Mengapa Orang Sering 'Berbicara Aneh' Sebelum Meninggal? Ini Penjelasan Ilmiahnya
- Freepik
Lifestyle –Pernahkah Anda mendengar seseorang yang sedang sakit parah tiba-tiba mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal? Mereka mungkin menyebut nama orang yang sudah lama meninggal, bercerita tentang 'dijemput' seseorang, atau berbicara seolah sedang berkomunikasi dengan sosok tak kasat mata. Bagi sebagian orang, hal ini dianggap sebagai pertanda spiritual atau mistis bahwa ajal sudah dekat.
Keluarga biasanya merespons dengan rasa bingung, takut, atau sedih. Apa maksud dari kata-kata itu? Mengapa orang yang sebelumnya tak bisa bicara tiba-tiba sadar dan mengucapkan sesuatu dengan penuh makna? Atau justru, kenapa kalimat terakhir terdengar seperti khayalan?
Fenomena 'berbicara aneh' sebelum meninggal sebenarnya bukan hal baru. Ini sering dijumpai oleh tenaga medis di ruang ICU, perawatan paliatif, atau rumah. Namun, di balik pengalaman yang menggugah perasaan itu, ternyata ada penjelasan dari sisi medis dan neuropsikologi.
Artikel ini akan membahas secara ilmiah—tanpa menghilangkan nilai spiritualnya—mengapa seseorang bisa mengalami perubahan pola bicara dan persepsi menjelang ajal. Dengan begitu, kita bisa menghadapi momen-momen akhir kehidupan orang tercinta dengan lebih tenang, penuh empati, dan pengertian.
Apa yang Dimaksud dengan “Berbicara Aneh”?
“Berbicara aneh” menjelang kematian bisa meliputi ucapan yang membingungkan, tidak relevan secara logika, atau menyebut hal-hal di luar kenyataan. Contoh yang sering terjadi seperti pasien menyebut nama orang tua atau anak yang sudah lama meninggal. Atau mengatakan “aku akan pulang” atau “aku dijemput” meski secara fisik mereka hanya berbaring. Bahkan juga sering ditemui pasien ,engulang kalimat-kalimat misterius seperti “sudah waktunya” atau “aku harus pergi”.
Fenomena ini tidak bisa disamakan dengan gangguan mental seperti skizofrenia atau demensia. Ini adalah bagian dari proses alami tubuh dan otak saat seseorang memasuki fase akhir hidup.
Salah satu penjelasan paling umum secara medis terkait fenomenta tersebut adalah delirium terminal, yaitu kondisi perubahan kesadaran akut yang muncul di hari atau jam-jam terakhir kehidupan seseorang.
Menurut jurnal Palliative Medicine oleh Lawlor et al. (2000), sekitar 85 persen pasien dalam fase terminal mengalami delirium dalam berbagai bentuk. Delirium terminal ditandai dengan:
Kebingungan berat: Pasien tampak bingung akan waktu, tempat, atau bahkan siapa dirinya.
Ucapan kacau atau tidak masuk akal: Mereka mungkin berbicara tentang pengalaman masa lalu, mengulang-ulang kalimat, atau menyebut nama orang yang tidak ada di ruangan.
Halusinasi: Terutama halusinasi visual atau auditori, seperti melihat orang yang sudah meninggal.
Perubahan emosi cepat: Dari tenang ke gelisah dalam hitungan menit.
Fluktuasi kesadaran: Kadang pasien tampak sadar, lalu kembali tidak responsif dalam waktu singkat
Delirium terminal bukanlah kegilaan, melainkan tanda tubuh dan otak mulai gagal berfungsi. Meskipun menakutkan bagi keluarga, kondisi ini merupakan bagian dari proses tubuh menuju kematian. Beberapa mekanisme utama yang menyebabkan delirium terminal antara lain:
1. Penurunan Fungsi Organ Vital
Saat jantung melemah dan aliran darah melambat, suplai oksigen ke otak menurun drastis. Ini menyebabkan hipoksia serebral—keadaan kekurangan oksigen di otak—yang mengacaukan fungsi normal neuron. Tanpa cukup oksigen, otak mulai ‘bermain sendiri’, menghasilkan ilusi dan kebingungan.
2. Ketidakseimbangan Elektrolit dan Dehidrasi
Menjelang akhir hidup, tubuh kehilangan kemampuannya untuk menjaga keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, kalsium). Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan disfungsi sel otak, membuat koneksi antar neuron terganggu dan menciptakan perubahan persepsi dan kesadaran.
