Asal Usul Rojali dan Rohana di Mall, Pertanda Ekonomi Melemah atau Gaya Hidup Baru?

Ilustrasi fenomena Rojali di mall
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle – Beberapa waktu terakhir, media sosial diramaikan dengan istilah unik sekaligus menggelitik, yakni Rojali dan Rohana. Kedua istilah ini bukan nama orang, melainkan akronim yang menggambarkan fenomena sosial yang belakangan makin sering ditemui di pusat perbelanjaan.

10 Tips Jadi Pembeli Cerdas Suapaya Gak Dicap Kaum Rojali-Rohana

 

Bagi Anda yang kerap mengunjungi mall, mungkin pernah melihat rombongan orang yang hanya datang untuk berjalan-jalan, duduk-duduk, atau melihat-lihat barang tanpa melakukan pembelian. Kini, kelompok semacam ini mendapat julukan baru, yaitu Rojali dan Rohana.

5 Strategi Investasi yang Cocok untuk Pemula, dari Emas hingga Kripto

 

Fenomena ini tidak sekadar lucu, tetapi mencerminkan perilaku konsumsi masyarakat urban, khususnya kalangan kelas menengah dan ke bawah yang mulai mengubah cara mereka menikmati waktu luang.

Investasi Emas vs Bitcoin, Mana yang Lebih Cuan di Masa Depan?

 

1. Apa Itu Rojali dan Rohana?

 

Rojali adalah singkatan dari "Rombongan Jarang Beli", sementara Rohana berarti "Rombongan Hanya Nanya". Keduanya menggambarkan tipe pengunjung mall yang datang beramai-ramai, namun tidak melakukan transaksi pembelian.

 

Rojali biasanya terlihat hanya mondar-mandir di dalam mall, melihat-lihat etalase, atau duduk nongkrong tanpa berbelanja. 

 

Rohana, di sisi lain, merujuk pada mereka yang aktif bertanya tentang produk, harga, promo, fitur, tetapi tidak benar-benar membeli apa pun. Keduanya kini menjadi semacam "label sosial" baru yang viral di tengah gaya hidup masyarakat perkotaan.

 

2. Cerminan Kelas Menengah Urban

 

Istilah Rojali dan Rohana erat kaitannya dengan perilaku kelas menengah urban, yaitu kelompok masyarakat yang memiliki akses ke fasilitas modern namun menghadapi tantangan dalam menjaga kestabilan keuangan pribadi. 

 

Mall, yang dahulu identik dengan tempat belanja, kini berubah fungsi menjadi ruang sosial: tempat rekreasi ber-AC, bertemu teman, mencari hiburan visual, hingga konten untuk media sosial.

 

Fenomena ini juga menunjukkan bahwa di tengah tekanan ekonomi dan naiknya harga kebutuhan pokok, banyak orang tetap ingin menikmati suasana mall tanpa harus mengeluarkan uang banyak. Mall menjadi “taman kota indoor” bagi kelas menengah dan ke bawah, yang nyaman, aman, gratis masuk, dan punya banyak spot foto.

 

3. Mengapa Fenomena Ini Terjadi?

 

Ada beberapa alasan mengapa perilaku Rojali dan Rohana semakin banyak dijumpai:

 

- Menurunnya daya beli: Banyak orang datang ke mall sekadar untuk window shopping karena belum tentu memiliki anggaran untuk belanja.

 

- Kebutuhan sosial: Nongkrong di mall memberikan rasa kebersamaan dan eksistensi sosial tanpa perlu mengeluarkan biaya besar.

 

- Tuntutan media sosial: Kalangan muda khususnya sering datang ke mall hanya untuk membuat konten atau update aktivitas, bukan belanja.

 

- Mall sebagai sarana hiburan murah: Di kota besar, mall menjadi alternatif hiburan yang lebih mudah dijangkau dibanding bioskop, taman rekreasi, atau tempat wisata lain.

 

4. Dampaknya terhadap Mall dan Retail

 

Meski jumlah pengunjung mall meningkat, tidak semua kunjungan tersebut berujung pada pembelian. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi para pelaku usaha retail, terutama brand atau tenant kecil yang menggantungkan omzet dari transaksi langsung.

 

Beberapa mall kini mulai merespons fenomena ini dengan menambah spot interaktif, ruang terbuka publik, serta menghadirkan event komunitas untuk menarik engagement yang bisa berujung pada transaksi. 

 

Di sisi lain, ada juga brand yang berupaya menarik pembeli lewat diskon instan, bundling produk, atau campaign digital yang menyentuh gaya hidup Rojali dan Rohana.

 

5. Haruskah Dikhawatirkan?

 

Meski istilah ini sering digunakan secara satir, fenomena Rojali dan Rohana tidak selalu berdampak negatif. Ia justru menjadi cerminan bahwa perilaku konsumen sedang berubah. Konsumen kini lebih selektif, lebih sadar nilai uang, dan enggan membelanjakan tanpa alasan kuat.

 

Bagi bisnis, perubahan ini justru bisa menjadi peluang. Brand yang mampu memahami kebutuhan sosial dan emosional konsumen berpotensi membangun loyalitas jangka panjang. Alih-alih menargetkan transaksi langsung, pendekatan berbasis pengalaman dan interaksi bisa menjadi strategi yang lebih efektif.

 

Fenomena Rojali dan Rohana menggambarkan dinamika baru dalam perilaku konsumen urban. Ia muncul dari kombinasi antara tekanan ekonomi, gaya hidup sosial, dan perubahan fungsi mall sebagai ruang publik.

 

Bagi Anda yang merasa pernah jadi Rojali atau Rohana, tak perlu merasa bersalah. Fenomena ini bukan soal membeli atau tidak membeli, tapi soal bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dengan kondisi ekonomi dan sosial di sekitar. Jadi, apa Anda salah satu Rojali atau Rohana di Mall?