Sejarah Kelam dibalik Lomba Panjat Pinang
- Pixabay
Lifestyle –Hari ini Indonesia merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 Tahun. Beragam cara merayakan HUT-RI setiap tahunnya, mulai dari upacara bendera hingga aneka perlombaan meriah. Berbicara mengenai perlombaan, salah satu yang paling melekat dengan HUT RI adalah lomba panjat pinang.
Lomba panjat pinang dilakukan dengan menggunakan batang pohon pinang yang tinggi, biasanya 8–10 meter. Nantinya batang pohon tersebut dilumuri pelumas licin seperti oli, sabun, atau campuran minyak. Dengan puncak batang dipasang aneka hadiah yang menggiurkan, mulai dari peralatan rumah tangga, sepeda, uang tunai, hingga bahan makanan untuk diperubutkan.
Peserta biasanya dibagi menjadi tim berisi 4–8 orang. Mereka harus bekerja sama membentuk “piramida manusia” untuk mencapai hadiah di puncak. Tantangannya, batang yang licin membuat peserta sering tergelincir, sehingga butuh strategi dan koordinasi yang baik.
Sorak-sorai penonton, teriakan memberi semangat, dan tawa yang pecah setiap peserta terpeleset semuanya membuat panjat pinang tak sekadar lomba, melainkan ajang kebersamaan yang dinanti setiap tahun. Namun dibalik kemeriahan panjat pinang, ternyata ada kisah kelam dibaliknya.
Sejarah Kelam Panjat Pinang
Dilansir dari berbagai sumber, perlombaan panjat pinang berasal dari masa penjajahan Belanda. Saat itu hanya warga pribumi saja yang boleh melakukan perlombaan ini. Perlombaan ini biasanya dilakukan setiap tanggal 31 Agustus sebagai bentuk perayaan ulang tahun ratu Belanda kala itu yakni Ratu Wilhelmina.
Dalam lomba tersebut, warga pribumi akan memperebutkan hadiah mulai dari bahan-bahan pokok, seperti tepung, kopi, gula, keju, baju, atau barang lainnya yang termasuk barang mewah bagi orang pribumi pada saat itu. Namun untuk mendapatkan hadiah tersebut tidaklah mudah, mereka harus memanjat tiang setinggi 5 meter yang dilumuri minyak.