Kenapa Setelah Nonton Drakor, Tipe Ideal Jadi Oppa? Ini Jawaban Psikologinya
- Instagram agensi VAST Entertainment
Setiap kali kita menonton adegan yang manis atau menyentuh, otak kita mengeluarkan dopamin (hormon kebahagiaan). Maka dari itu, menonton drama yang 'ngena' bisa bikin kita ketagihan. Fenomena ini disebut mere-exposure effect atau exposure bias yang mana semakin sering kita terpapar sesuatu (dalam hal ini aktor atau karakter tertentu), semakin kita menyukainya. Maka tak heran jika setelah 16 episode bersama Nam Joo Hyuk, atau aktor lainnya kamu merasa nggak ada cowok lain yang bisa menyaingi dia.
Budaya Pop Korea: Meredefinisi Maskulinitas dan Relasi Romantis
Drama Korea juga menawarkan gambaran baru tentang maskulinitas yakni laki-laki yang sensitif, komunikatif, dan tidak gengsi menunjukkan emosi. Ini kontras dengan stereotip lama yang mengaitkan 'kejantanan' dengan ketegasan dan minimnya ekspresi emosional.
Dalam budaya barat atau bahkan Asia Tenggara, pria yang terlalu terbuka secara emosional kadang dianggap kurang maskulin. Tapi K-drama membalikkan itu. Karakter pria yang menangis, memasak untuk pasangan, atau sabar menunggu cinta berbalas justru dianggap sangat ideal.
Menurut Direktur Center for Healthy Children di Amerika Serikat, Dr. Jennie Noll, perempuan cenderung merespons secara positif pada model hubungan yang emosional dan suportif, dan drama Korea membingkai itu dengan sangat kuat.
Eskapisme: Melarikan Diri ke Dunia yang Lebih Indah
Menonton drama adalah bentuk escapism, yakni melarikan diri dari kenyataan yang melelahkan, walau hanya untuk sementara. Saat kenyataan terasa terlalu rumit—pekerjaan yang menumpuk, komunikasi yang berantakan dengan pasangan, atau hubungan yang tidak sehat—nonton drama bisa jadi pelarian yang nyaman. Dalam drama, semuanya punya alur, konklusi, dan happy ending. Dalam hidup nyata? Belum tentu. Namun ketika realitas terasa mengecewakan, tak heran jika kita mencari pelipur lara dalam bentuk sosok fiksi yang 'ideal'.