Benarkah Drama Korea Membentuk Standar Romansa Tak Realistis untuk Perempuan? Ini Kata Psikolog
- Instagram resmi Son Suk Ku
Lifestyle – Pernah dengar celetukan ini? "Coba cowokku kayak si oppa di drama Korea!" atau malah kamu sendiri pernah mengucapkannya? Tenang, kamu tidak sendirian. Drama Korea alias drakor memang punya kekuatan magis untuk membuat penontonnya ikut tenggelam dalam kisah cinta yang intens, penuh adegan manis, dan tentu saja visual yang menawan.
Pertanyaannya, apakah semua ini hanya hiburan semata? Atau secara perlahan—tanpa sadar, drakor malah membentuk ekspektasi cinta yang jauh dari kenyataan? Apakah perempuan jadi punya standar romansa yang terlalu tinggi karena terlalu sering dibuai skenario dan soundtrack dramatis? Yuk, kita kupas dari berbagai sisi, lengkap dengan sudut pandang pakar psikologi dan media dunia.
Pertama mari kita pahami alasan mengapa drakor begitu adiktif bagi penonton. Salah satu alasan utama drakor begitu adiktif adalah kekuatannya dalam menggugah emosi. Alur cerita yang terstruktur dengan baik, pengembangan karakter yang mendalam, dan konflik emosional yang relatable membuat penonton merasa dekat dengan cerita.
Direktur Media Psychology Research Center di AS, Dr. Pamela Rutledge mengatakan, bahwa cerita yang menggugah emosi memberi ilusi keterikatan yang nyata, meski hanya lewat layar. Ditambah lagi, karakter pria di drakor sering digambarkan sebagai sosok yang perhatian, sensitif, mapan, dan... tahu kapan harus memeluk perempuan yang sedang menangis. Siapa yang tidak luluh?
Lantas kenapa kita mudah terbawa emosi saat nonton drakor? Dr. Jennifer Barnes dari University of Oklahoma menyebut fenomena ini sebagai parasocial relationship, ikatan satu arah antara penonton dan tokoh fiksi yang terasa nyata. Meski tahu bahwa si pemeran hanya karakter di layar, otak tetap memproduksi hormon seperti dopamin dan oksitosin ketika kita menonton adegan romantis atau emosional.
“Perasaan ini mirip dengan yang muncul saat kita menjalin relasi nyata,” ujar Dr. Barnes. Jadi, tidak heran jika setelah menonton drakor, kita merasa ‘kenal dekat’ atau bahkan jatuh hati pada tokohnya.
Sisi Positif: Ketika Drakor Meningkatkan Standar Cinta Sehat
Tidak semuanya buruk, kok. Drama Korea juga punya dampak positif terhadap cara pandang perempuan terhadap relasi.
Perempuan Jadi Tahu Mereka Layak Dihargai
Banyak drakor menampilkan hubungan yang didasari rasa hormat, komunikasi terbuka, dan empati. Ini bisa menjadi pengingat bahwa cinta tidak boleh bersifat toksik atau sepihak.Menjadi Inspirasi Akan Komunikasi yang Mendalam
Dalam banyak drama, tokohnya tidak hanya saling mencintai secara fisik, tapi juga mendengarkan, memvalidasi perasaan, dan saling mendukung saat terpuruk. Contohnya seperti pasangan di "It’s Okay to Not Be Okay" yang bersama-sama menyembuhkan luka batin mereka.Pelarian Emosional yang Sehat
Menurut Dr. Jonathan Haidt, psikolog dari NYU, cerita fiktif bisa menjadi sarana pemulihan emosional. Menonton kisah cinta yang manis setelah hari yang berat bisa menjadi bentuk self-care.
Sisi Negatif: Ekspektasi yang Tidak Realistis
Namun sayangnya, jika tidak disadari, terlalu larut dalam dunia drakor juga bisa menciptakan ekspektasi cinta yang idealistis dan bahkan tidak realistis. Beberapa diantaranya yang perlu mendapat perhatian kita adalah sebagai berikut:
Cinta Tak Sempurna Itu Wajar
Pria di dunia nyata tidak memiliki penulis skrip yang membuat mereka selalu tahu waktu yang tepat untuk berkata romantis. Mereka juga tidak punya OST yang mendramatisasi pelukan. Drakor adalah cerita yang disusun untuk memikat, bukan mencerminkan kehidupan harian.Perbandingan yang Tidak Sehat
Studi dari University of Michigan menunjukkan bahwa konsumsi berlebih media romantis bisa membuat seseorang merasa kurang puas dengan hubungan nyata mereka. Kenapa? karena pasangan kita, yang mungkin sedang sibuk kerja atau lupa tanggal jadian jadi terasa 'kurang' dibandingkan oppa fiksi.Citra Gender yang Kadang Klise
Dalam beberapa drakor, perempuan masih sering digambarkan sebagai pihak pasif yang butuh diselamatkan. Ini bisa memperkuat pola pikir relasi yang tidak setara.
Bagaimana Menikmati Drakor Tanpa Kehilangan Realitas?
Supaya tetap waras di tengah banjir konten cinta fiktif, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan:
Ingat bahwa ini fiksi, bukan referensi wajib hidup.
Ambil inspirasinya, bukan ekspektasinya.
Diskusikan dengan pasangan tentang apa yang kamu sukai dari cerita tersebut, siapa tahu bisa jadi quality time baru.
Waspadai tanda-tanda kalau kamu mulai merasa kecewa terus-menerus dengan hubungan nyata karena terlalu membandingkan.
Prof. Jeffrey Hall dari University of Kansas menyimpulkan dengan bijak, bahwa media romantis bisa menjadi cermin dan cetak biru relasi—tergantung bagaimana kita memaknainya. Artinya, kita tetap punya kendali. Menonton drakor bisa memperkaya pandangan kita tentang relasi, selama kita tidak menjadikannya standar satu-satunya tentang bagaimana cinta seharusnya berjalan.
Mencintai drakor bukan dosa. Mengagumi sosok pria fiksi bukan kesalahan. Tapi membiarkan fiksi itu merusak rasa syukur kita terhadap cinta yang nyata, itulah yang harus diwaspadai.
Cinta sejati mungkin tidak sekilat pelukan di tengah salju, tapi ia hadir dalam bentuk membetulkan kabel charger yang rusak, mengingatkan makan siang, atau menemani ke dokter gigi.
Jadi, silakan nikmati oppa-oppa drama Korea itu. Tapi ingat juga, cinta yang paling indah tak selalu datang dengan skrip dan soundtrack. Kadang, ia hadir dalam diam tulus dan nyata.