3. Akumulasi Toksin (Uremia atau Hepatik Ensefalopati)
Jika ginjal atau hati tidak lagi berfungsi dengan baik, tubuh tidak mampu membuang limbah metabolik. Akibatnya, racun menumpuk dalam darah dan masuk ke otak—menyebabkan uremia (dalam gagal ginjal) atau ensefalopati hepatik (dalam gagal hati). Kedua kondisi ini bisa memicu delirium berat.
4. Efek Obat-obatan Paliatif
Pasien yang menjalani perawatan paliatif biasanya diberi opioid (seperti morfin) atau benzodiazepin untuk mengurangi rasa sakit dan cemas. Namun, dosis tinggi atau penumpukan dalam tubuh bisa menimbulkan efek samping berupa kebingungan, sedasi berat, atau bahkan psikosis ringan. Beberapa obat bisa memperparah delirium, terutama jika metabolisme tubuh pasien sudah menurun.
5. Infeksi dan Peradangan
Infeksi serius seperti pneumonia atau infeksi saluran kemih sering muncul di akhir hidup, terutama pada pasien usia lanjut atau pasien terminal. Infeksi ini memicu reaksi inflamasi sistemik yang dapat memengaruhi fungsi otak dan mencetuskan delirium.
Halusinasi dan Perubahan Otak Menjelang Ajal
Salah satu fenomena yang mengejutkan adalah halusinasi visual atau auditori yang mana pasien melihat orang yang tidak ada, atau mendengar suara-suara tertentu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dari sisi neurologi, otak adalah organ yang paling sensitif terhadap kekurangan oksigen. Saat sirkulasi darah melemah, bagian otak seperti korteks visual dan temporal mengalami penurunan fungsi. Akibatnya, otak bisa menciptakan persepsi palsu alias halusinasi.
Dalam jurnal Brain and Behavior (2020), peneliti menjelaskan bahwa saat otak dalam kondisi sekarat, ada aktivitas listrik tak biasa yang bisa memicu semacam 'pengalaman akhir hidup' (near-death experiences), termasuk melihat cahaya terang atau 'dijemput'.
Ada juga fenomena yang disebut terminal lucidity, di mana pasien yang sebelumnya tidak responsif, tiba-tiba sadar penuh dan berbicara jernih beberapa jam sebelum meninggal. Meski belum sepenuhnya dipahami, fenomena ini diyakini terjadi karena ledakan aktivitas neurologis sesaat sebelum shutdown total.
Perspektif Spiritualitas: Dijemput dan Komunikasi dengan Arwah?
Banyak budaya percaya bahwa sebelum meninggal, seseorang bisa “dijemput” oleh roh kerabat yang telah tiada. Dalam Islam, ini diistilahkan dengan malaikat maut yang datang. Dalam tradisi Kristen, sering disebut kehadiran malaikat atau “kedamaian surgawi”. Di Hindu dan Buddha, dikenal pula transisi kesadaran menuju kehidupan selanjutnya. Apakah semua ini hanya halusinasi? Tidak harus begitu.
Psikolog eksistensial menyebut bahwa otak manusia punya cara menciptakan makna saat menghadapi kematian. Sosok-sosok yang muncul dalam pikiran bisa mencerminkan kebutuhan emosional seperti rekonsiliasi, ketenangan, atau kebersamaan di akhir hayat.
Dengan kata lain, meski penjelasan neurologis ada, sisi spiritual tidak otomatis dibatalkan. Bisa jadi, keduanya bekerja bersamaan, otak dan jiwa saling memberi ruang di detik-detik terakhir.
Di Balik Kalimat Terakhir, Ada Jiwa yang Sedang Berpamitan
Kalimat-kalimat 'aneh' yang diucapkan seseorang sebelum meninggal mungkin terdengar seperti kekacauan, tapi di baliknya tersimpan jejak emosi, memori, dan spiritualitas yang dalam. Otak manusia, meski sekarat, masih mencoba memberi makna pada perpisahan.
Kini kita tahu, ada penjelasan ilmiah yang bisa membantu kita lebih memahami. Namun yang tak kalah penting adalah cara kita merespons: dengan kasih, pengertian, dan tanpa rasa takut. Sebab mungkin, di saat-saat paling sunyi itu, jiwa sedang berkata: “Aku siap pergi. Terima kasih telah bersamaku.”