Kebiasaan Sehari-hari yang Sering Dilakukan Ini, Diam-diam Membentuk Sifat Negatif Anak
- Freepik
Lifestyle –Masa kanak-kanak ibarat semen yang masih basah, apa pun yang jatuh di atasnya akan meninggalkan jejak. Menariknya, yang membentuk kepribadian dan dunia emosional anak bukan hanya peristiwa besar, melainkan justru kebiasaan-kebiasaan kecil yang sering tidak disadari.
Perilaku harian yang tampak normal atau bahkan dimaksudkan sebagai bentuk kasih sayang, bisa tumbuh menjadi pola pikir dan respons emosional yang menghambat perkembangan mental anak di masa depan.
Tanpa sadar, niat baik orang tua justru bisa menumbuhkan sifat-sifat seperti rasa tidak percaya diri, kesulitan mengungkapkan emosi, atau ketergantungan dalam menyelesaikan masalah. Inilah lima kebiasaan umum yang tampaknya sepele, tapi ternyata punya dampak besar terhadap perkembangan emosional anak seperti dilansir dari laman Times of India.
1. Mengatakan “Tidak” Tanpa Penjelasan
Kata tidak sering menjadi jurus utama orang tua saat melarang anak makan permen sebelum makan, main hujan, atau menonton TV larut malam. Tapi jika penolakan itu datang tanpa penjelasan, anak hanya menerima batasan, bukan memahami alasan di baliknya.
Kata tidak yang diucapkan tanpa konteks akan terdengar seperti bentuk kontrol sepihak. Anak tidak belajar soal batasan, tetapi justru merasa bingung. Jika pola ini terus terjadi, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang memberontak secara diam-diam, suka melanggar aturan, atau bahkan takut pada otoritas.
Sebaliknya, penjelasan sederhana seperti, “Jangan makan permen dulu karena nanti perut bisa sakit,” bisa membuat anak merasa dihargai sekaligus belajar memahami alasan di balik aturan. Ini membantu membentuk logika berpikir dan keterampilan mengambil keputusan.
2. Rumah Tanpa Ekspresi Emosi
Banyak rumah tangga yang tampak tenang karena semua orang pandai mengatur emosi, tidak pernah marah di depan umum, dan tidak “membuat keributan”. Tapi suasana yang terlalu tenang ini bisa menyimpan risiko lain.
Anak-anak yang tumbuh di lingkungan tanpa ekspresi emosi sering kali merasa bahwa perasaan itu sesuatu yang harus disembunyikan. Mereka tidak terbiasa melihat orang dewasa menamai perasaan mereka, seperti marah, kecewa, atau sedih.
Akibatnya, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang emosionalnya tertutup, kesulitan mengungkapkan perasaan, dan merasa tidak aman secara emosional. Kalimat sederhana seperti, “Kamu pasti sedih ya tadi dimarahi teman,” bisa menjadi cara efektif untuk menunjukkan bahwa perasaan itu wajar dan pantas untuk dibicarakan.
Validasi semacam ini membantu anak merasa dipahami dan aman secara emosional.
3. TV atau Gadget Sebagai Pengalih Perhatian
Televisi yang menyala terus, tablet di tangan anak saat makan, atau ponsel yang diberikan agar anak diam bukanlah hal asing. Meskipun tampaknya tidak berbahaya, penggunaan layar sebagai alat pengalih perhatian dapat berdampak pada perkembangan sosial dan emosional anak.
Interaksi manusia adalah kunci bagi anak untuk belajar kontak mata, nada suara, empati, dan membaca ekspresi wajah. Jika waktu bersama digantikan oleh layar, anak bisa mengalami kesulitan dalam berfokus, menjadi kurang sabar, dan tidak peka terhadap isyarat sosial.
Masalahnya bukan sekadar durasi screen time, tapi hilangnya waktu berharga untuk berinteraksi, berimajinasi, atau bahkan merasakan bosan yang justru dapat memicu kreativitas. Kehadiran orang tua dalam momen kecil jauh lebih bermakna daripada kehadiran teknologi.
4. Selalu Menyelesaikan Masalah Anak
Saat anak kesulitan mengikat tali sepatu, bertengkar dengan temannya, atau kehilangan barang, reaksi spontan orang tua adalah segera membantu. Tujuannya baik menghindari tangisan atau menghemat waktu.
Namun jika dilakukan terus-menerus, ini akan menanamkan keyakinan bahwa anak tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri. Padahal, dari perjuangan kecil sehari-hari inilah rasa percaya diri tumbuh.
Memberi ruang untuk gagal, mencoba lagi, dan berpikir sendiri adalah cara terbaik untuk mengajarkan ketangguhan. Kalimat seperti, “Mau coba dulu sambil Ibu lihat?” bisa sangat membantu anak membangun kemampuan problem solving sejak dini.
5. Mengandalkan Ancaman untuk Mendisiplinkan
“Kalau nggak beresin mainan, nggak boleh nonton TV!” atau “Kalau nggak makan, nanti Ibu bilang Ayah!”, ancaman seperti ini memang cepat menciptakan kepatuhan, tapi hanya sementara.
Jika anak terbiasa menghadapi ancaman, mereka akan bertindak karena takut, bukan karena mengerti. Dalam jangka panjang, ini bisa menimbulkan kecemasan, rasa rendah diri, atau bahkan perilaku pasif-agresif.
Alih-alih mengancam, orang tua bisa menggunakan konsekuensi alami untuk menjelaskan dampak dari sebuah tindakan.
Contohnya, “Kalau mainannya tidak dimasukkan ke kotak, nanti bisa bikin orang jatuh. Yuk kita bereskan bareng-bareng.” Ini membantu anak mengerti tanggung jawab tanpa menanamkan rasa takut.
Kebiasaan kecil yang tampaknya tidak berbahaya bisa meninggalkan jejak mendalam dalam diri anak. Kabar baiknya, perubahan kecil dalam pola asuh bisa memberikan dampak positif yang besar.
Dengan lebih banyak menjelaskan, menunjukkan emosi secara sehat, membatasi layar, memberi ruang bagi anak untuk berjuang, dan mengganti ancaman dengan konsekuensi alami, orang tua bisa membantu anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri, tangguh, dan sehat secara emosional.