Kenapa Kita Merasa Orang Baik Sering Meninggal Lebih Dulu? Ini Jawaban Sainsnya

Ilustrasi kepergian seseorang selamanya
Sumber :
  • Pixaby

Lifestyle –Pernahkah kamu mendengar kabar seseorang yang dikenal sangat baik, penuh kasih, ringan tangan, lalu tiba-tiba meninggal dunia? Reaksi kita sering kali seragam, “Kok bisa ya? Padahal dia orang baik. Kenapa bukan yang jahat aja?” Atau komentar seperti, “Orang baik memang nggak pernah lama di dunia.”

Apakah Orang Bisa Merasakan Tanda Kematian Sebelum Itu Terjadi? Ini Penjelasan dari Ilmu, Intuisi, dan Spiritualitas

Fenomena ini terasa begitu nyata, bahkan sering kali meninggalkan luka yang lebih dalam. Tapi pertanyaannya, apakah orang baik benar-benar meninggal lebih dulu? Atau ini cuma perasaan kita saja? Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri penjelasan dari berbagai sisi—dari sains kognitif, psikologi sosial, hingga budaya. Karena ternyata, perasaan ini bukan tanpa alasan, walau bukan sepenuhnya fakta.

Secara ilmiah, tidak ada bukti kuat bahwa orang baik meninggal lebih cepat dibandingkan orang lain. Studi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) misalnya, menunjukkan bahwa harapan hidup lebih dipengaruhi oleh gaya hidup, akses kesehatan, kondisi genetik, dan lingkungan sosial. Kebaikan hati tidak secara langsung menjadi faktor penentu panjang atau pendeknya usia seseorang.

Apa yang Sebenarnya Terjadi Saat Kita Meninggal?

Penelitian-penelitian longitudinal dari Harvard Medical School dan British Medical Journal juga tidak menyebutkan karakter sebagai penentu umur panjang. Lalu kenapa kita tetap merasa orang baik sering meninggal lebih cepat? 

Jika dilihat dari sisi psikologis, ternyata ada sejumlah alasan mengapa ada anggapan demikian. Hal ini berkaitan lantaran otak kita memilih ingatan yang paling menggugah. Berikut ini penjelasan lebih lanjutnya.

Bias Afeksi (Affective Bias)

Pria Lebih Cepat Menikah Lagi Setelah Istri Meninggal? Ini Sebabnya

Dr. Daniel Kahneman, peraih Nobel di bidang ekonomi perilaku, menjelaskan bahwa emosi sangat memengaruhi cara otak menyimpan dan mengingat informasi. Ketika seseorang yang baik, hangat, dan berkesan bagi banyak orang meninggal, rasa kehilangan itu menjadi sangat kuat. Otak mencatatnya lebih dalam dibanding orang yang tidak terlalu berpengaruh secara emosional. Inilah yang disebut affective bias-kita menganggap kematian orang baik lebih menyedihkan, sehingga terasa lebih mencolok.

Salience Bias: Yang Menonjol Lebih Mudah Diingat

Orang yang baik biasanya lebih dikenang karena kebaikannya. Ketika mereka meninggal, berita duka itu menyebar luas, banyak yang merasa kehilangan. Bandingkan dengan kematian orang yang tidak terlalu dikenal atau bahkan punya reputasi buruk—perasaannya pasti berbeda. Inilah yang disebut salience bias, yaitu kecenderungan kita untuk lebih mengingat sesuatu yang menonjol dan emosional.

Confirmation Bias: Kita Mengumpulkan Bukti untuk Mendukung Keyakinan

Setelah beberapa kali merasa orang baik meninggal lebih dulu, otak kita mulai membentuk pola seperti “orang baik memang cepat pergi.” Maka setiap kali itu terjadi lagi, kita otomatis mengaitkannya ke keyakinan itu. Ini disebut confirmation bias, atau kecenderungan kita mencari bukti yang memperkuat keyakinan yang sudah ada.

Perspektif Budaya: “Mereka Sudah Selesai dengan Tugasnya”

Narasi Kolektif dari Berbagai Budaya

Dibudaya Jawa, kita sering dengar kalimat “Orang baik cepat dipanggil karena tugasnya di dunia sudah selesai.” Dibudaya Barat pun mirip. Kalimat seperti “Heaven needs another angel” jadi ungkapan duka yang sering dipakai.

Di India, ajaran Hindu menyebutkan bahwa jiwa yang paling murni akan kembali lebih cepat ke sang pencipta. Dalam kepercayaan Buddha, kematian orang baik dianggap sebagai bentuk reinkarnasi yang siap naik tingkat.

Fungsi Sosial: Membantu Kita Menerima Kehilangan

Kepercayaan ini ternyata punya fungsi sosial penting. Ketika ada orang baik meninggal, menyalahkan takdir atau hidup bisa membuat duka makin berat. Maka narasi seperti 'dia sudah selesai tugasnya' membantu kita berdamai dan menemukan makna dari kehilangan.

Sosiolog dari Harvard, Prof. Michael Puett, menyebut ini sebagai narrative sense-making, yaitu cara manusia menciptakan makna atas kejadian yang tidak bisa dikontrol.

Sementara itu, ahli memori terkemuka dari University of California, Dr. Elizabeth Loftus menyebutkan bahwa ingatan manusia sangat dipengaruhi emosi dan konteks sosial. Saat seseorang yang baik meninggal, otak membingkai ingatan itu secara khusus, lebih dramatis, lebih bermakna. Di sisi lain, dokter sekaligus pengajar di Harvard Medical School, Dr. Atul Gawande menulis bahwa kematian adalah cermin dari bagaimana kita menghargai hidup. Menurutnya, kita merasa orang baik pergi lebih cepat bukan karena usia mereka, tapi karena kita tidak pernah siap kehilangan mereka.

Maka dari itu bisa disimpulkan bahwa mungkin kita merasa orang baik cepat pergi bukan karena hidup mereka singkat, tapi karena kita terlalu lambat menghargai mereka. Kita baru menyadari pentingnya seseorang ketika mereka sudah tidak ada. Kebaikan mereka jadi lebih terasa justru setelah kehilangan itu datang.

Meskipun kita tidak bisa mengatur waktu kematian, kita bisa memilih bagaimana hidup. Mungkin narasi 'orang baik pergi duluan' seharusnya bukan sekadar kesedihan, tapi juga pengingat untuk

  • Tidak menunda berbuat baik

  • Tidak pelit dalam menunjukkan kasih

  • Tidak malas menghargai orang baik di sekitar kita

Karena saat mereka pergi, hanya kebaikan itulah yang akan terus diingat.

Jika Anda merasa artikel ini menyentuh dan membuka perspektif baru, bagikan kepada orang terdekat. Mungkin mereka juga sedang memikirkan hal yang sama.