Kenapa Kita Jadi Mudah Tersinggung Saat Uang Menipis?

Ilustrasi Uang Menipis, Emosi Meningkat
Sumber :
  • Pixaby

Lifestyle –Pernah merasa hari-hari terasa lebih gelap saat saldo rekening mendekati nol? Tiba-tiba, hal kecil bisa memicu ledakan emosi. Perkataan orang terasa menyakitkan, padahal maksudnya biasa saja. Bahkan senyum pasangan atau candaan teman bisa terasa mengganggu, bukan menghibur.

Gaji Kecil? Ini Cara Nabung Dana Darurat Rp10 Juta dalam 6 Bulan

 

Fenomena ini bukan sekadar "baper" atau kelemahan mental. Ada proses biologis dan psikologis yang bekerja dalam diam saat kita berada dalam tekanan finansial. Menurut para psikolog, tekanan ekonomi bisa memperkuat reaksi emosional dan memperlemah kemampuan otak untuk berpikir jernih. Jadi, kenapa sebenarnya kita jadi lebih mudah tersinggung saat uang menipis?

Bingung Dana Darurat atau Investasi Dulu? Jawaban Nomor 3 Bisa Menyelamatkan Keuangan Anda!

 

Otak dan Uang: Ketika Rasa Aman Terganggu

Pada dasarnya, otak manusia dirancang untuk bertahan hidup. Salah satu komponen utama yang berperan dalam proses ini adalah amigdala, pusat emosi yang terletak di bagian dalam otak. Amigdala bertindak seperti sistem alarm yang mendeteksi bahaya dan mengaktifkan respons ‘lawan atau lari’ (fight or flight). Ketika uang mulai menipis, sinyal yang diterima otak menyerupai ancaman terhadap kelangsungan hidup.

7 Kesalahan Menabung Dana Darurat yang Sering Dianggap Sepele, Nomor 3 Efeknya Bisa Fatal!

 

Menurut neuroscientist dan profesor psikiatri di Brown University, Dr. Judson Brewer otak tidak membedakan antara ancaman fisik dan ancaman finansial—keduanya memicu reaksi stres yang sama. Ini artinya, saat kita khawatir tidak bisa membayar tagihan atau memenuhi kebutuhan dasar, amigdala akan mengirim sinyal bahaya seolah kita sedang menghadapi pemangsa di hutan.

 

Lebih lanjut, rasa aman finansial bukan sekadar tentang punya uang untuk membeli barang, tapi tentang keberlanjutan, kontrol hidup, dan harga diri. Ketika uang berkurang drastis, otak merasa kehilangan pijakan. Inilah kenapa banyak orang menjadi lebih sensitif dan impulsif saat kondisi keuangan goyah—karena otak sedang dalam mode bertahan hidup.

 

Peran Hormon Kortisol: Stres Finansial Itu Nyata

Stres bukan hanya perasaan; ia juga berdampak secara biologis. Saat kita mengalami stres, tubuh memproduksi hormon kortisol yang berasal dari kelenjar adrenal. Kortisol membantu tubuh bersiaga—jantung berdetak lebih cepat, napas menjadi pendek, otot menegang. Respons ini berguna jika kita perlu berlari dari bahaya. Tapi apa jadinya jika respons ini terjadi setiap hari, hanya karena kita memikirkan tagihan?

 

Sebuah studi dari American Psychological Association menyebutkan bahwa lebih dari 70% orang dewasa di Amerika Serikat mengaku uang adalah penyebab utama stres mereka. Dalam jangka panjang, kadar kortisol yang tinggi bisa merusak area otak seperti hipokampus (yang berperan dalam mengatur emosi dan memori), serta menurunkan kekebalan tubuh.

 

Psikolog dari University of California, San Francisco, Dr. Elissa Epel  menjelaskan bahwa stres finansial yang kronis mempercepat penuaan sel dan berhubungan dengan tingkat depresi serta gangguan kecemasan yang lebih tinggi. Ketika tubuh terus-menerus dibanjiri kortisol, kita jadi cepat marah, kurang sabar, dan sulit merasa tenang. Bahkan, hal kecil seperti suara keras atau komentar ringan bisa terasa seperti serangan pribadi.

 

Mental Load: Ketika Otak Sibuk Menghitung Tagihan

Tekanan finansial juga memengaruhi kapasitas otak untuk berpikir jernih. Ini disebut dengan istilah “mental load”—beban kognitif yang terus bekerja di balik layar. Saat kita sibuk menghitung sisa saldo, merancang strategi bertahan hidup, atau mencari pinjaman darurat, otak kita kehabisan energi untuk hal-hal lain, termasuk mengelola emosi.

 

Profesor Harvard dan penulis buku Scarcity: Why Having Too Little Means So Much, Dr. Sendhil Mullainathan menjelaskan bahwa kondisi kekurangan (uang, waktu, atau perhatian) membuat otak masuk ke dalam mode tunnel vision. Kita terlalu fokus pada kekurangan tersebut sehingga mengabaikan hal-hal yang lebih luas. Akibatnya, kita menjadi tidak fleksibel secara emosional—kaku, tegang, dan mudah tersinggung.

