Anxiety Orang Tua Gen Z, Terlalu Takut Salah Didik Anak?

Ilustrasi ibu dengan anxiety
Sumber :
  • Pexels

Lifestyle –Di tengah arus informasi digital yang tidak pernah berhenti, muncul fenomena baru di kalangan orang tua muda: kecemasan berlebihan dalam membesarkan anak. Terutama dirasakan oleh generasi Z—yang kini mulai memasuki fase menjadi orang tua di usia 20 hingga awal 30-an—kecemasan atau anxiety dalam parenting menjadi isu yang semakin nyata dan mengemuka. 

Gen Z Wajib Tahu! Ini 5 Strategi Investasi Ala Stoik yang Bikin Cuan Konsisten

Takut salah memberi makanan pendamping ASI, bingung menentukan metode pengasuhan, hingga rasa bersalah karena memberikan screen time menjadi hal yang umum dirasakan para orang tua muda. Dengan ekspektasi tinggi terhadap peran sebagai ayah atau ibu yang “sempurna”, para orang tua Gen Z justru terjebak dalam tekanan psikologis yang bisa berdampak panjang, baik bagi mereka sendiri maupun perkembangan anak.

Siapa Itu Gen Z dan Bagaimana Mereka Mengasuh?

Generasi Z adalah individu yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Mereka merupakan generasi yang tumbuh bersama perkembangan teknologi, menjadikan mereka sangat akrab dengan dunia digital dan media sosial. Kini, sebagian dari mereka telah menjadi orang tua, membawa pendekatan pengasuhan yang sangat berbeda dibandingkan generasi sebelumnya, seperti milenial atau generasi X.

Kenali Tanda-Tanda Anak Bosan atau Cemas Selama Libur Panjang

Kelebihan Gen Z dalam hal literasi digital membuat mereka memiliki akses yang sangat luas terhadap berbagai informasi parenting. Namun, alih-alih menjadi solusi, informasi yang terlalu melimpah ini sering kali menimbulkan kebingungan, bahkan kecemasan. Gen Z cenderung perfeksionis dan sangat sadar akan pentingnya kesehatan mental, sehingga keinginan untuk “tidak salah langkah” dalam mendidik anak menjadi tekanan tersendiri.

Kecemasan Berlebihan dalam Dunia Parenting

Fenomena parental anxiety atau kecemasan orang tua dalam mendidik anak kini menjadi sorotan. Orang tua Gen Z banyak mengalami rasa takut yang tidak rasional terkait berbagai aspek pengasuhan: takut anak tertinggal tumbuh kembang, takut salah memilih metode belajar, hingga rasa bersalah jika tidak mengikuti standar parenting ideal di media sosial.

‘Rich Dad, Poor Dad’ untuk Gen Z, Simak 5 Prinsip Investasi agar Gaji Tak Cuma Numpang Lewat

Banyak orang tua muda saat ini merasa terbebani oleh ekspektasi sosial dan perbandingan yang tidak sehat. Media sosial seperti Instagram dan TikTok dipenuhi konten parenting yang menyajikan kehidupan keluarga yang tampak sempurna. Hal ini tanpa disadari memicu sindrom mom guilt atau dad guilt, yaitu perasaan bersalah karena merasa tidak cukup baik sebagai orang tua. Kecemasan ini diperparah dengan stigma bahwa orang tua muda masih kurang pengalaman dan rentan salah langkah.

Perspektif Ahli: Apa Penyebab dan Dampaknya?

Menurut psikolog keluarga, kecemasan pada orang tua muda—terutama dari generasi Gen Z—berasal dari dua sumber utama: banjir informasi digital dan tekanan sosial untuk tampil sempurna. Mereka lebih sering membandingkan diri dengan orang lain secara online, sehingga kehilangan rasa percaya terhadap naluri keorangtuaan mereka sendiri.

Lebih lanjut, para ahli juga menyoroti bahwa pola asuh yang terlalu dikendalikan oleh kecemasan dapat berdampak negatif terhadap anak. Anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan tekanan tinggi dari orang tua cenderung mengalami kesulitan dalam mengembangkan kemandirian dan kepercayaan diri. Selain itu, kecemasan yang tidak dikelola juga bisa memengaruhi hubungan emosional antara orang tua dan anak.

Suara dari Lapangan: Kisah Orang Tua Gen Z

Ayu (26), seorang ibu muda dari Jakarta yang aktif di komunitas parenting online, mengungkapkan bahwa ia sempat mengalami panic attack saat mempersiapkan MPASI untuk anak pertamanya. 

“Saya terlalu banyak baca referensi dan lihat konten TikTok. Setiap pilihan rasanya bisa membahayakan anak kalau salah,” ujarnya. 

Ia mengakui bahwa ketakutannya muncul bukan karena kurangnya informasi, tapi justru karena terlalu banyak referensi yang tidak seragam.

Hal serupa juga dialami oleh Dimas (28), ayah muda yang merasa tertekan karena selalu merasa tertinggal dibandingkan orang tua lain. 

“Saya ingin jadi ayah yang aktif dan terlibat, tapi ketika lihat media sosial, rasanya semua orang tua lain lebih sukses. Saya jadi mempertanyakan kemampuan saya sendiri,” katanya.

Data dan Fakta Pendukung

Sebuah survei yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% orang tua muda dari generasi milenial dan Gen Z melaporkan mengalami kecemasan sedang hingga berat terkait peran sebagai orang tua. 

Sementara itu, riset dari Pew Research Center menunjukkan bahwa generasi Gen Z adalah kelompok paling aktif dalam mengakses konten parenting di media sosial, dengan lebih dari 70% responden mengaku mendapatkan informasi pengasuhan dari platform digital.

Temuan ini mengindikasikan bahwa meskipun akses terhadap edukasi parenting semakin luas, tekanan untuk menjadi orang tua yang “benar” juga meningkat secara signifikan.

Upaya Edukasi dan Dukungan untuk Orang Tua Muda

Melihat tingginya kecemasan di kalangan orang tua Gen Z, berbagai komunitas parenting dan lembaga psikologi kini mulai aktif menyelenggarakan edukasi berbasis literasi emosi dan kesehatan mental. Pelatihan dan webinar tentang pola asuh sehat, komunikasi efektif dalam keluarga, hingga teknik mengelola stres menjadi bentuk dukungan yang sangat dibutuhkan.

Selain itu, pendekatan kolaboratif antara pasangan juga menjadi kunci penting dalam mengurangi beban psikologis. Parenting bukan tugas satu pihak, melainkan tanggung jawab bersama. Kehadiran pasangan yang suportif, keluarga besar yang terbuka, serta komunitas yang inklusif dapat menjadi penopang utama dalam perjalanan orang tua muda menjalankan peran mereka.