Sekali dipinjami Uang Kok Malah Keterusan, Kebiasaan atau Ketergantungan Manfaatkan Orang?

Ilustrasi pinjam uang ke teman
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Pernah mengalami situasi di mana teman atau kerabat datang meminjam uang, dan setelah kita membantu sekali, mereka jadi berulang kali kembali dengan alasan serupa? Fenomena ini cukup sering terjadi dalam hubungan sosial.

Beli Rumah Cash vs KPR, Mana Lebih 'Untung'?

Niat awal kita yang sederhana menolong orang yang tampak kesulitan justru bisa berkembang menjadi kebiasaan tidak sehat. Pertanyaannya, mengapa sekali dipinjami uang bisa berubah menjadi pola berulang? Apakah ini murni soal kebutuhan, atau ada faktor psikologis dan manipulasi yang terlibat?

Ada beberapa mekanisme psikologis yang menjelaskan mengapa seseorang bisa ketagihan meminjam uang setelah berhasil melakukannya sekali:

  1. Kepuasan instan (immediate gratification)
    Manusia cenderung memilih jalan cepat untuk memenuhi kebutuhan, meski konsekuensinya berat di masa depan. Meminjam uang terasa seperti solusi cepat dibandingkan menabung atau mengelola keuangan dengan ketat.
  2. Optimism bias
    Banyak orang terlalu percaya diri bahwa mereka akan mampu membayar di kemudian hari. Keyakinan seperti “nanti pas gajian bisa kok bayar” sering membuat seseorang meremehkan risiko, meski kenyataannya pembayaran sering tertunda atau malah tidak pernah terjadi.
  3. Tekanan sosial
    Dalam beberapa kasus, seseorang meminjam uang untuk menjaga citra atau mengikuti gaya hidup lingkungan sosialnya. Ada dorongan untuk “tetap terlihat mampu” meskipun kondisi finansial sebenarnya tidak mendukung.
8 Trik Kerja Lebih Cerdas dengan AI, Bantu Pekerjaan Kantor Jadi Lebih Efisien dan Produktif

Ketiga faktor ini bekerja bersamaan dan bisa membuat perilaku meminjam semakin sulit dihentikan.

Dari Kebiasaan ke Manipulasi Emosional

Hal yang lebih rumit muncul ketika perilaku meminjam uang bercampur dengan manipulasi emosional. Orang yang terbiasa meminjam bisa menggunakan berbagai cara untuk membuat pemberi pinjaman sulit berkata tidak.

5 Keputusan Penting Robert Kiyosaki Membangun Kekayaan, Buktikan Bisa Kaya dari Nol

Psikolog Harriet B. Braiker dalam bukunya tentang manipulasi menyebut beberapa teknik klasik seperti pujian berlebihan, air mata buaya, permintaan maaf yang berulang-ulang, hingga membuat orang lain merasa bersalah. Misalnya, seseorang bisa berkata, “Kamu kan baik banget sama aku kemarin, masa sekarang nggak bisa bantu lagi?”

Senada dengan itu, George K. Simon, pakar yang banyak meneliti manipulasi, menjelaskan bahwa pelaku manipulasi biasanya menyembunyikan niat agresifnya dengan sikap ramah, penuh perhatian, dan memanfaatkan kelemahan emosional orang lain. Dalam konteks pinjam uang, mereka bisa tampil manis dan penuh pengertian, padahal tujuannya hanya agar kebiasaan meminjam terus berlanjut.

Dampak Hubungan yang Taruhannya Nyata

Pinjam-meminjam uang tidak selalu berakhir dengan baik. Data dari Kiplinger menunjukkan, hanya sekitar 56% pinjaman antar teman atau keluarga yang benar-benar dilunasi. Sementara itu, 25% orang mengaku hubungan mereka jadi renggang setelah urusan pinjaman, dan 26% akhirnya merasa perlu membuat rencana pembayaran formal agar tidak terjadi konflik.

Kenyataan ini sejalan dengan peringatan banyak pakar finansial yakni meski terlihat sederhana, urusan pinjam-meminjam uang sering kali membawa risiko keretakan hubungan. Bukan hanya persoalan uang yang hilang, tapi juga kepercayaan dan rasa nyaman yang sulit dipulihkan.

Untuk memahami lebih dalam, mari melihat pandangan dari profesor psikologi dan kebijakan publik dari Princeton University, serta penulis buku Scarcity: Why Having Too Little Means So Much Eldar Shafir,. Shafir meneliti bagaimana kondisi kekurangan memengaruhi cara seseorang berpikir dan mengambil keputusan.

“Orang sering membuat keputusan yang kurang bijak dalam hal keuangan ketika mereka berpikir bahwa mereka sedang bersikap rasional,” kata dia.

Artinya, meskipun seseorang merasa keputusan meminjam uang itu logis misalnya “saya akan bayar setelah gajian” nyatanya keputusan itu banyak dipengaruhi oleh tekanan psikologis dan situasi keterbatasan. Ketika seseorang hidup dalam kondisi scarcity atau kekurangan, fokus pikirannya menyempit hanya pada kebutuhan jangka pendek. Akibatnya, solusi cepat seperti meminjam uang terasa selalu benar, padahal jangka panjangnya bisa merugikan.

Pandangan Shafir membantu kita memahami bahwa kebiasaan meminjam uang bukan sekadar soal malas atau tidak bertanggung jawab. Ada faktor psikologis yang membuat orang terjebak dalam pola ini. Namun, tentu tidak menutup kemungkinan ada yang memanfaatkan keadaan tersebut untuk memanipulasi orang lain.

Bagaimana Cara Bijak Menghadapinya?

Jika kita sering diminta meminjamkan uang dan merasa itu mulai menjadi kebiasaan, ada beberapa langkah bijak yang bisa dipertimbangkan:

  1. Tetapkan batas yang jelas
    Putuskan sejak awal apakah bantuan yang diberikan berupa pinjaman atau hadiah. Jika pinjaman, buat kesepakatan tertulis sederhana agar tidak ada ambiguitas.
  2. Kenali tanda manipulasi
    Waspadai jika peminjam selalu membuat Anda merasa bersalah, menggunakan alasan dramatis berulang, atau tidak menghormati batas waktu pembayaran.
  3. Bantu dengan cara lain
    Jika memang ingin membantu tapi tidak mau memberi uang tunai, tawarkan bentuk lain, seperti memberi saran keuangan, membantu membuat anggaran, atau menghubungkan dengan peluang pekerjaan tambahan.
  4. Komunikasi asertif
    Belajar berkata tidak dengan sopan tapi tegas. Contohnya: “Aku paham kamu butuh, tapi aku juga sedang mengatur keuangan, jadi tidak bisa meminjamkan sekarang.”