Bayi Sumbing, Fakta atau Mitos?

Orang tua memiliki peran krusial dalam mengenali tanda-tanda trauma dan memberikan dukungan yang tepat untuk membantu anak pulih. Artikel ini menyajikan informasi mendalam tentang cara mengidentifikasi gejala trauma pada anak serta langkah-langkah praktis untuk mendampingi mereka dengan penuh empati, memastikan mereka merasa aman dan didukung dalam proses pemulihan.

1. Memahami Apa Itu Trauma pada Anak

Trauma pada anak adalah respons emosional dan psikologis terhadap peristiwa yang mengancam atau sangat mengganggu rasa aman mereka. Peristiwa ini bisa berupa kekerasan fisik, pelecehan, kecelakaan, atau kehilangan orang terdekat. Trauma juga dapat terjadi akibat pengalaman berulang, seperti pengabaian atau konflik keluarga yang berkepanjangan. 

Diyakini Bisa Bikin Pintar, Inilah Manfaat Ngajak Ngomong Bayi Selama Dikandungan

Setiap anak bereaksi berbeda terhadap trauma, tergantung pada usia, kepribadian, dan dukungan yang mereka terima. Memahami bahwa trauma tidak selalu terlihat jelas adalah langkah awal bagi orang tua untuk lebih peka terhadap kondisi anak.

2. Tanda-Tanda Trauma pada Anak Berdasarkan Usia

Tanda-tanda trauma bervariasi sesuai usia anak. Pada anak usia dini (0-5 tahun), gejala mungkin termasuk sering menangis, sulit tidur, atau kemunduran perilaku, seperti kembali mengompol. Anak usia sekolah (6-12 tahun) mungkin menunjukkan kesulitan berkonsentrasi, penurunan prestasi akademik, atau perilaku agresif. 

Makan Makanan Asin Saat Hamil Bakal Bikin Bayi Berbulu Lebat, Apa Hubungannya?

Remaja (13-18 tahun) bisa menarik diri dari lingkungan sosial, menunjukkan perubahan suasana hati yang ekstrem, atau terlibat dalam perilaku berisiko. Orang tua perlu memperhatikan perubahan yang tidak biasa dalam perilaku anak sebagai sinyal potensial adanya trauma.

3. Perubahan Emosional dan Perilaku yang Perlu Diwaspadai

Selain tanda-tanda berdasarkan usia, beberapa gejala umum trauma meliputi kecemasan berlebihan, ketakutan yang tidak wajar, atau kesulitan mengelola emosi. Anak mungkin menjadi lebih sensitif, mudah marah, atau menunjukkan rasa takut terhadap situasi yang sebelumnya tidak mengganggu mereka. 

Perilaku menarik diri, seperti menghindari interaksi sosial atau kehilangan minat pada hobi yang disukai, juga bisa menjadi indikator. Fisik, anak mungkin mengeluhkan sakit kepala atau sakit perut tanpa penyebab medis yang jelas.

4. Menciptakan Lingkungan yang Aman dan Mendukung

Untuk membantu anak pulih dari trauma, ciptakan lingkungan yang memberikan rasa aman. Pastikan anak merasa bahwa mereka dapat mengandalkan orang tua untuk mendengarkan tanpa menghakimi. Hindari memaksa anak berbicara tentang pengalaman traumatis mereka, tetapi tunjukkan ketersediaan dengan ucapan seperti, “Kamu bisa cerita kapan saja kalau mau.” Konsistensi dalam rutinitas harian, seperti waktu makan atau tidur, juga membantu anak merasa stabil.

5. Dengarkan dengan Empati dan Tanpa Penghakiman

Ketika anak mulai berbagi perasaan atau pengalaman, dengarkan dengan penuh perhatian. Hindari menginterupsi atau memberikan solusi instan. Gunakan frasa seperti, “Aku dengar kamu merasa sedih, dan itu wajar,” untuk memvalidasi emosi mereka. Empati membantu anak merasa dipahami dan mengurangi rasa isolasi yang sering menyertai trauma.

6. Dorong Ekspresi Emosi melalui Aktivitas Kreatif

Anak sering kali kesulitan mengekspresikan trauma secara verbal. Dorong mereka untuk mengekspresikan emosi melalui aktivitas seperti menggambar, menulis jurnal, atau bermain peran. Aktivitas ini memungkinkan anak memproses perasaan mereka dengan cara yang aman dan tidak mengintimidasi. Orang tua dapat berpartisipasi dalam aktivitas ini untuk memperkuat ikatan emosional.

7. Cari Bantuan Profesional Jika Diperlukan

Jika tanda-tanda trauma berlangsung lama atau memburuk, konsultasikan dengan psikolog anak atau terapis yang berpengalaman dalam menangani trauma. Terapi berbasis trauma, seperti Terapi Perilaku Kognitif (CBT) atau terapi bermain, dapat membantu anak memproses pengalaman mereka. Orang tua juga dapat memperoleh panduan dari profesional untuk mendukung anak dengan lebih efektif.

8. Ajarkan Keterampilan Mengelola Emosi

Bantu anak mengembangkan keterampilan untuk mengelola emosi mereka, seperti teknik pernapasan dalam atau latihan relaksasi. Untuk anak yang lebih besar, ajarkan cara mengenali pemicu emosi dan strategi untuk menenang diri, seperti menghitung mundur atau berjalan-jalan sebentar. Keterampilan ini membantu anak merasa lebih memiliki kendali atas perasaan mereka.

9. Libatkan Keluarga dan Komunitas

Dukungan dari keluarga dan komunitas dapat memperkuat pemulihan anak. Libatkan anggota keluarga lain, seperti saudara atau kakek-nenek, untuk memberikan kasih sayang tambahan. Bergabung dengan kelompok dukungan untuk keluarga yang menghadapi situasi serupa juga dapat memberikan wawasan dan rasa solidaritas.

10. Pantau Perkembangan Anak Secara Berkelanjutan

Pemulihan dari trauma adalah proses jangka panjang. Pantau perkembangan anak secara rutin dengan memperhatikan perubahan positif, seperti peningkatan suasana hati atau kembalinya minat pada aktivitas. Tetap terbuka untuk menyesuaikan pendekatan berdasarkan kebutuhan anak, dan jangan ragu untuk mencari bantuan tambahan jika diperlukan.