Bertahan Demi Gaji, Tapi Tiap Hari Menangis Diam-diam, Artinya Depresi Kerja
- Pixaby
Lifestyle –Gaji masuk setiap tanggal muda, tapi yang datang bersamaan adalah perasaan hampa. Setiap pagi terasa seperti beban, bukan lagi rutinitas. Di transportasi umum atau di balik meja kerja, air mata kadang jatuh diam-diam. Tapi hidup harus lanjut. Ada cicilan, ada keluarga, dan ada rasa malu jika dianggap menyerah.
Banyak orang yang sedang mengalami “depresi kerja” tidak menyadarinya. Mereka mengira ini hanya fase lelah atau burnout biasa. Padahal, diam-diam kondisi ini bisa menggiring pada dampak serius bagi kesehatan jiwa dan fisik. Inilah kenapa penting untuk mengenali tanda-tandanya sejak awal—sebelum terlambat.
Depresi kerja bukan diagnosis resmi dalam DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), namun gejalanya mirip dengan gangguan depresi mayor yang dipicu atau diperparah oleh kondisi pekerjaan. National Institute of Mental Health (NIMH) mencatat bahwa tekanan kronis di tempat kerja adalah salah satu pemicu utama gangguan mood di kalangan dewasa usia produktif.
Profesor psikologi klinis di University of Richmond, Dr. Laura Knouse menjelaskan bahwa depresi kerja ditandai dengan kehilangan motivasi, perasaan tidak berharga, hingga gejala fisik seperti sakit kepala kronis, gangguan tidur, dan kelelahan ekstrem yang tidak hilang meski sudah istirahat. Ini bukan hanya soal tak semangat kerja—ini soal kehilangan arah hidup.
Berikut beberapa gejala yang bisa jadi pertanda kamu sedang mengalami depresi kerja:
- Bangun pagi terasa menyakitkan secara emosional – bukan karena kurang tidur, tapi karena berat menghadapi hari.
- Menangis atau merasa putus asa di tempat kerja atau saat perjalanan ke kantor.
- Kehilangan minat pada pekerjaan yang dulu disukai.
- Merasa tidak berguna atau tidak cukup baik setiap hari.
- Menurunnya konsentrasi dan produktivitas meski sudah berusaha keras.
- Gangguan tidur: sulit tidur, sering terbangun, atau tidur terlalu banyak.
- Masalah fisik berulang: sakit kepala, nyeri otot, gangguan pencernaan tanpa penyebab medis jelas.
- Berpikir untuk resign tiap hari, tapi tak kunjung melakukannya karena takut kehilangan penghasilan.
Mengapa Banyak Orang Tetap Bertahan?
Alasan ekonomi adalah jawaban paling umum. Ketika hidup bergantung pada satu sumber penghasilan, banyak orang merasa tidak punya pilihan lain. Ada rasa takut yang besar: takut tidak bisa membayar sewa, cicilan, atau biaya hidup anak.
Dalam riset oleh Mental Health America pada tahun 2023, ditemukan bahwa 61 persen responden tetap bekerja di tempat yang membuat mereka tertekan secara emosional karena alasan keuangan. Sementara itu, 43 persen mengaku takut stigma jika dianggap lemah atau tidak tahan banting.
Kondisi ini membuat seseorang terus memaksakan diri, bahkan ketika tubuh dan pikiran sudah memberi sinyal untuk berhenti.
Perbedaan Burnout dan Depresi Kerja
Burnout umumnya berakar dari stres pekerjaan yang ekstrem, tapi bisa membaik dengan istirahat atau cuti. Namun, jika stres berlanjut dan mulai menyentuh inti harga diri serta persepsi hidup, maka itu sudah memasuki ranah depresi.
Menurut DSM-5, kriteria utama depresi mencakup:
- Suasana hati murung hampir setiap hari
- Hilangnya minat terhadap aktivitas sehari-hari
- Perubahan berat badan
- Gangguan tidur
- Kelelahan
- Perasaan bersalah berlebihan atau tidak berguna
- Kesulitan konsentrasi
- Pikiran tentang kematian atau bunuh diri
Saatnya Bicara, Jangan Tunggu Terlambat
Mengabaikan tanda-tanda depresi kerja bisa berbahaya. Tidak sedikit kasus bunuh diri yang berakar dari masalah pekerjaan yang tak terselesaikan. Namun sayangnya, banyak yang menganggapnya sebagai kelemahan pribadi, bukan masalah kesehatan mental.
Pakar psikologi dari Florida State University, Dr. Thomas Joiner menyebutkan bahwa salah satu faktor kuat dalam depresi berat adalah perasaan tidak terhubung dan merasa menjadi beban. "Ketika seseorang merasa terjebak dan tidak punya harapan, risiko tindakan fatal meningkat," jelasnya.
Oleh karena itu, penting untuk tidak menormalisasi penderitaan. Jika kamu merasa tenggelam dalam tekanan kerja, berbicaralah—pada sahabat, pasangan, atau lebih baik lagi, profesional kesehatan mental.
Apa yang Bisa Dilakukan?
- Cari Dukungan Emosional: Ceritakan apa yang kamu rasakan pada orang yang kamu percaya. Validasi dari orang lain bisa membuatmu merasa tidak sendirian.
- Pertimbangkan Konseling atau Terapi: Psikolog dapat membantumu memahami akar masalah dan memberi strategi coping yang tepat.
- Review Situasi Kerja: Jika memungkinkan, komunikasikan kondisimu ke atasan atau HR. Beberapa perusahaan punya kebijakan untuk mendukung karyawan yang mengalami gangguan mental.
- Buat Rencana Finansial: Jika kamu merasa bertahan hanya demi gaji, mulai cari siasat jangka panjang. Mungkin bisa mencari freelance, menabung untuk dana darurat, atau pelan-pelan mencari alternatif pekerjaan yang lebih sehat.
- Berani Ambil Keputusan: Jika situasi sudah terlalu parah, keluar bukan berarti kalah. Itu bisa jadi bentuk paling tulus dari mencintai diri sendiri.
Kamu Tidak Sendirian
Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal mengalami gejala depresi kerja, jangan diam. Banyak organisasi dan profesional yang bisa membantu. Meminta pertolongan bukan tanda lemah—itu bukti bahwa kamu ingin hidupmu kembali bermakna. Ingat, kamu layak memiliki pekerjaan yang tidak hanya memberimu penghasilan, tapi juga menjaga kesehatan mental dan harga dirimu.
Jika kamu merasa tidak sanggup menghadapi tekanan kerja sendirian, carilah dukungan. Entah itu sahabat, keluarga, komunitas, atau tenaga profesional—bicaralah. Kamu berhak hidup dengan tenang, tidur dengan damai, dan bangun tanpa rasa takut.