Dulu Bilang Nggak Mau, Sekarang Minta? Kenapa Kita Sering Menjilat Ludah Sendiri

Ilustrasi jilat ludah sendiri
Sumber :
  • iStock

Lifestyle –Pernah kenal seseorang yang dulu bilang, “Gue mah anti media sosial,” tapi sekarang rajin update story dan bikin konten tiap hari? Atau teman yang bersumpah nggak bakal balikan sama mantan, tapi ujung-ujungnya jadian lagi? Fenomena ini sudah sangat umum dan punya satu istilah khas dalam budaya kita menjilat ludah sendiri.

Dampak Buruk Kebiasaan Bandingkan Anak dengan Orang Lain

Ungkapan ini memang terdengar kasar, bahkan sering dilontarkan untuk menyindir atau merendahkan. Tapi benarkah setiap orang yang menarik kembali ucapannya pantas disebut tidak konsisten atau lemah pendirian? Menurut psikologi, jawabannya tidak sesederhana itu.

Pertama mari pahami dahulu ap aitu menjilat ludah sendiri. Secara harfiah, tentu saja menjilat ludah sendiri adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Secara idiomatik, istilah ini berarti menarik kembali pernyataan yang dulu disampaikan dengan yakin, biasanya dalam konteks menyangkal, menolak, atau mengejek sesuatu yang kemudian dilakukan sendiri.

Waktu Kok Berat Sebelah? Ini Alasan Kenapa Minggu ke Senin Terasa Lebih Cepat dari Senin ke Minggu

Secara budaya, menjilat ludah sendiri sering diartikan sebagai tanda tidak punya prinsip, tidak konsisten, atau munafik. Namun dalam kenyataannya, manusia adalah makhluk yang kompleks. Kadang ucapan dibuat dalam kondisi emosi tertentu, atau ketika belum cukup informasi yang tersedia. Maka, perubahan pikiran bisa jadi bukan kelemahan, melainkan bentuk adaptasi terhadap realitas.

Kenapa Kita Sering Melakukannya?

Menurut psikolog kognitif dan penulis buku Be Who You Want: Unlocking the Science of Personality Change, Dr. Christian Jarrett, perilaku seperti ini sebenarnya wajar terjadi dan memiliki dasar psikologis yang kuat. Ada beberapa alasan mengapa seseorang bisa berubah pikiran atau menarik ucapannya sendiri:

1. Adanya Informasi dan Kondisi Baru

Dulu Nggak Bisa Diam di Rumah, Sekarang Weekend Pilih Tidur Aja, Ini Alasannya Secara Psikologis

Kita semua hidup dalam dunia yang terus berubah. Apa yang kita yakini benar hari ini bisa terlihat keliru ketika informasi baru muncul. Misalnya, dulu seseorang menolak bekerja di kantor karena ingin jadi freelancer, tapi setelah menjalani hidup serba tidak pasti, ia menyadari bahwa stabilitas adalah kebutuhan yang nyata.

“Mengubah pikiran atau keputusan berdasarkan data baru justru tanda fleksibilitas kognitif,” ujar Dr. Jarrett.

Artinya, kemampuan seseorang untuk memperbarui cara berpikirnya merupakan ciri orang yang terbuka dan siap berkembang.

2. Keputusan Emosional yang Tidak Rasional

Kadang-kadang, keputusan yang kita buat lahir dari emosi sesaat seperti  marah, kecewa, atau bahkan euforia. Misalnya, bilang “nggak mau lihat muka dia lagi” saat putus cinta, tapi beberapa minggu kemudian malah rindu dan kembali bersama.

Emosi bersifat fluktuatif. Ketika sudah mereda, logika kembali mengambil alih dan kita bisa menilai ulang keputusan sebelumnya. Ini bukan bentuk kelemahan, tapi bagian dari proses menyesuaikan diri secara emosional.

3. Tekanan Sosial dan Keinginan Diterima

Tak jarang, orang bersikap keras kepala di depan publik untuk menjaga gengsi. Tapi dalam hati, ia mempertimbangkan kembali pendiriannya. Saat tekanan sosial berkurang, ia pun melakukan hal yang sebelumnya ditolak.

Menurut Dr. Jarrett, ini disebut sebagai social conformity bias, kecenderungan untuk menyesuaikan diri demi diterima oleh kelompok sosial atau lingkungan sekitar. 

Menjilat Ludah Sendiri: Lemah atau Justru Dewasa?

Masyarakat cenderung menilai perubahan sikap secara negatif. Namun dari sudut pandang psikologi, mengubah pandangan bisa menjadi indikator penting dari kedewasaan emosional.

Jarrett menekankan bahwa mengakui perubahan dan mengambil tanggung jawab atas ucapan masa lalu merupakan ciri orang yang memiliki growth mindset, pikiran terbuka yang siap belajar dari pengalaman.

“Yang penting bukan soal berubah pendapat, tapi apakah perubahan itu punya dasar yang sehat,” katanya.

Jadi, saat seseorang berani mengakui bahwa ia keliru dan mengambil langkah baru berdasarkan refleksi, itu bisa menjadi tanda kematangan, bukan kemunafikan. 

Contoh Sehari-hari: Kamu Pasti Pernah

A. Karier

Seseorang pernah dengan lantang berkata, “Gue nggak cocok kerja kantoran,” lalu beberapa tahun kemudian menerima tawaran kerja 9 to 5. Bisa jadi karena kebutuhan ekonomi, atau karena persepsi soal “kerja kantoran” berubah seiring waktu.

B. Hubungan

Berapa banyak yang bilang “nggak akan balikan sama mantan,” tapi kemudian kembali menjalin hubungan setelah introspeksi? Perubahan ini sangat umum dan sering disebabkan oleh kedewasaan emosional, bukan sekadar kelemahan.

C. Gaya Hidup

Dulu anti skincare, sekarang koleksi serum. Dulu bilang “nggak ngerti orang yang ngopi tiap hari,” sekarang langganan cold brew. Pandangan tentang gaya hidup sangat mudah berubah, seiring dengan bertambahnya wawasan dan paparan informasi baru.

Kapan Menjilat Ludah Sendiri Jadi Masalah?

Meskipun berubah pikiran adalah hal normal, terlalu sering melakukannya tanpa refleksi bisa menjadi bumerang. Seseorang yang selalu menarik ucapannya demi kenyamanan jangka pendek bisa kehilangan kredibilitas dan integritas pribadi.

Menurut Jarrett, kuncinya ada pada niat dan konsistensi nilai. Apakah perubahan sikap itu didasari pemahaman dan introspeksi, atau sekadar ikut-ikutan dan takut tidak disukai?

“Fleksibel itu sehat, tapi harus diimbangi dengan integritas dan kejelasan nilai pribadi,” ujarnya.

Cara Sehat Mengubah Pendapat Tanpa Kehilangan Kredibilitas

1. Akui Secara Terbuka

Jangan bersembunyi di balik alasan. Katakan bahwa kamu berubah karena informasi baru, pengalaman pribadi, atau pertimbangan yang lebih matang.

2. Berani Minta Maaf atau Klarifikasi

Jika perubahan sikap kamu berdampak pada orang lain, jangan gengsi minta maaf atau memberikan penjelasan.

3. Evaluasi Nilai Inti

Cek kembali apa yang menjadi prinsip utama dalam hidupmu, dan mana yang memang bisa berubah mengikuti konteks.

4. Berubah Karena Bertumbuh, Bukan Karena Tekanan

Pastikan keputusanmu adalah hasil refleksi, bukan semata-mata dorongan ingin terlihat baik di mata orang lain.