Kenapa Malah Emosi Saat Sampai Rumah Usai Kerja? Hati-Hati Emotional Spillover
- Pixaby
Lifestyle –Pernahkah kamu merasa bukannya tenang setelah pulang kerja, malah jadi mudah marah atau tersulut emosi di rumah? Banyak orang mengalami hal serupa. Meski pekerjaan selesai di kantor, ternyata beban emosinya tidak ikut berhenti.
Fenomena ini dikenal dengan istilah emotional spillover, tumpahan emosi negatif dari dunia kerja yang terbawa ke kehidupan pribadi. Jika tidak disadari, kondisi ini bisa mengganggu suasana rumah, memperburuk komunikasi dengan pasangan, bahkan memengaruhi hubungan dengan anak.
Padahal, rumah seharusnya menjadi tempat pemulihan dari penatnya pekerjaan. Lantas apa itu emotional spillover?
Dalam psikologi kerja, ada konsep yang disebut spillover theory. Teori ini menjelaskan bahwa sikap, emosi, keterampilan, hingga perilaku seseorang dalam satu ranah kehidupan bisa mengalir ke ranah lain. Artinya, stres yang kamu bawa dari kantor tidak berhenti di pintu rumah, tetapi ikut hadir dalam interaksi dengan keluarga.
Menurut model spillover–crossover, tumpahan emosi negatif bahkan tidak hanya memengaruhi diri sendiri, tetapi juga bisa menular pada pasangan atau anggota keluarga lain. Jadi, ketika kamu pulang dengan wajah murung atau mudah tersulut emosi, pasangan pun bisa ikut merasa tegang dan stres.
Fenomena ini sebenarnya bisa terjadi dalam dua arah yakni positif maupun negatif. Namun, yang sering jadi masalah adalah negative spillover, ketika emosi buruk dari kantor justru memperburuk keharmonisan rumah tangga.
Sejumlah penelitian mendukung kenyataan bahwa emotional spillover berdampak nyata pada hubungan keluarga. Misalnya, sebuah studi tahun 2023 menemukan bahwa intensitas bekerja dari rumah justru meningkatkan work-to-home conflict atau konflik antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga. Ketika pekerjaan menuntut lebih banyak waktu dan energi, kesempatan untuk hadir sepenuhnya bagi keluarga jadi semakin berkurang.
Penelitian lain yang dipublikasikan di Scientific Reports tahun 2025 menunjukkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga dapat memicu stres, kelelahan emosional, hingga burnout. Kondisi ini bukan hanya menurunkan kepuasan kerja, tetapi juga memengaruhi kualitas interaksi di rumah.
Ada pula studi yang mengamati pengaruh gosip negatif di tempat kerja. Hasilnya, pekerja yang sering terpapar gosip atau lingkungan kerja toksik cenderung membawa pulang emosi negatif tersebut. Akibatnya, komunikasi dengan pasangan menjadi lebih buruk dan suasana keluarga pun ikut terganggu.
Psikolog D.W. Lee dalam ulasan ilmiahnya mengenai spillover theory menjelaskan bahwa teori spillover menekankan bahwa sikap, emosi, keterampilan, dan perilaku seseorang dalam satu ranah kehidupan bisa mengalir ke ranah lain, baik secara positif maupun negatif.
Lee menambahkan bahwa manusia memiliki sumber daya yang terbatas, baik itu energi, waktu, maupun kapasitas emosi. Ketika sebagian besar sudah terkuras di kantor, sangat mungkin yang tersisa untuk keluarga adalah sisa energi negatif.
”Inilah yang membuat seseorang bisa tampak ramah dan profesional di hadapan rekan kerja, tetapi justru jadi lebih mudah marah ketika sampai rumah,” kata dia.
Dampak pada Hubungan Keluarga
Emotional spillover tidak boleh dianggap remeh. Penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini bisa menurunkan kepuasan hidup dan kualitas hubungan. Pasangan yang terus-menerus menghadapi emosi negatif dari pekerjaan cenderung mengalami komunikasi yang buruk, kehilangan keintiman, bahkan berisiko menghadapi konflik serius.
Dalam jangka panjang, hal ini juga dapat memicu masalah kesehatan mental seperti kecemasan atau depresi. Lebih jauh lagi, jika dibiarkan, anak-anak pun bisa terkena dampaknya. Mereka dapat merasa diabaikan atau menjadi korban dari luapan emosi yang seharusnya tidak ditujukan kepada mereka.
Dengan kata lain, spillover bukan sekadar persoalan suasana hati. Ia adalah fenomena yang bisa memengaruhi kualitas hidup seluruh anggota keluarga.
Kabar baiknya, emotional spillover bisa dikendalikan. Ada beberapa strategi yang terbukti efektif menurut penelitian:
- Gunakan coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping).
Penelitian oleh Sirgy (2020) menemukan bahwa strategi menghadapi masalah secara langsung lebih efektif dalam mengurangi dampak negatif spillover dibanding sekadar mengelola emosi. Misalnya, jika pekerjaan membuat stres karena beban berlebih, carilah solusi manajemen waktu atau komunikasikan dengan atasan. - Atur batas antara kerja dan rumah.
Cobalah membuat ritual pulang seperti mendengarkan musik di perjalanan, menarik napas dalam, atau mengganti pakaian kerja segera setelah sampai rumah. Langkah sederhana ini membantu otak memberi sinyal bahwa pekerjaan sudah selesai, sehingga kamu lebih siap hadir untuk keluarga. - Manfaatkan dukungan organisasi.
Studi menunjukkan bahwa budaya kerja yang fleksibel dan suportif mampu menekan negative spillover sekaligus meningkatkan positive spillover. Jika perusahaan memberi ruang untuk work-life balance, beban emosional pekerja pun akan berkurang. - Bangun komunikasi sehat dengan pasangan.
Sampaikan pada pasangan ketika kamu sedang lelah atau butuh waktu untuk menenangkan diri. Dengan begitu, pasangan bisa lebih memahami alih-alih merasa diabaikan.