Ekonomi dan Biaya Hidup Jadi Alasan Utama Pilihan Childfree, Benarkah?

Ilustrasi mengatur keuangan rumah tangga
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena childfree mulai mendapat tempat dalam diskursus publik, khususnya di kalangan generasi muda yang tinggal di wilayah perkotaan. Childfree, yang mengacu pada keputusan sadar untuk tidak memiliki anak, kini tidak lagi dianggap tabu oleh sebagian masyarakat. 

Survei Terbaru: Tren Pasangan Muda di Perkotaan Lebih Memilih Childfree

Sebaliknya, gaya hidup ini mulai diterima sebagai bentuk kemandirian dalam menentukan masa depan. Banyak pasangan muda mengaitkan keputusan tersebut dengan tekanan ekonomi yang semakin berat. Namun demikian, muncul pertanyaan apakah alasan ekonomi memang satu-satunya pendorong di balik tren ini, ataukah hanya bagian dari dinamika sosial yang lebih luas.

Data Statistik dan Survei Terbaru

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, sebanyak 8,2% perempuan usia 15–49 tahun yang telah menikah dan tidak menggunakan kontrasepsi tetap memilih untuk tidak memiliki anak. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. 

7 Makanan Terbaik untuk Tingkatkan Daya Ingat Anak

Sementara itu, survei dari platform GoodStats menyebutkan bahwa sekitar 65–68% generasi milenial dan Gen Z di Indonesia merasa terbebani secara ekonomi, sehingga menunda atau menolak memiliki anak. Survei ini memperkuat asumsi bahwa beban biaya hidup menjadi pemicu utama keputusan childfree.

Realitas Ekonomi dan Biaya Hidup Tinggi

Faktor ekonomi memang menjadi sorotan utama dalam perdebatan mengenai tren childfree. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, biaya hidup mengalami peningkatan signifikan dalam satu dekade terakhir. 

Daftar Nama Anak Indonesia Terpopuler di 2025, Bisa Jadi Inspirasi Mama Muda!

Untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga, termasuk perumahan, pendidikan, makanan, dan transportasi, sebuah rumah tangga urban membutuhkan rata-rata pengeluaran lebih dari Rp10–15 juta per bulan. Sementara itu, biaya pendidikan formal dari jenjang taman kanak-kanak hingga universitas swasta dapat mencapai ratusan juta rupiah.

Kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran semakin lebar. Data Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) di DKI Jakarta tahun 2024 hanya sekitar Rp5,1 juta per bulan. Artinya, bagi pasangan muda dengan penghasilan menengah, keputusan untuk memiliki anak harus disertai dengan perencanaan keuangan yang matang. Dalam kondisi seperti ini, banyak pasangan merasa bahwa tidak memiliki anak adalah pilihan realistis demi menjaga kualitas hidup.

Perspektif Psikososial dan Kesehatan Mental

Selain pertimbangan ekonomi, aspek psikososial juga berperan penting dalam keputusan childfree. Generasi muda saat ini lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka melihat tanggung jawab sebagai orang tua bukan sekadar persoalan materi, tetapi juga komitmen emosional jangka panjang. Banyak yang merasa belum siap menghadapi tekanan mental dari pengasuhan, terutama di tengah tuntutan kerja yang tinggi dan ketidakpastian masa depan.

Survei dari RRI pada 2023 menyebutkan bahwa lebih dari 40% responden Gen Z tidak ingin memiliki anak karena khawatir tidak dapat memberikan pengasuhan yang layak. Kekhawatiran ini diperkuat oleh pengalaman masa kecil yang kurang ideal, serta observasi terhadap lingkungan sekitar yang penuh dengan tekanan orang tua. Dengan demikian, keputusan childfree juga mencerminkan keinginan untuk menghindari pola pengasuhan yang tidak sehat.

Budaya Digital dan Perubahan Gaya Hidup

Peran media digital dalam membentuk pandangan generasi muda terhadap kehidupan keluarga tidak bisa diabaikan. Media sosial menjadi ruang diskusi terbuka tentang berbagai pilihan gaya hidup, termasuk childfree. Figur publik dan influencer yang secara terbuka menyatakan pilihan untuk tidak memiliki anak memberikan validasi sosial bagi mereka yang mempertimbangkan keputusan serupa. Konten bertema childfree di platform seperti TikTok dan Instagram semakin populer, dengan berbagai narasi yang menekankan kebebasan, kemandirian, dan kesejahteraan pribadi.

Budaya digital juga memperkuat nilai-nilai individualisme dan self-fulfillment yang kini menjadi prioritas banyak anak muda. Mereka cenderung mendefinisikan kebahagiaan bukan dari peran sebagai orang tua, melainkan dari pencapaian pribadi, kebebasan waktu, serta kesempatan untuk menjelajahi dunia tanpa batasan tanggung jawab keluarga. Dalam konteks ini, childfree dipandang bukan sebagai penghindaran kewajiban, tetapi sebagai bentuk pengaturan hidup yang sadar dan bertanggung jawab.

Kritik dan Perspektif Alternatif

Di sisi lain, ada pendapat yang menyebut bahwa menjadikan ekonomi sebagai satu-satunya alasan untuk childfree merupakan simplifikasi yang berlebihan. Beberapa sosiolog dan psikolog menilai bahwa keputusan ini juga mencerminkan perubahan orientasi nilai dalam masyarakat. Norma-norma tradisional yang menempatkan pernikahan dan anak sebagai tujuan utama hidup perlahan tergantikan oleh konsep self-actualization dan kebebasan individu.

Beberapa pasangan bahkan mengaku bahwa mereka memiliki kecukupan ekonomi, namun tetap memilih untuk tidak memiliki anak karena tidak merasakan urgensi untuk menjalani peran orang tua. Hal ini mempertegas bahwa keputusan childfree bersifat multidimensional—melibatkan aspek emosional, sosial, ideologis, dan eksistensial. Oleh karena itu, respons masyarakat dan kebijakan publik sebaiknya tidak hanya fokus pada bantuan ekonomi, tetapi juga membuka ruang dialog yang inklusif mengenai makna keluarga dan kebahagiaan dalam masyarakat modern.