Baru Ditegur Langsung Ngamuk? Ini Penyebab Anak Sering Marah dan Banting Barang di Rumah
- Freepik
Lifestyle –Pernah mengalami situasi seperti ini? Anda baru saja menegur anak karena tidak membereskan mainan atau terlalu lama menonton gadget, tapi reaksinya justru marah-marah, membanting barang, atau bahkan menjerit-jerit di rumah.
Alih-alih merespons teguran dengan pengertian, anak justru meledak seolah-olah sedang diserang. Fenomena ini tidak jarang membuat orang tua kehabisan akal, lelah secara emosional, atau bahkan merasa bersalah.
Namun sebelum menyimpulkan bahwa anak 'susah diatur' atau 'nakal', penting untuk memahami bahwa perilaku semacam ini sering kali berasal dari ketidakmampuan anak dalam mengelola emosinya sendiri. Artikel ini akan membahas mengapa anak bisa bereaksi keras saat ditegur, serta bagaimana kita sebagai orang tua bisa merespons dengan bijak dan efektif.
Mengapa Anak Meledak Saat Ditegur?
Anak-anak, terutama yang masih berusia di bawah 10 tahun, belum memiliki kontrol emosi yang matang. Otak mereka terutama bagian prefrontal cortex yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan pengendalian diri masih dalam tahap perkembangan.
Itu sebabnya, emosi mereka cenderung meledak-ledak dan belum mampu diregulasi sendiri. Teguran dari orang tua, meski bertujuan baik, bisa dipersepsikan oleh anak sebagai ancaman atau serangan.
Hal ini memicu respons 'fight or flight' atau lawan atau lari, yang membuat mereka marah, berteriak, atau bahkan membanting barang. Bagi anak, respons tersebut bukan tindakan sadar, melainkan dorongan emosional spontan.
Apa Penyebab Anak Langsung Marah Saat Ditegur?
1. Belum Mampu Mengelola Emosi (Emotion Regulation)
Menurut psikolog klinis dan pendiri Aha! Parenting, Dr. Laura Markham, mengungkap anak-anak belum bisa menenangkan diri sendiri. Ketika emosi mereka meluap, mereka perlu bantuan dari orang dewasa yang tenang, kata dia dikutip dari laman Ahaparenting.
Anak-anak tidak memiliki strategi bawaan untuk menenangkan diri saat marah. Mereka butuh bantuan dari orang tua sebagai model pengelolaan emosi. Jika yang mereka terima adalah respon emosi balik, maka konflik akan terus membesar.
2. Anak Merasa Dipermalukan atau Tidak Didengarkan
Teguran yang disampaikan dengan nada tinggi atau dalam suasana penuh emosi bisa membuat anak merasa disalahkan tanpa kesempatan membela diri. Anak jadi merasa malu atau tidak dihargai, dan meluapkannya dalam bentuk kemarahan.
3. Meniru Pola Marah Orang di Sekitarnya
Anak adalah peniru ulung. Jika dalam keseharian ia melihat orang dewasa menyelesaikan masalah dengan membentak, membanting, atau memarahi, ia akan menyerap pola tersebut sebagai cara yang normal untuk mengekspresikan kemarahan.
4. Kebutuhan Emosional Tidak Terpenuhi
Kadang-kadang, anak yang tampaknya rewel justru sedang lapar, lelah, kehausan, atau merasa tidak diperhatikan. Teguran kecil saja bisa jadi pemicu ledakan emosi yang sebenarnya sudah menumpuk.
5. Ada Masalah Lain yang Tidak Terungkap
Misalnya, anak mengalami stres di sekolah, dibully, atau mengalami gangguan sensorik tertentu. Dalam kasus seperti ini, emosi mereka lebih mudah tersulut karena tekanan sudah menumpuk dari faktor luar yang tak terlihat.
Kapan Perilaku Ini Perlu Diwaspadai?
Beberapa tanda bahwa ledakan emosi anak butuh perhatian khusus dari tenaga profesional:
- Anak sering melukai diri sendiri atau orang lain saat marah.
- Perilaku marah terjadi hampir setiap hari dan mengganggu aktivitas di rumah atau sekolah.
- Anak sulit sekali ditenangkan meski sudah lebih dari 30 menit.
- Anak tampak tidak bisa menjelaskan perasaannya bahkan setelah reda.
Jika beberapa tanda di atas muncul, sebaiknya segera konsultasikan ke psikolog anak untuk evaluasi lebih lanjut.
Bagaimana Cara Menghadapinya dengan Bijak?
1. Tenangkan Diri Dulu Sebagai Orang Tua
Anak yang sedang dalam mode emosi tinggi butuh orang dewasa yang stabil. Jangan balas dengan teriakan atau kemarahan karena itu justru akan memperburuk situasi.
2. Validasi Emosi Anak
Sampaikan bahwa perasaannya dimengerti. Misalnya, “Mama tahu kamu kesal karena mainannya diambil, tapi membanting bukan solusi.”
Validasi bukan berarti membenarkan perilakunya, tapi mengakui emosinya agar anak merasa aman untuk tenang.
3. Hindari Teguran yang Menghakimi
Gantilah ucapan “Kamu selalu berantakan!” dengan “Mainannya belum dibereskan ya, yuk kita bereskan bareng.” Teguran dengan nada yang ramah dan fokus pada solusi lebih mudah diterima anak.
4. Beri Batasan yang Konsisten
Setelah emosi reda, beri tahu anak bahwa membanting barang bukanlah perilaku yang bisa diterima. Berikan konsekuensi yang logis, bukan hukuman emosional.
Contoh: “Kalau kamu banting mainan, mainannya akan disimpan sementara.”
5. Ajak Diskusi Setelah Emosi Mereda
Saat anak sudah tenang, ajak ngobrol pelan-pelan. Tanyakan, “Tadi kamu marah banget ya, apa yang kamu rasakan?”
Ini bisa melatih anak mengenali emosinya dan mencari solusi bersama.
- Teknik napas dalam (deep breathing): ajari anak menarik napas pelan dan menghembuskannya 3–5 kali saat mulai marah.
- Gunakan gambar ekspresi wajah: agar anak bisa mengidentifikasi emosi (sedih, marah, kecewa, senang).
- Buat sudut tenang di rumah: tempat nyaman untuk anak menenangkan diri saat emosinya meluap (bukan tempat hukuman).