Generasi Sandwich: Ketika Orang Tua Masih Mengandalkan Orang Tuanya Sendiri, Ini yang Terjadi!

Ilustrasi keluarga 3 generasi
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Di tengah perubahan sosial dan tekanan ekonomi yang semakin kompleks, muncul fenomena yang kini dikenal sebagai generasi sandwich—kelompok orang dewasa yang terjepit dalam dua tanggung jawab besar: merawat anak-anak mereka sekaligus masih bergantung, baik secara emosional, finansial, maupun dalam pengasuhan, kepada orang tua mereka sendiri. 

Kapan Waktu Tepat Memulai MPASI? Masih Banyak Orang Tua yang Salah Kaprah

Istilah ini awalnya populer di dunia barat, namun kini juga merefleksikan realitas banyak keluarga di Indonesia, terutama di kalangan orang tua muda usia 25–40 tahun yang masih menghadapi ketergantungan terhadap figur kakek-nenek dalam rumah tangga mereka.

Fenomena ini berkembang seiring meningkatnya tekanan hidup di kota besar, seperti biaya hidup yang melonjak, harga properti yang tak terjangkau, serta tantangan dalam menyeimbangkan karier dan keluarga. Dalam konteks parenting, situasi ini menciptakan dinamika yang unik, bahkan sering kali menimbulkan ketegangan terselubung dalam proses pola asuh anak.

Apa Itu Generasi Sandwich?

10 Menu MPASI Praktis dan Sehat untuk Ibu Bekerja

Generasi sandwich secara sederhana didefinisikan sebagai individu yang harus menjalankan peran sebagai orang tua bagi anak-anak mereka, sambil tetap merawat atau bergantung pada orang tua kandung mereka sendiri. Dalam masyarakat Indonesia, bentuk paling umum dari situasi ini adalah keluarga muda yang tinggal serumah atau berdekatan dengan kakek-nenek, di mana pengasuhan anak pun kerap dibantu bahkan diambil alih oleh generasi yang lebih tua.

Kondisi ini bukan semata-mata karena ketidakmampuan, melainkan refleksi dari sistem pendukung sosial yang belum memadai. Misalnya, terbatasnya akses layanan penitipan anak, minimnya cuti orang tua di sektor informal, serta tekanan ekonomi yang memaksa kedua orang tua bekerja. Dalam keadaan seperti itu, orang tua muda—meskipun sudah menjadi kepala keluarga—masih sangat bergantung pada dukungan orang tua mereka, terutama dalam aspek pola asuh harian.

Dampak pada Pola Asuh dan Struktur Parenting

Perbedaan Pola Asuh Nenek di Desa dan di Kota, Mana yang Lebih Efektif?

Ketika dua generasi terlibat aktif dalam parenting, sering kali muncul dua pendekatan berbeda dalam mendidik anak. Kakek dan nenek umumnya memiliki pola asuh yang lebih tradisional dan permisif. Mereka cenderung memanjakan cucu dan sulit menegakkan batasan, karena secara psikologis merasa tidak lagi bertanggung jawab penuh sebagai pengasuh utama.

Sementara itu, orang tua muda—yang lebih banyak terpapar dengan konsep pengasuhan modern seperti positive parenting, pembentukan kemandirian, atau stimulasi dini berbasis sains—berusaha menerapkan disiplin, rutinitas, dan konsistensi. Perbedaan ini berpotensi menciptakan inkonsistensi dalam aturan rumah, yang pada akhirnya membingungkan anak.

Bahkan, tidak jarang orang tua merasa kehilangan otonomi dalam menjalankan keputusan pengasuhan. Dalam banyak kasus, keputusan penting terkait makanan, aktivitas, atau waktu istirahat anak bisa diambil oleh kakek-nenek tanpa diskusi. Situasi ini membuat orang tua muda menghadapi dilema: memilih menghargai peran orang tua mereka atau bersikeras menerapkan nilai pengasuhan sendiri.

Beban Psikologis yang Tidak Terlihat

Menjadi bagian dari generasi sandwich bukan hanya tentang logistik dan ekonomi, tetapi juga menyangkut beban emosional yang tidak ringan. Banyak orang tua muda mengalami stres karena harus memenuhi kebutuhan anak, tuntutan pekerjaan, serta ekspektasi orang tua kandung. Kondisi ini menciptakan tekanan psikologis yang terus-menerus, bahkan memicu konflik internal dalam keluarga.

Rasa bersalah karena merasa belum mandiri atau terlalu banyak bergantung pada orang tua menjadi isu yang kerap muncul. Sementara itu, waktu berkualitas bersama anak menjadi semakin terbatas, karena energi dan perhatian tersita untuk menjaga keseimbangan relasi lintas generasi ini.

Perspektif Kakek-Nenek: Antara Rela dan Terbebani

Dari sisi kakek-nenek, peran dalam parenting cucu tentu mengandung nilai emosional tersendiri. Banyak dari mereka merasa bahagia dapat terlibat dalam tumbuh kembang cucu. Namun, tidak sedikit pula yang secara fisik dan mental mulai merasa lelah, apalagi bila tanggung jawab itu bersifat jangka panjang dan intensif.

Mereka yang seharusnya menikmati masa pensiun, justru kembali menjalani hari-hari sibuk mengantar cucu sekolah, menyiapkan makanan, atau mengurus keperluan rumah tangga. Dalam banyak kasus, perasaan terpaksa namun tak tega menolak menjadi tekanan tersendiri bagi generasi lansia ini.

Data dan Fakta Pendukung

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, sekitar 26% keluarga muda di perkotaan masih tinggal bersama orang tua mereka. Studi dari Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia juga menunjukkan bahwa 41% anak usia balita di Indonesia dirawat secara aktif oleh kakek-nenek. Tren ini mengindikasikan bahwa keterlibatan orang tua generasi sebelumnya dalam pengasuhan bukan lagi pengecualian, melainkan realitas baru dalam struktur keluarga Indonesia.

Fenomena ini pun menjadi bahan kajian dalam berbagai riset psikologi keluarga yang menunjukkan adanya korelasi antara konflik nilai lintas generasi dengan ketidakstabilan emosi pada anak, terutama jika orang tua tidak memiliki kendali penuh atas keputusan pengasuhan.

Upaya Solusi dan Rekomendasi

Para pakar menyarankan pentingnya pembagian peran yang jelas antara orang tua muda dan kakek-nenek dalam sistem pengasuhan bersama. Komunikasi terbuka, saling menghargai perbedaan pendekatan, serta kesepakatan tentang nilai-nilai inti dalam pola asuh menjadi kunci agar dinamika ini tidak menjadi sumber konflik. Selain itu, dukungan dari pemerintah melalui program subsidi penitipan anak, cuti orang tua yang memadai, dan edukasi parenting lintas generasi sangat diperlukan untuk mengurangi beban generasi sandwich.