Suami Pernah Ucapkan Kata Kasar Saat Bertengkar? Ini Cara Berbaikan yang Sehat Menurut Psikolog Pernikahan
- Freepik
Lifestyle –Dalam setiap pernikahan, pertengkaran bisa terjadi kapan saja. Namun, ketika emosi memuncak, kata-kata kasar bisa terucap tanpa sempat dipikirkan. Kalimat seperti 'bodoh', 'nggak berguna', atau umpatan lainnya bisa melukai perasaan pasangan terutama jika datang dari suami kepada istri.
Meskipun marah adalah reaksi manusiawi, ucapan kasar bisa meninggalkan luka emosional yang dalam, bahkan saat pertengkaran sudah selesai. Lalu, bagaimana cara suami memperbaiki hubungan jika sempat mengucapkan kata kasar saat bertengkar dan apa yang dikatakan oleh psikolog pernikahan tentang dinamika ini?
Dalam artikel ini, kita akan membahas langkah-langkah memperbaiki hubungan pasca konflik verbal secara sehat, berdasarkan panduan dari psikolog pernikahan terverifikasi, Dr. Andrea Bonior, seorang licensed clinical psychologist dan penulis buku Detox Your Thoughts.
Menurut Dr. Andrea Bonior, kata-kata yang muncul saat marah bukan hanya soal emosi sesaat, tapi bisa menciptakan luka psikologis jika terus diabaikan. Ucapan kasar dari suami kepada istri, seperti menyebut istri 'lemah' atau 'tidak berguna', bisa menggerus harga diri dan rasa aman dalam hubungan.
Dr. Bonior menekankan bahwa dalam jangka panjang, pasangan yang terbiasa bertengkar dengan kata-kata menyakitkan cenderung mengalami penurunan kualitas emosional, bahkan jika tidak ada kekerasan fisik yang terjadi.
“Kata-kata bisa menjadi senjata dalam sebuah pernikahan, bukan hanya sebagai momen saat frustasi,” tulisnya.
Kenapa Suami Bisa Mengeluarkan Kata Kasar Saat Marah?
Beberapa alasan umum mengapa suami bisa mengeluarkan kata kasar saat bertengkar antara lain:
- Tekanan emosional yang menumpuk: Suami mungkin menyimpan frustrasi dalam pekerjaan atau masalah pribadi dan melampiaskannya di rumah.
- Kebiasaan sejak kecil: Beberapa pria tumbuh dalam lingkungan yang menganggap umpatan sebagai hal biasa saat marah.
- Kurangnya kontrol emosi: Saat tidak tahu cara menyalurkan emosi secara sehat, kata-kata menjadi pelampiasan yang paling cepat.
Namun, apapun alasannya, tanggung jawab tetap ada pada suami untuk menyadari dan memperbaiki sikapnya.
Langkah Pertama: Akui dan Jangan Meremehkan Luka Emosional
Langkah paling penting dalam proses berbaikan adalah mengakui kesalahan tanpa pembelaan.
Banyak suami yang tergoda untuk berkata, “Kan aku cuma ngomong pas marah” atau “Nggak maksud begitu, kamu aja yang baper.” Pernyataan seperti ini justru memperdalam luka istri.
Dr. Bonior menyarankan agar suami tidak meremehkan dampak kata-katanya, dan benar-benar mendengarkan perasaan istri tanpa menyela. Contoh permintaan maaf sehat:
“Aku benar-benar menyesal sudah mengatakan hal itu. Aku tahu kata-kataku menyakitimu dan aku salah besar. Aku ingin memperbaiki ini.”
Dengarkan Tanpa Membela Diri
Setelah meminta maaf, suami perlu memberikan ruang bagi istri untuk mengekspresikan rasa sakitnya. Ini bukan saatnya untuk berdebat, tapi untuk mendengar dengan empati.
Dr. Bonior menekankan, mendengar dengan empati berarti tidak fokus pada pembelaan diri, tapi pada pemahaman.
