Kenapa Beberapa Pria Pilih Menggunakan Tangan Ketimbang Kata Ketika Tersulut Emosi?
- Freepik
Lifestyle –Saat pria dan wanita menghadapi konflik, cara mereka meluapkan emosi sering kali sangat berbeda. Wanita cenderung bicara, menangis, atau menyindir. Pria? Tak jarang langsung menggebrak meja atau bahkan adu jotos. Fenomena ini muncul di banyak budaya, lintas usia, dan berbagai konteks sosial.
Tapi kenapa begitu? Apakah laki-laki memang bawaan lahir lebih kasar atau cepat main tangan? Atau ada hal lain yang membentuk cara mereka marah?
Menurut, psikolog klinis dan pakar maskulinitas modern dari University of Akron sekaligus mantan presiden American Psychological Association, Dr. Ronald Levant, ada kombinasi faktor biologis, budaya, dan psikologis yang membuat pria lebih cenderung mengekspresikan amarah lewat fisik ketimbang kata-kata. Mari kita bahas satu per satu.
Testosteron dan Agresi Fisik: Memang Ada Pengaruhnya
Tak bisa dimungkiri, testosterone, hormon yang lebih dominan pada laki-laki—berkaitan dengan agresi. Studi menunjukkan bahwa testosteron memengaruhi area otak yang mengatur dorongan emosional, seperti amigdala dan hipotalamus.
Namun, Levant menekankan bahwa hormon bukanlah satu-satunya faktor.
"Lingkungan dan cara seseorang dibesarkan jauh lebih menentukan bagaimana hormon itu ‘diarahkan’," jelasnya.
Artinya, meskipun pria punya potensi lebih besar untuk agresif secara biologis, cara mereka menyalurkannya tetap bergantung pada pembelajaran sosial.
Laki-Laki Jarang Diajari Mengekspresikan Emosi
Dari kecil, anak laki-laki sering dilarang menangis, mengeluh, atau menunjukkan emosi sedih. Kalimat seperti, ‘Cowok tuh harus kuat!’ atau ‘Jangan cengeng!’ sering mereka dengar. Akibatnya, mereka tumbuh tanpa keterampilan emosional yang memadai.’Levant menyebut kondisi ini sebagai normative male alexithymia, ketidakmampuan atau kesulitan laki-laki dalam mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaannya.
Saat emosi tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tubuhlah yang akhirnya mengambil alih dengan mengepalkan tangan, menggebrak meja, melempar barang, atau bahkan memukul. Bukan karena pria tidak punya perasaan, tapi karena mereka tidak terbiasa menyalurkannya secara verbal.
Budaya Maskulinitas: Tangguh, Dominan, dan Anti Lemah
Dalam banyak budaya, maskulinitas dikaitkan dengan dominasi, kekuatan, dan ketangguhan. Pria yang mampu membela diri secara fisik sering dianggap lebih "jantan", sementara yang memilih diam atau bicara dianggap lemah atau pengecut.
"Pria lebih takut dianggap lemah oleh sesama pria daripada disalahkan karena bertindak agresif," kata Levant.
Maka tak heran jika dalam situasi konflik, laki-laki lebih memilih bertindak secara fisik demi mempertahankan harga diri dan status sosialnya, apalagi di depan publik.
Wanita Lebih Terlatih Mengolah Emosi dengan Kata-Kata
Berbeda dengan laki-laki, anak perempuan sejak kecil lebih didorong untuk mengutarakan perasaan. Mereka diajak bicara soal perasaan, diberi ruang untuk menangis, dan dilatih mengenali emosi dengan kata-kata.
Hasilnya? Ketika dewasa, wanita cenderung menyelesaikan konflik dengan strategi verbal atau emosional, seperti berdiskusi, menangis, atau menyindir. Menurut Levant, ini bukan karena wanita lebih penyabar, tapi karena mereka diberi pelatihan emosional yang lebih baik.
Media dan Budaya Pop: Kekerasan Laki-Laki Dianggap Normal
Coba ingat film laga, game, atau tayangan televisi, pahlawan pria identik dengan kemampuan fisik. Kalau dihina, mereka melawan. Kalau diremehkan, mereka adu pukul. Hal ini secara tidak sadar memperkuat ide bahwa kekerasan adalah cara alami pria menyelesaikan masalah.
"Media memperkuat maskulinitas tradisional yang membenarkan kekerasan sebagai simbol kekuatan," kata Levant.
Maka, ketika pria merasa terpojok atau terancam, mereka cenderung meniru pola yang telah ditanamkan lewat tontonan sejak kecil.
Akibatnya kekerasan jadi pilihan bukan solusi. Masalah muncul ketika ekspresi kemarahan secara fisik menjadi kebiasaan. Pria yang tak mampu menyalurkan emosi dengan sehat rentan:
- Terlibat dalam kekerasan dalam rumah tangga
- Berkonflik di tempat kerja atau ruang publik
- Mengalami gangguan psikologis tersembunyi seperti depresi, kecanduan alkohol, atau isolasi sosial
- Merasa kesulitan membangun relasi sehat karena kurang keterampilan komunikasi
Levant mengingatkan bahwa pola ini bukan hanya merugikan orang lain, tapi juga merusak kesehatan mental pria itu sendiri.
Haruskah Kita Menerima Ini sebagai Kodrat? Tentu Tidak
Menurut Dr. Levant, meski ada pengaruh biologis, pola agresi pria bisa diubah. Kuncinya ada pada pendidikan emosional dan keberanian menggeser definisi maskulinitas ke arah yang lebih sehat.
Beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Ajarkan anak laki-laki mengenali dan menamai emosinya sejak kecil
- Berikan ruang aman untuk pria bicara tanpa takut dicemooh
- Tantang norma “laki-laki nggak boleh lemah” dengan memberi contoh bahwa empati juga bagian dari kekuatan
- Libatkan pria dalam pendidikan pengelolaan konflik dan komunikasi non-kekerasan
- Sediakan dukungan psikologis bagi pria yang kesulitan mengatur emosi