Urban Farming vs Pertanian Tradisional, Mana yang Lebih Menguntungkan?
- Freepik
Lifestyle – Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia dan berkurangnya lahan pertanian di pedesaan, praktik urban farming atau pertanian perkotaan semakin populer di berbagai negara. Konsep ini bukan sekadar tren gaya hidup, tetapi juga menjadi solusi nyata untuk menjawab tantangan ketahanan pangan.
Jika dulu pertanian identik dengan sawah luas di desa, kini masyarakat kota dapat menanam sayuran, buah, hingga tanaman herbal di lahan terbatas seperti atap gedung, balkon apartemen, hingga ruang vertikal dalam rumah.
Perbedaan antara urban farming dan pertanian tradisional menjadi topik menarik karena keduanya sama-sama berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan pangan. Namun, cara, skala, dan dampaknya terhadap lingkungan serta ekonomi jelas berbeda.
Melansir laporan dari Food and Agriculture Organization (FAO) serta studi yang dipublikasikan oleh World Economic Forum (WEF), urban farming dipandang sebagai bagian dari pertanian masa depan, terutama di tengah isu perubahan iklim dan urbanisasi yang semakin masif.
1. Lokasi dan Skala Produksi
Pertanian tradisional biasanya dilakukan di pedesaan dengan lahan yang luas, menggunakan tanah sebagai media utama. Sementara itu, urban farming dilakukan di area perkotaan yang terbatas.
Menurut FAO, urban farming banyak memanfaatkan lahan non-konvensional seperti atap, dinding bangunan, atau ruang vertikal. Skala produksi urban farming cenderung lebih kecil, namun dapat memenuhi kebutuhan harian masyarakat kota secara langsung.