Jika istri mengatakan, “Aku merasa sangat diremehkan waktu kamu ngomong seperti itu,” maka respons yang baik adalah:
“Aku bisa mengerti kenapa kamu merasa seperti itu. Aku bersalah sudah membuatmu merasa begitu.”
Hindari Permintaan Maaf yang Mengandung “Tapi…”
Permintaan maaf yang diikuti dengan kata “tapi” akan terdengar tidak tulus, misalnya:
“Maaf aku kasar, tapi kamu juga bikin aku kesel banget.”
Menurut Dr. Bonior, permintaan maaf seperti ini menunjukkan bahwa pelaku tidak sepenuhnya bertanggung jawab. Ini bisa memperpanjang konflik dan menghambat pemulihan emosi pasangan.
Tunjukkan Perubahan Lewat Tindakan, Bukan Kata-Kata Saja
Setelah kata maaf diucapkan, langkah berikutnya adalah menunjukkan perubahan nyata. Beberapa contoh perubahan:
- Mengontrol nada bicara saat mulai emosi
- Mengambil waktu jeda sebelum membalas argumen
- Menawarkan waktu untuk berdiskusi secara sehat di luar momen konflik
Perubahan ini memberi pesan pada istri bahwa suami benar-benar ingin memperbaiki hubungan, bukan hanya merasa bersalah sesaat.
Bangun Kembali Rasa Aman dan Kepercayaan
Setelah konflik yang cukup intens, bisa jadi istri merasa tidak lagi “aman” secara emosional dalam hubungan. Perlu waktu dan konsistensi untuk mengembalikan rasa percaya.
Dr. Bonior menyarankan agar pasangan:
- Melibatkan diri dalam kegiatan yang mempererat ikatan emosional (seperti jalan santai, makan malam, atau berbicara sebelum tidur)
- Memberikan pujian yang tulus
- Menunjukkan kepedulian dalam hal kecil (membantu tugas rumah, mengecek kondisi istri, atau memberi perhatian saat ia lelah)
Bila Perlu, Ajak Konseling Bersama
Jika konflik berulang atau istri merasa luka emosionalnya sulit sembuh, pertimbangkan untuk berkonsultasi ke psikolog pernikahan.
Psikoterapi pasangan bisa menjadi wadah aman untuk menyuarakan emosi, membuka dialog tanpa menyalahkan, dan mendapatkan panduan profesional untuk mengembangkan cara komunikasi yang sehat.
Dr. Bonior mengatakan bahwa konsultasi pernikahan bukan hanya untuk pernikahan yang tengah berada di ujung tanduk. Terapi pernikahan ini diperlukan untuk kedua pasangan yang ingin kehidupan rumah tangga mereka menjadi lebih baik.
Maaf Bukan Akhir, Tapi Awal dari Hubungan yang Lebih Dewasa
Meminta maaf karena mengucapkan kata kasar memang berat, tapi bukan berarti hubungan akan selalu rusak. Justru, dengan penyesalan yang tulus dan perubahan yang nyata, konflik bisa menjadi titik balik menuju hubungan yang lebih dewasa.
Pasangan yang mau belajar dari kesalahan dan saling menghargai setelah pertengkaran biasanya memiliki resiliensi hubungan yang lebih kuat.
Pertengkaran dalam pernikahan adalah hal yang wajar. Namun, kata-kata kasar bukanlah bentuk komunikasi yang bisa dibenarkan, apapun alasannya. Jika suami pernah mengucapkannya, bukan berarti semuanya sudah terlambat. Dengan permintaan maaf yang tulus, sikap mendengarkan tanpa defensif, dan perubahan nyata, hubungan bisa dipulihkan.
Seperti kata Dr. Andrea Bonior, kunci dalam hubungan bukanlah menghindari konflik, tapi bagaimana kita mengelolanya dengan cara yang memperkuat cinta, bukan melukai.
Jika kamu atau pasanganmu merasa butuh bantuan untuk mengelola emosi dan membangun kembali hubungan yang sehat, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Terkadang, cinta butuh bimbingan agar bisa tumbuh dengan kuat.