Ingin Resign Tapi Masih Ragu? Mungkin Ini Tanda Kamu Sedang Alami Decision Fatigue
- Freepik
Lifestyle –Kamu bangun pagi dengan dada sesak. Masuk kerja rasanya seperti melangkah ke medan perang. Atasanmu penuh tekanan, tidak pernah puas, dan senang menyalahkan. Deadline menumpuk, pekerjaan yang bukan jobdesk tiba-tiba menjadi tanggung jawabmu. Sementara rekan kerja? Sibuk menghindar dan lepas tangan.
Di sela napas yang berat, kamu bertanya ke diri sendiri: “Kenapa aku masih di sini? Harusnya aku sudah resign sejak lama.” Tapi setelah itu, kamu kembali terdiam. Terjebak dalam lingkaran ragu dan takut. Sehari berlalu. Lusa pun begitu. Minggu berganti, kamu masih di tempat yang sama—lelah, bingung, dan tak kunjung bisa mengambil keputusan besar.
Jika kamu mengalami hal ini, besar kemungkinan kamu sedang mengalami decision fatigue, bukan karena kamu lemah, tapi karena mentalmu terlalu penat untuk memilih.
Apa itu Decision Fatigue?
Decision fatigue adalah istilah psikologis untuk menggambarkan kondisi ketika kemampuan seseorang dalam membuat keputusan menjadi menurun akibat terlalu banyak pilihan atau tekanan untuk memilih. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Roy Baumeister, psikolog ternama dari Florida State University, yang menyatakan bahwa setiap keputusan menguras energi mental.
Setiap hari kita dihadapkan dengan ratusan pilihan: dari hal sepele seperti memilih pakaian atau menu makan siang, hingga yang besar seperti memutuskan untuk bertahan di pekerjaan yang toxic atau resign tanpa jaminan penghasilan. Semakin banyak keputusan yang harus diambil, semakin menipis pula "baterai" mental kita.
Kondisi ini mirip dengan otot yang kelelahan setelah dipakai terus-menerus. Ketika otak terus dipaksa memilih, apalagi dalam situasi penuh tekanan dan ketidakpastian, kita akan sampai pada titik di mana kemampuan membuat keputusan baik jadi tumpul. Kita bisa:
- Menunda keputusan penting,
- Membuat pilihan impulsif,
- Atau malah berhenti memutuskan sama sekali.
Dan dalam konteks pekerjaan, ini bisa sangat berbahaya.
Kenapa Decision Fatigue Bisa Sangat Berbahaya?
Menurut profesor psikologi dari Yale University dan pengajar kursus psikologi kebahagiaan paling populer di dunia, Dr. Laurie Santos decision fatigue bukan hanya soal "lelah memilih". Ia bisa berdampak sistemik terhadap kesehatan mental, produktivitas, bahkan kualitas hidup. Berikut beberapa alasannya:
1. Menumpulkan Intuisi dan Akal Sehat
Saat mental kelelahan, kita kehilangan kepekaan terhadap intuisi. Hal-hal yang seharusnya mudah kita nilai—apakah ini sehat untukku? Apakah ini menyakitiku?—menjadi kabur. Kita mulai merasionalisasi hubungan kerja yang toksik, menyalahkan diri sendiri atas beban yang seharusnya dibagi, bahkan merasa “tidak berhak” resign.
2. Mengunci Diri dalam Lingkaran Stagnan
Decision fatigue bisa membuat seseorang terjebak dalam pola “diam dan bertahan”. Bukan karena tidak punya pilihan, tapi karena tidak punya energi untuk mengevaluasi pilihan. Kita menjadi pasif, menunggu segalanya berubah tanpa langkah konkret, yang akhirnya hanya menambah stres dan frustrasi.
3. Meningkatkan Risiko Keputusan yang Merugikan
Orang dengan decision fatigue cenderung membuat keputusan impulsif atau berdasarkan pelarian. Misalnya, tiba-tiba resign tanpa rencana, atau sebaliknya: menerima promosi yang sebenarnya justru menambah tekanan. Karena otak dalam kondisi lelah, kita tidak lagi menimbang dengan utuh.
4. Mengganggu Regulasi Emosi dan Hubungan Sosial
Ketika kamu terlalu lelah secara mental, kemampuan mengelola emosi ikut menurun. Kamu jadi lebih mudah marah, menangis tanpa alasan jelas, atau menarik diri dari orang-orang terdekat. Ini bisa memperparah isolasi psikologis dan memperkeruh hubungan pribadi maupun profesional.
Tanda-Tanda Kamu Mengalami Decision Fatigue
Kamu mungkin sedang mengalami decision fatigue jika:
- Setiap memikirkan resign atau bertahan, kamu merasa “mati rasa”.
- Kamu membuat daftar pro-kontra tapi tak pernah selesai.
- Kamu merasa bersalah atas apapun pilihan yang dipikirkan.
- Kamu merasa jalan keluar itu selalu menyakitkan, tak peduli apa pun keputusannya.
- Kamu terus membatalkan niat karena takut, bukan karena ragu.
Bagaimana Menghadapinya?
1. Sadari bahwa ragu bukan tanda gagal.
Keraguan adalah respons wajar dari tubuh dan pikiran yang kelelahan. Alih-alih memaksa diri mengambil keputusan besar saat kamu sedang tak sanggup, beri dirimu ruang untuk pulih dulu.
2. Kurangi jumlah keputusan harian.
Minimalkan keputusan kecil. Gunakan energi mentalmu untuk hal yang paling penting: kesejahteraan jangka panjangmu.
3. Tentukan batas waktu keputusan.
Berikan diri kamu tenggat waktu: “Aku akan evaluasi pekerjaan ini lagi dalam 2 minggu ke depan.” Tenggat ini memberi kamu struktur tanpa tekanan instan.
4. Konsultasikan pada ahli atau mentor.
Suara dari luar bisa menjadi cermin untuk membantumu berpikir jernih. Psikolog atau career coach bisa membantumu menyusun langkah mundur yang tidak impulsif, tapi juga tidak stagnan.
5. Rawat dirimu secara emosional.
Tidur cukup, makan teratur, dan jangan memaksa produktivitas saat pikiran sedang kacau. Kamu tidak akan bisa memilih dengan baik jika tubuhmu sendiri sedang berteriak minta istirahat.
Kamu Tidak Lemah, Kamu Hanya Butuh Pulih
Sering kali, kita terlalu keras pada diri sendiri saat merasa ragu. Kita lupa bahwa otak kita bukan mesin yang bisa terus mengambil keputusan tanpa henti. Apalagi jika kamu berada di lingkungan kerja yang toxic, dengan beban tidak seimbang dan dukungan sosial yang minim—keraguan itu bukan tanda kelemahan, tapi sinyal bahwa tubuhmu meminta istirahat.
Kamu tidak harus segera resign hari ini. Tapi kamu juga tidak harus terus tinggal di tempat yang menyakiti. Kamu mungkin membutuhkan bukan keputusan cepat, tapi ruang untuk merawat energi mentalmu agar kamu bisa memilih dengan hati yang jernih.
Sebab, ketika kamu akhirnya memilih untuk mundur dengan tenang, sadar, dan siap itu bukan keputusan lemah. Itu tanda bahwa kamu kuat. Lebih penting lagi, kamu sadar dirimu layak untuk hidup yang lebih baik.