Kenapa Ibu Rumah Tangga Sering Merasa Bersalah Padahal Sudah Berusaha Maksimal?

Ilustrasi Ibu Rumah Tangga Sering Merasa Bersalah
Sumber :
  • Pixaby

Lifestyle –Tak ada pekerjaan seberat menjadi ibu rumah tangga, namun ironisnya, sering kali justru pekerjaan ini yang paling tidak diakui. Seorang ibu bisa bangun lebih pagi dari semua anggota keluarga, tidur paling akhir, memastikan rumah bersih, perut kenyang, anak-anak aman dan dicintai—namun di malam hari, ia masih merasa kurang. Masih ada rasa bersalah, bahwa ia belum cukup baik, belum cukup sabar, belum cukup segalanya.

Kalau Kantor Bikin Cemas dan Susah Tidur, Ini Tandanya Harus Waspada

Perasaan itu hadir diam-diam, menempel seperti bayangan. Dalam dunia psikologi, kondisi ini dikenal sebagai mom guilt. Psikolog klinis asal AS, Dr. Sheryl Ziegler, menyebut ini sebagai “beban emosional tak terlihat” yang dibawa mayoritas ibu setiap hari. Tapi kenapa? Mengapa rasa bersalah itu terus muncul padahal para ibu sudah berusaha semaksimal mungkin?

Budaya Perfeksionisme Ibu yang Diwariskan Secara Sosial

Menurut profesor dan peneliti dari University of Houston, Dr. Brené Brown budaya modern terlalu menuntut kesempurnaan dari perempuan, terutama ibu. Ada standar tidak realistis yang tertanam yaitu ibu harus sabar setiap saat, rumah harus selalu rapi, anak harus selalu bahagia, dan makanan harus selalu sehat.

5 Profesi yang Cocok untuk Kamu yang Ingin Ganti Karier di Usia 30-an

Media sosial memperparah ekspektasi ini. Melihat ibu lain memasak dari nol, anak selalu tersenyum, rumah estetik, semua bisa memunculkan rasa ‘aku belum cukup baik’. Padahal, kenyataannya sangat berbeda. Setiap ibu punya tantangan unik, dan membandingkan satu dengan lainnya hanya membuat luka batin makin dalam.

Otak Emosional Wanita Memang Lebih Sensitif terhadap Kebutuhan Orang Lain

Secara neurologis, wanita memiliki sistem limbik—bagian otak yang memproses emosi—yang lebih aktif daripada pria. Neuropsikiater dari University of California, Dr. Louann Brizendine menjelaskan bahwa ini membuat wanita, khususnya ibu, lebih mudah merasakan empati dan lebih peka terhadap emosi anggota keluarga.

Ketika Stres Kerja Tak Lagi Biasa, Sejauh Apa Beban Mental Bisa Menjerumuskan pada Pikiran 'Nekat'?

Sayangnya, kepekaan ini juga membuat ibu lebih rentan menyalahkan diri sendiri jika anak rewel, pasangan stres, atau rumah berantakan. Otak mereka secara alami mencari ‘apa yang bisa kulakukan agar situasi ini lebih baik,’ yang akhirnya sering berubah menjadi ‘aku gagal karena ini terjadi’.

Tanggung Jawab Tak Berbagi, Tapi Dipikul Sendiri

Banyak rumah tangga, meskipun pasangan modern mulai berbagi peran, tekanan emosional dan manajerial tetap berada di pundak ibu. Istilah yang disebut ‘mental load’ atau beban pikir menggambarkan ini yakni ibu yang mengingat jadwal vaksin anak, menyusun menu makan, mencatat kebutuhan sekolah, hingga urusan sepele seperti ganti spons dapur.

Psikolog asal Inggris, Dr. Emma Svanberg, menyebut ini sebagai bentuk kerja tak terlihat yang sulit diukur, tapi sangat menguras tenaga dan emosi. Ketika semua berjalan lancar, tak ada yang berkomentar. Tapi begitu ada yang keliru, ibu sering jadi yang pertama merasa bersalah.

Kurangnya Validasi Membuat Ibu Meragukan Dirinya Sendiri

Berbeda dengan pekerjaan formal yang mendapat penghargaan, gaji, bahkan promosi, menjadi ibu rumah tangga sering kali berjalan tanpa pengakuan. Tidak ada bos yang memberi ucapan terima kasih setiap hari. Hal ini membuat banyak ibu mempertanyakan apakah mereka cukup berarti.

Menurut psikolog klinis dari University of Texas, Dr. Kristin Neff kurangnya validasi eksternal bisa menyebabkan ibu kehilangan self-compassion atau kasih sayang terhadap diri sendiri. Mereka jadi terlalu keras menilai diri, dan mudah merasa bersalah atas hal-hal yang sebenarnya manusiawi.

Perasaan Bersalah Tak Selalu Negatif, Tapi Perlu Dikelola

Dr. Neff menegaskan bahwa merasa bersalah bukan berarti ibu lemah. Justru, ini menunjukkan betapa dalam cinta seorang ibu terhadap anak dan keluarganya. Namun, jika dibiarkan terus-menerus tanpa pengelolaan, rasa bersalah ini bisa berkembang menjadi kecemasan, depresi, atau burnout emosional.

Penting untuk membedakan antara rasa bersalah yang produktif—yang mendorong refleksi dan perbaikan dengan rasa bersalah yang destruktif, yang hanya menyalahkan diri tanpa solusi. Menyadari ini bisa jadi langkah awal untuk mengubah cara pandang ibu terhadap dirinya sendiri.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Beberapa langkah praktis yang bisa membantu ibu keluar dari lingkaran rasa bersalah:

  • Berhenti Membandingkan. Setiap keluarga unik. Kehidupan orang lain yang terlihat sempurna di media sosial mungkin hanya potongan kecil dari realita mereka.
  • Berlatih Self-Compassion. Seperti yang disarankan Dr. Neff, cobalah berbicara kepada diri sendiri seperti kita berbicara kepada sahabat: dengan pengertian, kelembutan, dan empati.
  • Validasi Diri Sendiri. Tidak harus menunggu ucapan terima kasih. Setiap napas anak yang sehat, tawa kecil di ruang makan, adalah bukti kerja keras yang tak terlihat.
  • Bicarakan Beban Emosional. Diskusi terbuka dengan pasangan soal “beban pikir” bisa jadi awal redistribusi tanggung jawab yang lebih adil.
  • Terapi atau Dukungan Komunitas. Jika rasa bersalah mulai memengaruhi kesehatan mental, tak ada salahnya berbicara dengan psikolog atau bergabung dalam komunitas ibu.

Ibu Tak Harus Sempurna untuk Dicintai

Perasaan bersalah yang dirasakan ibu rumah tangga adalah cermin dari betapa dalamnya kasih sayang mereka. Namun, penting juga untuk diingat: menjadi ibu bukan soal melakukan semuanya dengan sempurna, tapi menjalani peran dengan cinta dan ketulusan.

Seperti yang dikatakan Dr. Ziegler, bahwa anak-anak tak butuh ibu yang sempurna, mereka butuh ibu yang hadir.  Kehadiran itu, kadang dimulai dari memaafkan diri sendiri dan mengakui bahwa kita sudah cukup.