Darurat Finansial Bikin Lupa Risiko, Kenapa Otak Kita Langsung Kepikiran Pinjol Saat Bokek?
- Freepik
Lifestyle –Bayangkan ini uang tinggal Rp15 ribu, isi kulkas kosong, pulsa habis, dan listrik sudah kedap-kedip. Gaji masih jauh, teman juga lagi pada seret. Tiba-tiba, muncul pikiran, “Kalau pinjol Rp300 ribu dulu, lumayan buat isi token dan beli nasi.”
Kalau kamu pernah berpikir seperti itu, kamu tidak sendiri. Bahkan, banyak orang yang sebenarnya tahu risiko pinjol, tapi tetap memutuskan pinjam padahal sadar bunganya tinggi, dendanya kejam, dan penagihannya bisa bikin stres.
Kenapa bisa begitu? Jawabannya tidak sesederhana kurang edukasi atau nekat. Keputusan itu berakar dari cara kerja otak manusia saat menghadapi situasi ekstrem, seperti kondisi bokek dan darurat keuangan. Penjelasan ini bisa ditemukan dalam karya-karya Dr. Daniel Kahneman, psikolog peraih Nobel yang meneliti perilaku manusia dalam mengambil keputusan di bawah tekanan.
Menurut Dr. Daniel Kahneman, otak manusia bekerja dalam dua sistem:
- Sistem 1: Cepat, otomatis, emosional, impulsif.
- Sistem 2: Lambat, logis, hati-hati, dan penuh pertimbangan.
Dalam keadaan normal, Sistem 2 membantu kita mengambil keputusan rasional: membandingkan bunga, memikirkan risiko jangka panjang, mencari alternatif. Tapi begitu kita menghadapi kondisi darurat misalnya bokek parah dan kebutuhan mendesak yang aktif justru Sistem 1.
“Semakin tinggi tekanan, semakin besar peluang kita mengambil keputusan menggunakan Sistem 1,” jelas Kahneman dalam bukunya Thinking, Fast and Slow.
Itulah kenapa saat kepepet, pikiran kita bisa jadi sangat pendek. Pokoknya ada uang masuk sekarang jurusan besok, pikir nanti.
Efek “Tunnel Vision”: Fokus Kita Jadi Sempit
Saat sedang panik karena tidak punya uang, otak kita mengalami apa yang disebut tunnel vision. Fokus kita jadi sangat sempit hanya tertuju pada solusi tercepat yang bisa menyelesaikan masalah saat itu juga.
Maka muncul pola pikir seperti:
- “Yang penting bisa beli makan malam dulu.”
- “Nanti pas gajian, lunasin aja.”
- “Cuma Rp500 ribu kok, kecil.”
Masalahnya, pinjol sering kali datang dengan bunga 20–30% dalam waktu singkat, dan denda menumpuk jika telat bayar. Tapi semua itu “tertutup” karena fokus otak hanya ke satu hal: selamat sekarang.
Kahneman menyebutnya sebagai bentuk loss aversion ekstrem, di mana kita rela ambil risiko besar demi menghindari kerugian langsung.
Pinjol Pandai Mengelabui Sistem 1
Kenapa dari sekian solusi, pikiran kita langsung tertuju ke pinjol? Karena pinjol memang dirancang untuk menipu Sistem 1 kita yang impulsif.
Lihat saja tampilan aplikasinya:
- Warna merah dan oranye cerah (membangkitkan urgensi).
- Tulisan besar: “Dana Cair 5 Menit! Tanpa Ribet!”
- Prosesnya cepat, tanpa tatap muka, tanpa jaminan.
Semua ini sengaja dikemas agar otak kamu yang sedang panik merasa:
- “Cepat!”
- “Aman!”
- “Nggak ribet!”
Padahal, di balik semua itu ada bunga harian, potongan admin, dan denda jika telat bayar.
Ketika Panik Mengalahkan Perhitungan
Orang yang mengambil pinjol di saat darurat sering bukan karena nggak tahu bahayanya. Tapi karena panik mengalahkan perhitungan. Coba bayangkan ini:
- Anak sakit, butuh beli obat.
- Listrik mau diputus.
- ATM kosong, keluarga juga sedang sulit.
Dalam kondisi seperti ini, waktu untuk berpikir rasional hampir tidak ada. Kita ingin masalah selesai sekarang. Maka otak mengorbankan logika demi solusi instan.
“Orang bukan tidak cerdas, tapi ketika berada dalam tekanan, emosi dan impuls mengambil alih, dan keputusan itu biasanya disesali belakangan,” kata Kahneman.
Terbentuknya Pola Ketergantungan pada Solusi Instan
Lebih berbahayanya lagi adalah sekali berhasil pinjam dan cair, muncul ilusi bahwa pinjol bisa diandalkan. Lama-lama, muncul kebiasaan setiap kepepet buka aplikasi pinjol, terlambat bayar satu akhirnya pinjam dari pinjol lain buat nutupin. gaji datang malah habis untuk bayar bunga.
Lingkaran setan ini bisa berujung pada hutang yang membesar, stres dan kecemasan meningkat, produktivitas menurun, hingga gangguan tidur dan mental
Cara Mengatasi Dorongan Impulsif Saat Bokek
Berikut beberapa cara untuk melawan dorongan impulsif pinjol ketika kamu lagi benar-benar kepepet:
- Tarik napas dan beri jeda waktu.
Jangan langsung klik “Ajukan”. Tunggu 15 menit. Biasanya, dalam waktu itu, logika mulai kembali bekerja. - Catat dengan jujur: seberapa mendesak kebutuhanmu?
Misalnya, perlu Rp50 ribu untuk listrik. Apakah bisa pinjam dari teman dekat atau menjual barang tidak terpakai? - Cari alternatif:
- Koperasi atau pinjaman komunitas dengan bunga rendah.
- Bantuan sosial lokal (banyak komunitas yang membantu kasus darurat).
- Negosiasi dengan pihak terkait (misal, minta tenggat tambahan ke PLN atau rumah sakit).
Jangan simpan sendiri. Saat kamu curhat, seringkali solusi muncul, dan perasaan panik berkurang.
Memang tidak mudah membangun dana darurat saat penghasilan kecil. Tapi kamu bisa mulai dari langkah kecil:
- Sisihkan Rp5.000 per hari di amplop atau dompet digital terpisah.
- Biasakan mencatat pengeluaran harian, walau kecil.
- Hindari gaya hidup yang terlalu mengikuti media sosial.
Dengan punya sedikit tabungan darurat, kamu tidak langsung panik setiap kali bokek.