 

 “Kekurangan bukan hanya membuat kita tidak mampu membeli sesuatu, tapi juga menggerus kapasitas mental kita untuk menjadi orang yang tenang dan rasional,” katanya.

 

Ini menjelaskan kenapa orang yang sedang mengalami tekanan ekonomi lebih mudah mengalami konflik dalam hubungan, lebih sulit membuat keputusan yang bijak, dan lebih cepat merasa lelah secara emosional.

 

Pengaruh pada Hubungan Sosial: Ketika Emosi Jadi Senjata Tak Sengaja

Dalam keadaan normal, manusia cenderung lebih mampu menahan diri, memilih kata-kata, dan merespons secara empatik. Tapi ketika tekanan finansial datang, kemampuan itu menipis. Kita bisa lebih cepat terpancing, bahkan oleh orang-orang terdekat yang seharusnya menjadi tempat bersandar.

 

Psikolog dari Harvard Medical School, Dr. Susan David menjelaskan bahwa emosi yang tidak dikelola akibat tekanan hidup seperti keuangan bisa dengan mudah bocor ke hubungan interpersonal—pasangan, keluarga, atau teman. Orang yang sedang mengalami stres finansial akan lebih cepat tersinggung, lebih mudah mengkritik, atau malah menarik diri karena malu atau takut dianggap gagal.

 

Hubungan pun jadi tegang. Ketika dua orang sama-sama berada dalam tekanan ekonomi, konflik kecil bisa berubah jadi pertengkaran besar. Ironisnya, saat kita paling butuh dukungan emosional, justru kita mendorong orang menjauh karena perilaku kita yang dipengaruhi stres dan kelelahan emosional.

 

Malu dan Rasa Gagal: Luka Emosional yang Tak Terlihat

Masalah keuangan sering kali dikaitkan dengan rasa harga diri. Dalam masyarakat modern, pencapaian materi sering dipakai sebagai ukuran sukses. Ketika uang menipis, bukan hanya angka di rekening yang berkurang—tetapi juga rasa percaya diri.

 

Peneliti emosi dan kerentanan dari University of Houston, Dr. Brené Brown mengatakan bahwa rasa malu adalah emosi yang sangat merusak, karena membuat seseorang merasa ‘saya adalah kegagalan’, bukan hanya ‘saya gagal’.” Dan rasa malu inilah yang sering hadir dalam kondisi finansial sulit—kita merasa tidak cukup pintar, tidak cukup sukses, tidak cukup berguna.

 

Perasaan ini bisa memicu reaksi defensif: menjadi mudah marah, menutup diri, atau merasa tersinggung bahkan terhadap saran yang sebenarnya membantu. Ketika seseorang merasa gagal, ia lebih sensitif terhadap kritik dan lebih sulit menerima bantuan—karena bantuan itu sendiri terasa seperti pengingat bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

 

Kenapa Kita Perlu Memahami dan Tidak Menyalahkan Diri Sendiri

Mudah merasa marah atau tersinggung saat uang menipis bukanlah tanda bahwa seseorang terlalu lemah secara mental atau tidak bersyukur. Justru, ini adalah respons yang sangat manusiawi dan sangat masuk akal jika dilihat dari sudut pandang psikologi dan neurologi.

 

Pemahaman akan reaksi ini bisa membantu seseorang untuk lebih welas asih terhadap dirinya sendiri. Psikolog klinis Dr. Kristin Neff, pakar self-compassion, menjelaskan bahwa menerima kondisi emosional sebagai bagian dari pengalaman manusiawi membuat kita lebih mampu bertahan dan bangkit.

 

“Self-compassion bukan berarti kita pasrah, tapi memberi ruang bagi diri untuk merasa dan memulihkan,” kata dia.

 

Mengetahui bahwa rasa frustrasi, marah, dan mudah tersinggung dalam kondisi keuangan sulit adalah bagian dari reaksi otak yang alami, bisa meringankan beban mental. Kita jadi bisa berkata pada diri sendiri, 'Aku tidak gila. Aku sedang berjuang'.

 

Langkah Awal: Merawat Emosi di Tengah Tekanan Finansial

Memperbaiki kondisi finansial memang penting, tapi memperbaiki kondisi emosional sama pentingnya—agar kita bisa membuat keputusan dengan kepala dingin dan menjaga hubungan dengan orang-orang terdekat.

 

Beberapa langkah yang direkomendasikan oleh psikolog antara lain:

 

  • Latihan pernapasan atau meditasi singkat: Ini membantu menenangkan amigdala dan menurunkan kortisol.
  • Curhat dengan orang terpercaya: Jangan simpan semuanya sendiri. Membicarakan rasa takut atau malu bisa mengurangi tekanan emosional.
  • Tulis jurnal rasa syukur dan tantangan: Menulis membantu menyusun pikiran dan mengurai emosi yang kusut.
  • Batasi paparan media sosial: Melihat pencapaian orang lain bisa memperparah perasaan gagal.
  • Cari bantuan profesional jika tekanan emosional terasa membebani kehidupan sehari-hari. Konseling psikologis atau konselor keuangan bisa jadi langkah awal yang sangat berharga.